webnovel

Bab 10

Sepoi angin menyisir rambut bergelombangku. Wangi bunga mawar dan kenanga semerbak terhirup bersamaan dengan tiap-tiap oksigen saat aku bernapas. Wangi pembawa duka dan perih dari penaburnya yang kini tak kuketahui berada dimana. Ibu dan Kak Rusli, entah kemana mereka berdua. Aku datang dengan pakaian serba hitam bersama Josh dan Tuan Schoonhoven, tapi kami hanya mendapat kekecewaan. Pemakaman telah usai bahkan tenda dan segala peralatannya sudah tidak ada. Dan yang terburuk adalah, rumah tempat tinggalku selama sepuluh tahun ini telah kosong. Pintu utamanya digembok meskipun pagar rumah sedikit terbuka. Ibu dan Kak Rusli pergi entah kemana. Tanpa memberitahku, meninggalkanku sendiri disini dalam keterpurukkan.

"Ayah," kusentuh gundukkan tanah merah di depanku yang masih basah itu dengan lembut,

"Aku menyayangimu lebih dari apapun. Kalau bisa, aku ingin masuk ke dalam dan tinggal disana bersamamu. Maafkan aku, terimakasih malam itu ayah telah mencariku. Andai ayah tidak melakukannya, mungkin akan ada cerita lain hari ini. Ibu dan Kak Rusli pergi, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang disini. Aku ingin meminta maaf tapi mereka bahkan tidak mau melihatku,"

Sejenak aku terdiam, menggosok hidung dan menghapus air mataku sendiri. Sebenarnya aku ingin lebih lama disini tetapi Josh yang berdiri di belakangku bersama ayahnya sejak tadi tidak berhenti terbatuk. Sejak aku bertemu dengannya semalam, dia memang sudah terlihat tidak sehat. Aku tidak mau dia semakin sakit. Maka, kusudahi percakapanku dengan makam ayahku. Kusingkirkan beberapa daun kering dari gundukkan tanahnya, kusentuh nisan kayu bertuliskan namanya lalu aku beranjak dari tempat itu. Pergi entah untuk apa.

Bunyi engsel ayunan berderit-derit memecah keheningan. Suaranya yang tak enak didengar itu seakan-akan menjadi satu-satunya hal yang berusaha mengusik kelengangan antara aku dan Josh. Kami sudah duduk berdiam diri di ayunan di halaman bekakang ini lebih dari tiga puluh menit, mungkin. Berdua tanpa sepatah kata pun terucap. Aku tahu Josh hanya belum mau mengusikku, dia ingin memberiku ruang dan waktu untuk memperbaiki hati dan pikiranku. Tapi, lama-lama aku tak enak hati juga kepadanya maka kuputuskan untuk memulai pembicaraan.

"Aku suka suratmu,"

"Apa?" Tanyanya, seolah dia tak terlalu mendengarkanku, kualihkan pandanganku kepadanya dan ternyata dia sudah memandangiku penuh tanya.

"Aku menyukai surat yang kauberikan tapi seharusnya kau tak melakukan itu,"

"Kenapa?" Dia menelengkan kepalanya, ada segurat kemuraman di wajah pucatnya.

"Aku tidak suka kau pergi seperti itu. Seharusnya kau menemuiku. Suratmu itu panjang, waktu yang kau gunakan untuk menulisnya cukup untuk menemuiku dan mengatakannya,"

"Maaf," Josh sedikit menundukkan pandangan. Kuperhatikan dia, andai kau tahu Josh karena suratmu itu juga semua ini terjadi. Ujarku dalam hati.

"Jangan marah padaku," Dia mengangkat wajahnya dan memohon, "Saat itu aku tidak tahu bahwa aku harus pergi. Aku tidak bisa menemuimu, maaf Maudy,"

Aku diam tak menjawab permohonannya. Kualihkan mataku darinya, memandangi bunga sepatu yang mulai bersemi mekar. Warna merahnya mencolok di antara hijaunya dedaunan. Aku tidak marah pada Josh. Hanya saja, aku menyesali kenapa dia harus menulis surat yang mengawali bencana kilat ini. Sama sekali tak pernah kubayangkan bahwa hari seperti ini akan datang dan kualami. Aku tahu Kak Rusli membenci Belanda, awalnya kupikir dia hanya akan bersikap sama seperti pada Piet yang sangat dekat denganku, tapi kenyataan ternyata berkata lain. Kak Rusli tidak menganggapku sebagai adiknya lagi. Aku bukan seorang Mangunbrata, aku kembali menjadi diriku seperti saat aku bersama ibu di Belanda, dulu. Aku adalah aku, Maudy.

"Maudy, jangan marah padaku," Josh kembali memohon

"Aku tidak marah,"

"Kau marah, aku tahu itu,"

"Aku tidak marah!" Kali ini aku berbicara dengan suara lebih tegas. Dia terkejut dan langsung menciut. Kuhela napas panjang agar lebih tenang, "Aku hanya perlu waktu. Kuharap kau tahu itu," Nada bicaraku menurun, aku tak mau Josh semakin merara bersalah karenaku.

"Aku tahu,"

"Itu terdengar baik. Aku tidak tahu apalagi yang bisa kulakukan dan harus kulakukan. Aku tidak punya siapa pun disini. Itu terdengar lucukan?" Aku berbicara dengan nada datar seakan sedang mengejek kemalangan orang lain dengan kata-kata sindiran menyakitkan.

"Kau punya kami," Kata-kata Josh membuatku terkejut hingga nyaris terlonjak untuk berdiri. Kuperhatikan laki-laki Belanda bermata coklat itu, "Aku dan papa," Lanjutnya lagi dan itu semakin membuatku tak mengerti.

"Papa mengizinkanmu untuk tinggal bersama kami disini,"

"Apa?" Kali ini aku benar-benar terlonjak dari ayunan dan berdiri .

"Jangan bercanda Josh,"

"Aku tidak bercanda. Kau tahu, aku tidak suka bercanda,"

"Ayolah Josh! Kau gila,"

"Aku tidak gila, papa sendiri yang berkata padaku semalam. Hari ini kamar untukmu sudah disiapkan,"

"Aku tidak mau," Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirku," Kaupikir aku ini apa? Aku bukan barang yang bisa kausimpan. Apa yang akan orang katakan tentangku nanti? Aku tinggal disini adalah satu pemikiran gila,"

"Maudy ayolah," Josh beranjak dari ayunan dan berdiri di hadapanku, "Papa menyayangimu, jangan memikirkan orang lain. Aku tahu ini terlalu cepat. Tapi pikirkanlah, kau tidak punya rumah. Kau mau tinggal dimana?"

"Aku bisa tinggal dimana saja dan aku tidak mau dikasihani orang lain. Termasuk kau dan papamu,"

"Maudy,"

"Josh jangan mempersulitku!" Kusahut dia dengan teriakkan histeris, "Aku tahu kalian, kau dan papamu orang baik tapi aku bukan seorang pengemis,"

"Kami tidak menganggapmu seperti itu!" Josh mengimbangi nada bicaraku, mungkin dia sudah jengkel. Kuhela napas panjang, memutar bola mata ke sekeliling sebelum kuputuskan untuk berbicara dengan lebih tenang.

"Kau tidak tahu apa pun. Orang-orang di luar sana menyiksaku bertahun-tahun dengan kalimat mereka karena aku anak haram yang diangkat bangsawan lalu kata menyakitkan macam apalagi yang akan kudapatkan kalau aku disini bersamamu?"

"Sudah kubilang jangan dengarkan mereka," Wajah Josh merah padam, aku mampu melihat kobaran api di matanya.

"Dua anak muda membuat kegaduhan, berani sekali," Suara laki-laki dewasa yang berat dan menggemuruh datang dari arah rumah, seperti guntur dari langit, dia membungkam perdebatan antara aku dan Josh. Sejurus kami diam dan mengarahkan pandangan ke sumber suara.

Tuan Schoonhoven muncul dari balik pintu, dia menghembuskan asap cerutu dari mulutnya ke udara bebas. Melangkah mendekati kami, menatapku dan Josh bergantian. Entah mengapa aku masih tak terbiasa melihat matanya, sejak awal pertemuanku dengannya, sorot matanya selalu meresahkanku.

"Tinggallah disini Maudy," Dia berhenti tepat di depan kami dan langsung mengutarakan hal yang sama dengan Josh, "Anggaplah kami sebagai keluargamu. Kau gadis spesial," Ingin rasanya kudongakkan kepala dan melihat sinar matanya untuk cukup tahu apakah dia hanya merajuk atau tidak, tapi urung kulakukan.

"Spesial sejak pertama kali aku melihatmu di pestaku. Perlu kau tahu bahwa tidak ada gadis spesial yang boleh tinggal di luar sana bersama inlander,"

"Aku tidak mau mendapat masalah, orang-orang akan mengataiku. Aku tidak suka," Kukatakan satu-satunya alasanku menolak kebaikan Tuan Schoonhoven, tapi dia justru tertawa lepas. Seringai tawa tak bermakna, tawa mengada-ada.

"Tidak ada yang berani mengatai seorang meneer dan orang -orang di dekatnya. Kau tahu itukan?" Dia menemukan sebuah kalimat yang langsung meruntuhkan benteng alasanku. Kalimat membahagiakan tapi terdengar layaknya kidung kematian. Suara, cara bicara dan sorot mata Tuan Schoonhoven membuatku tak nyaman dan takut untuk berkata tidak. Dia baik sekaligus membahayakan bagiku.

Akhirnya kuambil keputusan. Keputusan besar dan rawan, tapi mau bagaimana lagi? Aku tak punya pilihan lain. Aku tak punya tempat tinggal, tak punya uang, tak punya pekerjaan, tak punya keluarga, dan yang terburuk dari ketidakpunyaanku adalah aku tak punya rencana apa pun untuk kehidupanku selanjutnya. Sekarang aku tinggal disini, di sebuah rumah beratap genteng merah, berdinding putih bersih, berlangit-langit tinggi dan berjendela besar, bersama Josh, Tuan Schoonhoven dan Mavrouw Alex, si nenek sihir mengerikan.

Josh sangat bersemangat untuk menunjukkan seisi rumahnya kepadaku. Mulai dari ruang tamu, ruang tengah sampai dapur, bahkan dia mengenalkanku untuk kedua kalinya kepada pembantu-pembantu di rumahnya meskipun dia sudah mengenalkanku kepada mereka saat kunjunganku yang kedua di rumahnya. Aku masih hafal benar nama dan wajah kusir, supir, pembantu-pembantu rumah tangga, tukang kebun dan pelayan pribadi Josh.

"Papa menyiapkan ini untukmu," Dia membukakan pintu sebuah ruangan, "Papa menyiapkan semua perabotnya," Kupandangi seisi kamar, mulai dari ranjang berkasur, bantal dan guling berbalut sprei putih bermotif bunga-bunga kuning dan merah, lemari pakaian, meja belajar lengkap dengan buku dan alat tulisnya.

"Tapi lukisan itu aku yang memilihnya," Josh menunjuk sebuah bingkai foto yang terpasang tepat di atas meja kecil di samping ranjang. Kulangkahkan kakiku memasuki ruangan, aroma wangi bunga tulip menyeruak masuk menusuk hidungku. Kudekati dan kuraih bingkai foto itu. Disana terdapat sketsa wajah seorang gadis berambut panjang dan berombak, tersenyum ceria dengan sebelah tangan memegang tepi depan topi bulat yang dikenakannya. Gadis itu aku, Maudy.

"Kau yang membuatnya?" Kusentuh setiap detail sketsa, begitu mirip denganku dan sangat rapi, aku seperti memandangi diriku dalam bentuk foto kamera, bukan sebuah sketsa hasil goresan pensil dari tangan Josh.

"Aku merindukanmu saat aku pergi, maka kubuat itu. Kau suka?"

"Ya," kuanggukkan kepalaku, menatap mata sayunya yang teduh, "Aku sangat menyukainya. Terimakasih Josh," Kataku sembari memberikan senyuman terbaikku kepada Josh, duduk di tepi ranjang bersamanya, "hn, kalau boleh tahu, memangnya kemarin kau pergi kemana?"

"Aku," Josh tak langsung menjawab. Matanya menerawang kesana kemari seakan-akan dia lupa dimana dia menghabiskan waktu beberapa hari yang lalu, "aku pergi ke,"

"Josh!" sebuah suara melengking dari arah pintu. Suara yang mengejutkan dan sukses menarik perhatian kami.

Berdiri di atas kaki jenjangnya, wanita bermata hijau dan berbibir merah alami. Alexandra Schoonhoven, istri Tuan Schoonhoven sekaligus ibu Josh, dia berdiri dengan keanggunan tubuhnya yang porposional di ambang pintu kamar, menatapku dan Josh. Sorot mata tak bersahabat tak pernah hilang dari mata indahnya.

"Mama,"

"Apa yang sedang kaulakukan? Gurumu menunggu di depan. Temui dia dan berhentilah bermalas-malasan dengan orang itu,"

Orang itu? Kenapa wanita itu tak pernah mau menyebut namaku? Dia sudah mengetahui namaku bahkan sejak sebelum aku memperkenalkan diri kepadanya. Ingin rasanya aku melompat kehadapannya dan menyerukan namaku disana, tepat di depan wajahnya.

***

Ingin kupejamkan mataku dalam keremangan dan ketenangan malam tapi kelopak-kelopak mataku selalu menolak untuk menyembunyikan bola mata biruku dari dunia. Perasaan tak tenang dan tak nyaman semakin menggerogotiku. Kupandangi langit-langit kamarku yang begitu tinggi dan luas, putih bersih tanpa setitik noda pun.

Keleluasaan pandangan membuat pikiranku bebas meloncat kesana kemari. Kembali, wajah ayah , ibu dan Kak Rusli muncul. Mereka keluargaku yang sangat kusayangi. Sepuluh tahun aku hidup, bernapas, makan dan terlelap bersama mereka bertiga. Kebahagiaan tak ternilai harganya hancur seketika dalam sekejap mata, hanya karena sepucuk surat dari Josh. Bukan sebuah perbandingan yang seimbang, keluargaku lebih berharga daripada apapun. Josh, kenapa dia harus menulis surat itu?

Pandanganku mengabur terhalangi kabut-kabut tipis, mataku terasa hangat. Air mata perlahan menumpuk di pelupuk mata dan ketika kumiringkan tubuhku menghadap ke bingkai foto dari Josh. Air mata itu luluh dari sudut mata, menganak sungai di pipiku lalu bermuara di bantal. Kutekuk lututku dan tangan kananku memeluknya erat di depan dada sementara tangan kiriku menggenggam erat liontinku. Kugigit bibir bawahku supaya tangis ini tak menimbulkan suara, tak didengar orang lain. Aku menangis dalam diam di kegelapan malam hingga lelah menarik diriku ke alam mimpi.

***

"Smaaglegiten," (selamat makan) Ucap Tuan Schoonhoven mengawali sarapan pagi kami. Setangkup roti dengan selai serta segelas susu menjadi menu penghapus rindu bagiku, rinduku kepada ibu dan Rotterdam yang telah lama kutinggalkan. Kulumat pelan-pelan makanan di mulutku dan menelannya, membiarkannya menormalkan lambung kosongku. Aku makan dengan menundukkan pandangan, mata Mavrouw Alex yang terus menatapku membuatku tak nyaman.

"Maudy," Suara lembut wanita itu tiba-tiba memecah keheningan sarapan pagi kami. Tuan Schoonhoven berhenti makan dan meneguk air putih sementara Josh langsung mengamati ibunya yang duduk tepat berhadap-hadapan dengannya.

"Apa kita bisa berbicara sebentar sebelum kau berangkat sekolah?"

"Hn," Aku tak langsung menjawab, apa yang hendak wanita mengerikan ini bicarakan denganku?

"Dia bisa terlambat,lagipula apa yang akan kau katakan padanya?' Tuan Schoonhoven menengahi, dia tersenyum lembut padaku sebelum mengelap sisa makanan di bibirnya dengan tissu.

"Ini pembicaraan wanita," Tegas wanita itu pada suaminya lalu beralih menatapku, "bagaimana Maudy?"

"Baik Mavrouw," Aku mengangguk, mengiyakan.

Aku menunduk tak berani menatap mata hijau ibu Josh ini. Dia duduk di kursi di depan meja rias di kamarnya sementara aku berdiri di sampingnya. Kelengangan membuatku tak nyaman, kakiku nyaris gemetar tapi usahaku berhasil mengendalikan diriku sendiri. Kumainkan jemariku di balik kapurancangnya, setiap kali aku berada di dekatnya aku merasa seakan-akan aku berada di bawah ancaman dewi kematian.

"Aku senang kau tinggal disini," Akhirnya dia membuka mulutnya. Ya! Cepatlah berbicara supaya aku bisa cepat terlepas dari hawa menakutkan yang sepertinya telah dia bawa sejak dia lahir.

"Bolehkah aku bertanya lebih banyak tentangmu?"

Aku tersentak dan langsung mendongakkan kepala,melihatnya yang ternyata berbicara sembari bercermin, merapikan rambut ikal sebahunya.

"Maksud anda?"

"Seperti darimana kau datang," Dia memiringkan kepalanya, mata hijaunya beradu pandang dengan mata biru safirku secara tidak sengaja, "Kau bukan anak Mangunbratakan?" Lanjutnya lagi, sekarang aku tahu maksud perbincangan ini. Aku sangat tahu. Kutarik napas pelan-pelan lalu menghembuskannya dengan tempo yang sama.

"Saya anak angkatnya Mavrouw," Kukatakan kebenaran tentang diriku, sebuah rahasia umum yang wajar jika tidak diketahui oleh warga baru seperti dia, "Aku dulu tinggal di Belanda bersama ayah dan ibuku," Kuselipkan sedikit kebohongan tentang ayahku, "Ibuku asli Indonesia sedangkan ayahku orang Belanda. Kami pindah kesini setelah ayah meninggal,"

"Ouh," Dia berkomentar dengan cara yang tak mempuanyai makna apapun. Entah meledek atau berempati.

"Aku diangkat sebagai anak oleh Tuan Mangunbrata setelah ibuku meninggal, tertembak serdadu Belanda," Kukatakan penjelasan terakhirku itu dengan nada datar seolah-olah mati tertembak itu adalah hal yang biasa saja.

"Kisahmu seperti terulang untuk kedua kalinya," Aku tersentak mendengar kalimat Mavrouw Alex. Kugigit bibir bawahku. Kuperhatikan sorot mata hijau wanita itu. Dia menarik kesimpulan dari realitas hidupku. Baru kusadari kebenaran itu, semua memang terulang untuk kedua kalinya, berakhir dengan tembakan serdadu Belanda.

"Keluarlah," Katanya sembari kembali bercermin. Aku seperti orang linglung tapi akhirnya aku mengangguk memberi hormat. Kubalikkan badanku lalu melangkah perlahan menuju pintu kamar yang setengah terbuka.

"Semoga kau bahagia disini," Suara Mavrouw Alex dari balik punggungku memaksaku untuk berhenti meskipun tanganku telah menggenggam gagang pintu, bersiap untuk keluar, "Tidak merepotkanku untuk kedua kalinya karena kekuranganku sebagai seorang wanita. Tutup pintunya setelah kau keluar," lanjutnya lagi dan ampuh untuk membuatku bergidik. Suaranya merendah di bagian akhir seperti ada pesan kesedihan yang tersirat di dalamnya.