Hari berikutnya tampak mereka berdua berjalan keluar. Sama seperti biasanya, Yohan berjalan di belakang Neko dan tampak memikirkan sesuatu ketika melihat kepala belakang Neko.
"(Nuna nampak memikirkan sesuatu. Tadi dia meminta ku menemani-nya lagi ke pelabuhan kemarin, tapi di jalan begini, kenapa dia tidak bersuara apapun sama sekali... Aku tahu dia sedang memikirkan sesuatu,)" pikir Yohan. Dia berpikir Neko memikirkan sesuatu, padahal dia sendiri juga sedang memikirkan Neko.
Neko hanya terdiam menatap ke bawah sambil terus berjalan. "(Aku harus berhenti memikirkan soal museum itu. Dari awal sebenarnya aku ingin murni memegang museum itu tanpa adanya campur tangan dari sindikat manapun, tapi aku tidak bisa terlepas dari itu. Baru saja memegang museum selama satu minggu, aku malah terlempar di jalanan miskin ini. Menurutku aku sama sekali tidak bisa mencium aroma darah segar dari wanita yang ada di sini. Mereka semua kotor. Benar-benar kotor. Selama ini juga aku lebih suka pada darah wanita, tapi sekarang sudah tidak....) Haa..." dia berhenti berjalan, menghela napas panjang, dan memegang keningnya, membuat Yohan terdiam bingung melihat itu.
"Nuna?"
Lalu Neko menoleh. Di mata Yohan, ia sangat terkejut karena ketika Neko menoleh, pandangannya menjadi benar-benar sangat menawan. Dia beruntung melihat Neko menoleh seperti itu.
"(Seberapa mengagumkan gadis ini... Aku seperti ingin memberikan hatiku padanya,)" pikir Yohan sambil melamun.
"Apa?" Neko menatap tajam, membuat Yohan tersadar dan bertanya. "Apa yang kau pikirkan, Nuna?" Yohan menatap mendekat.
"Jangan mendekat bodoh, tetaplah di sana," Neko menyela, membuat Yohan terdiam bingung.
"Em... Ini terlalu jauh...."
"Tetap saja di sana."
". . . Tapi, kenapa... Apa kamu sudah tidak menginginkanku lagi, Nuna!? Kenapa?" Yohan menatap kecewa.
"Ck... Tubuhku pendek, tinggimu tidak bisa melihatku. Bagaimana aku bisa menengadah melihatmu jika kau mendekat?" Neko menggeleng kepala.
"(Yeah, aku memang tinggi...) Em... Jadi itu masalahnya? Sebenarnya, aku juga tidak bisa dibilang sangat tinggi. Tinggiku hanya 180-187 mungkin. Jika aku peduli padamu, aku akan selalu melihatmu meskipun kau setinggi gadis biasa," balas Yohan.
Lalu Neko terdiam dan tersenyum kecil. "Bisa kau jelaskan lebih detail soal hal yang kau anggap sebagai 'peduli'?" Neko menatap.
"(Huh... Dia tiba-tiba bertanya begitu.... Sepertinya aku harus menjawabnya dengan bijak agar dia mengerti soal hal ini.) Tak peduli kau kecil atau besar, tak peduli kau pendek atau tinggi, dan lainnya, selagi kau ada di perasaan seseorang maka dia akan peduli padamu. Dan dia akan selalu melihat ke mana arahmu berjalan. Itu adalah peduli dalam perasaan yang sangat dalam... (Fufufu... Pasti kalimatku bagus...)" Yohan sudah percaya diri dengan kalimatnya tadi.
"Lalu... Bisakah kau menemukan seseorang itu untukku, Yohan?" Neko melirik dengan senyuman seperti bercanda khasnya. Hal itu membuat Yohan terkejut dan sedikit berwajah merah.
"E... I... I... Itu tidak benar... Ma... Maksudku, e... Aku, aku adalah orangnya!!" Yohan langsung membalas begitu, hal itu membuat Neko terdiam.
"(Aduh, apa yang aku katakan tadi.... Astaga... Bagaimana ini, aku benar-benar tak tahu harus apa!!) Um... Bukan hanya mengatakan sesuatu yang tidak-tidak, tapi maksud dari perkataanku, mungkin aku ingin menjadi orang yang setia untukmu."
". . . Kau ingin menjadi orang yang setia untukku?"
"Iya, iya."
"Kalau begitu apa perbedaan dari terpercaya dan setia?" Neko menatap.
Yohan terdiam sebentar. "(Kenapa mendadak dia bertanya begitu, apa ada sesuatu yang salah di sini.... Mungkin karena topik yang melakukannya, topik datang tiba-tiba. Sebaiknya aku hanya akan menjawabnya saja.) Um... Setia itu... Tidak akan meninggalkan orang yang dia pegang dan tidak akan melirik orang lain karena dia fokus memegang orang yang seharusnya ia miliki. Jika terpercaya... Kita diminta melakukan sesuatu dan kita diberi kepercayaan, itu adalah terpercaya jika kita memang berhasil memegang kepercayaan yang diberikan orang lain pada kita," kata Yohan.
"Jadi?"
"(Aduh, dia tanya begitu, apa yang harus aku jawab? Astaga Yohan, kenapa kau mendadak bego begini, jawab, pikirkan, pikirkan... Ah, gimana.... Tunggu, aku hanya harus memutar balik jawaban ku tadi.) E... Jadi... Setia dalam frasa perasaan, hal itu dilakukan oleh keinginan kita sendiri, sementara terpercaya dilakukan karena atas perintah orang lain," kata Yohan.
Lalu Neko tersenyum kecil.
"E.... Kenapa, apa ada yang salah dari jawaban ku tadi? Katakan padaku!" Yohan menatap panik.
"Aku tak akan menganggap semua jawabanmu itu salah," tatap Neko membuat Yohan terdiam.
"Nuna.... Kau begitu bai--
"Baiklah, cukup," Neko langsung menyela membuat Yohan terkejut dan langsung sakit hati.
"(Aish.... Dia benar benar jahat sekali... Menyela ku, padahal kan aku mencoba memujinya...)"
"Sebelum kau mengatakan sesuatu yang sangat berkebalikan dengan ku, aku harus bertanya satu hal. Kau ingin menjadi apa dari salah satu-nya, yakni setia dan terpercaya?" Neko menatap tajam sekaligus datar.
". . . (Apa yang harus aku jawab padanya... Aku benar-benar tidak mengerti lagi.... Tapi... Jika dia memberikan ku pilihan dari dua kata itu, setia atau terpercaya, sebenarnya jika aku harus berpikir, kedua kata itu memiliki makna yang dibilang sama seperti sebuah kalimat yang akan mengatakan, 'Jika kau memiliki sifat terpercaya tinggi maka orang akan menganggapmu setia.') Mungkin, aku ingin menjadi keduanya," Yohan menatap ragu.
"Kenapa memakai kata mungkin? Bukankah kau bisa bilang 'pasti'?"
". . . Aku tidak yakin aku akan menjadi terpercaya," kata Yohan, membuat Neko terdiam dan menghela napas panjang. "Kau menginginkan dirimu menjadi terpercaya, tapi kau juga berpikir untuk menjadi setia. Sebenarnya, apa yang kau pikirkan satu-satunya?"
"Aku.... Aku hanya kurang yakin. Keadaan membuatku akan merubah perkataanku nantinya... Aku tak bisa bilang pasti karena aku tak tahu ke depannya bagaimana soal situasinya."
"Jadi kau ragu, itu sama saja kau benar-benar tidak terpercaya. Jika kau tidak terpercaya, orang akan susah menganggapmu setia," tatap Neko.
"Haaggh... Ini membingungkan," Yohan memberontak. "Kau memberikan ku pertanyaan yang membuatku harus memutar otakku. Sebaiknya, sebelum kau bertanya, bagaimana denganmu dulu? Apa yang kau pilih, Nuna? Kau ingin setia atau terpercaya?" tatapnya.
Neko terdiam sebentar dan tersenyum kecil membuat Yohan terkejut melihat itu.
"Kau mungkin berpikir aku harus melakukan kedua kata itu, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah menilai dari awal bahwa aku tak bisa melakukan keduanya, karena tak ada yang bisa mengajarku," kata Neko.
Seketika Yohan terpaku. "(. . . Mengajarku.... Jadi kau ingin diajari... Tapi, yang dia katakan benar, belum tentu ada orang maupun kita sendiri yang bisa melakukan kedua kata itu. Kita harus diajari, atau belajar sendiri...) Kenapa tidak belajar sendiri?" Yohan menatap.
". . . Jika kau belajar sendiri, kau tak akan tahu letak kesalahannya karena kau juga tidak akan bisa memastikan bahwa itu jawaban yang benar. Jawaban akan tetap pada orang yang mengajarku."
"(Aku mengerti, pemikirannya lebih tajam dan sangat dalam.... Kenapa dia bisa punya pemikiran yang sangat bagus sekali. Sepertinya dia memang hebat dan aku tak ada apa apanya. Aku juga tidak bisa meremehkannya...)" Yohan terdiam.
Tapi tiba-tiba ada yang berteriak. "Hoi... Dia!!"
Hal itu membuat Yohan dan Neko menoleh. Ada beberapa orang menghampiri mereka, tampilan mereka benar-benar sangat mengerikan dan rupanya salah satu orang itu adalah pria yang memangku Neko saat di kamar mandi bar.
"Hei, kau kenapa lari dariku? Padahal kita baru saja mulai saat itu, bukan?"
". . . (Haiz.... Ada ada saja hal yang begini... Padahal waktu itu aku mabuk dan tidak menyadari apapun... Aku mabuk karena aku benar benar gampang mabuk jika minum alkohol murahan... Dan sekarang, masalah sial kecil saja harus begini...)" Neko terdiam menatapnya akan menjawab pertanyaannya dengan wajah datarnya.
Ia akan membuka mulutnya mengatakan sesuatu, tapi tak disangka Yohan melindungi Neko. Dia menutupi Neko dengan tubuhnya, menghalangi pria itu menatap Neko.
"Bukankah dia sudah bilang, dia tak mau padamu?" kata Yohan dengan tatapan serius. Dia benar-benar memasang wajah serius itu membuat Neko terdiam melihatnya.
"Huh.... Kenapa memangnya?" dia menantang lalu mereka saling melotot.
"Aku bilang dia tak mau, ya tidak mau!!" Yohan menatap kesal dan tegas.
"Apa dia gadismu, huh... Bukan kan... Kenapa kau melindunginya, huh..." Pria itu juga membalas dengan
nada. Mereka benar-benar saling menantang dan melotot serta terus melemparkan tatapan tajam.
Neko hanya bisa menghela napas panjang, mengalihkan pandangan dari mereka yang mengganggu.
Tapi tiba-tiba ada orang berteriak, "Luna... Kau akan mati...!!" Orang itu berlari dari arah depan membawa pisau dan akan menusuk Neko.
Neko terdiam tak bisa menghindarinya karena saking tiba-tibanya.
"NUNA...!!" Yohan berteriak dan mendorong Neko hingga terjatuh. "Ugh..." Neko terjatuh duduk di tembok menahan sakit punggungnya. Lalu ia membuka mata dan melihat Yohan terlutut di depannya.
"Yoh--
"Nuna, kau baik-baik saja?!" Dia mengatakannya dengan panik, memegang kedua bahu Neko dengan tatapan yang sangat panik.
"Aku... baik-baik saja," kata Neko dengan masih tak percaya melihat ekspresi Yohan tadi, sementara orang yang akan menusuknya tadi telah pergi melarikan diri.
"Fyuh... Syukurlah. Itu tadi hampir saja," Yohan menghela napas sambil menurunkan kepalanya. Dia meletakkan wajahnya di bahu Neko.
Namun Neko mencium bau darah dan ia mengira Yohan tertusuk. "Yohan, aku baik-baik saja. Kau bisa menyingkir dariku! Yohan!" Neko menatap, dan rupanya benar, Yohan yang tertusuk. "Yohan!" Neko memanggil namun Yohan tak menjawab. Dia mengetahuinya karena tangannya terkena darah dari Yohan. Darah itu berasal dari perutnya yang menetes.
"Hei... Ada apa?" Orang yang bertemu dengan mereka tadi mendekat. Dia juga tampak panik.
"Selamatkan dia!" Neko berteriak dengan wajah panik karena yang tertusuk rupanya adalah Yohan.
"(Ha.... Lagi-lagi, aku pingsan di depan gadis ini. Padahal aku sudah bersumpah pada diriku sendiri bahwa ini semua tak boleh terulang lagi. Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar tak sadarkan diri sekarang. Kata terakhir yang aku dengar adalah dia memanggil namaku. Aku harap aku bisa bangun agar aku bisa mendengar dia memanggilku lagi.)"