Malamnya, Kim membuka pintu apartemen. Di dalam ada Chay yang duduk di sofa, menoleh pada Kim yang masuk. "Selamat datang kembali, kakak," dia menyapa.
"Ya, aku kembali..." Kim membalas dengan ramah, tapi ia menjadi berekspresi kecewa lagi sambil berjalan dan duduk di ranjang.
Chay yang melihat itu menjadi bingung, lalu berjalan mendekat dan duduk di hadapannya. "Kakak, kau baik-baik saja, bukan?" tatapnya.
"Entahlah, Chay, aku benar-benar ragu soal hal ini... Maksudku... Ini baik-baik saja, jangan khawatir," Kim mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi Chay sudah mengerti duluan.
Ia lalu berdiri dan berjalan pergi, tapi ia kembali lagi dan memberikan kotak kecil pada Kim.
Kim menjadi bingung terdiam. "Apa yang kau lakukan?"
"Bukalah itu, kakak," kata Chay.
Lalu, dengan bingung, Kim membuka kotak kecil itu perlahan. Seketika wajahnya terkejut karena itu adalah gelang berlian tipis yang selalu dipakai Neko di tangannya. "Ini..." ia terdiam tak percaya.
"Dari ekspresi kakak, kakak pasti sudah tahu kalau gelang ini milik Nona Besar, kan?" tatap Chay.
"T... Tapi bagaimana bisa?!"
"Entah kenapa dia memberikannya padaku dan aku juga tidak tahu. Dia juga memberiku struknya agar tak tertipu saat menjualnya," Chay memberikan kertas harga gelang itu dan hasilnya Kim benar-benar tambah terkejut. "(Ini bahkan lebih mahal dari rumah besar?! Tapi... Kenapa?)" Kim terdiam dan menundukkan wajah.
"(Selama ini aku mengira dia adalah gadis yang jahat, sama seperti mereka, rupanya Direktur itu memang benar. Dia memang berpenampilan keji, tapi sebenarnya sifatnya lain cerita... Aku tidak tahu lagi harus apa dengan hal ini...)" ia menjadi bimbang dan masih ingat perintah Direktur Han untuk membidik Neko dan membunuhnya besok.
"Kakak, kira-kira apa dia benar-benar baik-baik saja memberikan gelang ini?"
"Apa maksudmu, memangnya dia memberikannya gimana tadi?" tatap Kim. Lalu, Chay menjadi terdiam mengingat.
Sebelumnya, dia ada di bawah sofa mengerjakan belajarnya di buku. Dia hanya di apartemen sendiri menunggu kakaknya pulang. Tapi ada yang mengetuk pintu. "Oh, itu pasti kakak," Chay berdiri dan berjalan membuka pintu.
"Selamat datang kaka—(astaga!)" Tapi Chay menjadi terkejut karena itu adalah Neko, sendirian datang di depan pintu dengan jubah hitam panjangnya dan tatapan merah menyala.
"(Ke... Kenapa Nona Besar ini ada di sini?!)" Chay hanya bisa gemetar ketakutan.
"Kenapa kau hanya diam? Apa kau selalu memperlakukan tamu seperti ini?" tatap Neko seketika Chay terkejut dan langsung mundur ke samping memberi jalan. "Silahkan masuk... (Kakak, aku mohon cepat pulang.)"
Lalu Neko masuk dan berhenti sejenak melihat sekitar. "(Rumah yang bisa cukup di bilang baik baik saja, benar benar sangat aneh, rumah ini bisa di jual dengan harga tinggi juga. Tapi mungkin lelaki itu tak bisa menentukan harga yang tepat. Tentu saja, dia kan orang yang sangat aneh...)"
"Um... Duduklah di sofa, aku mohon. Aku akan membuatkan teh hangat," kata Chay. Lalu Neko duduk di sofa.
Di dapur, tangan Chay nampak gemetar, ia bahkan jadi tidak bisa menuangkan gula dengan tepat hingga ia menyajikannya pada Neko.
"(Sepertinya dia menunggu kakak, lebih baik aku di belakang saja, aku benar benar tak berani jika melakukan hal ini...)" Chay akan mundur, tapi Neko menyela menghentikannya. "Tunggulah sebentar." Dia mengambil teh dan meminumnya. Chay hanya terdiam kaku. "(Astaga tunggu.... Tunggu... Kenapa ini sungguh menakutkan sekali... Aku benar benar sangat takut.... Aku mohon jangan bicara apapun yang sangat menegangkan... Kakak, kenapa kau tidak pulang kemari....?)"
"Kenapa kau tidak duduk di sini dan temani aku mengobrol?" kata Neko.
"B... Baiklah," Chay membalas dan duduk di sofa lain.
Rasanya canggung dan Neko hanya meminum tehnya lalu meletakkannya kembali sambil berkata, "Apa kau benar-benar sudah lama tinggal bersama dengan kakakmu?"
"Um... Iya..."
"Begitu kah, apa semenjak itu, ekonomi keluarga menurun?"
Seketika Chay menjadi kecewa dan menjawab. "Tak hanya ekonomi, tapi semuanya juga menurun drastis. Orang tua kami tak memiliki warisan apapun karena kami memang dari dulu dari keluarga yang tak mampu. Dari sana, kakak mulai memutus kuliahnya dan mulai bekerja kasar memaksakan dirinya. Setiap hari membawa uang yang tidak banyak itu sudah bersyukur bagi kami," kata Chay.
"Lantas, apa kau punya kekasih?" Neko melirik seketika Chay terdiam.
"U... Ummm... Belum ada."
"Kenapa? Apa kau tidak perawan? Atau kau tidak bisa mencari lelaki?"
"Um... Itu sulit untuk aku jelaskan, yang pasti aku masih perawan," balas Chay. Lalu Neko terdiam dan tiba-tiba berdiri.
"Aku sarankan kau mencari laki-laki yang lebih baik daripada kakakmu, karena jika kau ingin keluarga kalian berkecukupan, maka kalian harus berpisah. Akan ada faktor yang akan memisah kalian nantinya, jika dia memang sangat ingin bekerja denganmu, maka hubungan kalian sebagai kakak adik akan sangat jauh karena pekerjaan ini akan sangat berat, bahkan lebih berat," kata Neko.
Mendengar itu, Chay benar-benar tak bisa melerai itu. Lalu Neko memegang lengan sendiri, rupanya ia melepas gelang yang selalu dipakainya lalu meletakkannya di meja. Chay terkejut melihat itu dan bingung kenapa dia meletakkan barang berharga itu.
"Gelang itu sebenarnya sudah diincar oleh kakakmu. Aku lebih memberikan jam karena kupikir dia lebih membutuhkannya sebagai laki-laki dan rupanya dia memiliki seorang adik perempuan. Aku benar-benar tak menyangka ada lelaki yang sangat perhatian pada adiknya terlebih dahulu. Kau sebagai adiknya seharusnya berterima kasih padanya dan balaslah budinya dengan baik. Ingatlah itu," kata Neko lalu ia melangkah akan pergi.
"Tu... Tunggu... Kenapa kau memberikan gelang itu padaku, bagaimana jika itu benda berharga untukmu?!" Chay menatap.
"Gelang itu tidak ada artinya di sini, itu bukan pemberian, itu juga bukan hal yang baik untuk diingat. Jika kau tak percaya, aku membelinya sendiri jadi jangan khawatir dan tidak perlu berpikir bahwa barang itu adalah pemberian seseorang untukku," balas Neko sambil memberikan kertas struk bukti lalu ia berbalik dan berjalan pergi.
Chay hanya bisa terdiam.
---
"Jadi begitukah... Dia benar-benar memuji kamu akan hal ini?" Tanya Kim.
Lalu Chay mengangguk.
"(Haiz... Aku bersalah... Sepertinya aku harus minta maaf saja... Atau aku mengadu saja bahwa aku akan membunuhnya besok?)" Kim menjadi tidak tahu harus apa. Dia bahkan dari awal tak bisa memahami Neko.
"Kakak, jangan putus asa di sini, kakak. Pilihlah pilihan yang paling baik karena semuanya akan berjalan sangat baik jika kau memilih dengan tepat. Aku akan selalu mendukungmu," kata Chay sambil memegang tangan Kim. Lalu Kim terdiam dan tersenyum. "Terima kasih, Chay... Aku akan memilih dari yang paling tepat."
Hari berikutnya, Kim berjalan terburu-buru dan kebetulan bertemu dengan Jun yang ada di depan pintu salah satu ruangan besar.
Jun menoleh padanya. "Ada apa kau datang kemari?"
"Aku ingin bertemu dengannya, apa dia ada di sini?"
"Bos sedang tidak bisa diganggu, kau juga tidak bisa masuk begitu saja," Jun menolak Kim yang ingin bertemu dengan Neko.
Tapi siapa sangka, Neko keluar membuka pintu dan terdiam melihat mereka ada di depan pintunya.
"Kau... Aku ingin berbicara denganmu... Aku punya banyak pertanyaan dan izinkan aku memilih nantinya," tatap Kim dengan langsung memegang bahu Neko, membuat Neko terdiam.
Seketika Jun menarik kerah Kim untuk mundur. "Mana sopan santunmu!"
"Biarkan dia," Neko menyela seketika Jun terkejut. Lalu ia menundukkan tubuh dan melepas Kim.
"Tunggulah di mobil dan siapkan semuanya," tatap Neko pada Jun.
"Baik, bos," Jun membalas dengan menundukkan badan lalu berjalan pergi.
Kim terdiam menatapnya dengan baju agak berantakan karena Jun tadi.
"...Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Aku... Aku bicara hal penting," kata Kim sambil membenarkan bajunya.
"Ha... Baiklah, masuklah sebentar," kata Neko yang masuk duluan lalu Kim mengikutinya masuk.
Terlihat di sana banyak sekali buku yang terpajang di rak besar. Kim terkejut melihat semua itu.
"(Kenapa kemarin tidak ada, atau aku tidak melihat saja, jadi dia suka membaca dan buku-buku itu juga terlihat sangat bermakna dengan kata maupun kalimat dewasa dan sulit dimengerti.)"
"Jadi kau ingin bicara apa dulu?" tatap Neko sambil bersandar di jendela sementara Kim berdiri polos di tengah ruangan itu.
"Apa aku bisa bicara langsung?" Kim menatap ragu.
"Langsung saja."
"Soal pemberianmu selama ini, aku benar-benar berterima kasih padamu... Selama ini aku juga telah salah menilaimu, kau perempuan yang baik," kata Kim.
Tapi Neko malah tersenyum seringai. "Baik~?"
"Ya, karena itulah aku ingin menjadi bawahanmu. Aku ingin lebih belajar darimu, semuanya tidak akan berarti jika aku tidak bertemu denganmu... Aku memang yang menyedihkan," Kim mengatakan tanpa basa-basi.
Lalu Neko menghela napas tak terlalu panjang dan melangkah mengambil satu buku tebal dan memberikannya pada Kim yang bingung.
Kim menerimanya dan judul dari buku itu adalah, "Semuanya Memiliki Keterpurukannya Masing-masing, Semuanya Memiliki Bagian Menyedihkannya Masing-masing." Aku membantumu karena aku juga pernah ada di posisimu, posisi yang tidak memiliki apapun. Berjalan di antara jalan tipis memanglah sulit untukku. Aku terlahir sebagai yang tidak sempurna. Ibuku mati terbunuh oleh orang yang saat ini masih aku cari-cari. Dia seorang lelaki, hal itu tentunya membuatku tidak sangat suka pada lelaki, pria, maupun yang lainnya. Tapi sekarang aku tahu, semuanya tidak sama. Semuanya memiliki timbangan yang berbeda, aku harap kau mengerti apa yang baru saja aku katakan, kata Neko sambil membalik tubuh membelakangi Kim.
"Apa kau... Mengambil jalan yang hancur untuk kehidupanmu?" tanya Kim.
"Maksudmu aku memilih menjual diriku pada orang lain untuk mendapatkan uang? Hmp... Gadis bodoh mana yang melakukan itu? Kau tidak perlu khawatir berpikir aku tidak perawan, aku masih utuh perawan, tapi hatiku tidak mengatakan itu. Rasanya akan ada sesuatu yang tak lama lagi membuatku sangat terpuruk di sini," balas Neko.
"(Aku mengerti itu... Dia gadis yang hebat,)" Kim hanya terdiam.