webnovel

Chapter 128 Trusted Guard

Yohan terdiam, dia bahkan melamun menatap wajah Neko yang juga menoleh padanya.

"(Aku mungkin berpikir bahwa aku memiliki sebuah rasa yang tak akan hilang sejak pertama kali aku bertemu seseorang yang begitu menawan. Mau bagaimana lagi, dia bukan gadis biasa, dia gadis yang sangat penting. Bahkan, semuanya akan membelanya demi memilikinya, jika dia mati sekalipun. Darah, mata, rambut, dan kulitnya masih sempurna dan digunakan untuk apapun yang disebut pajangan. Tapi bagi seseorang yang paham, mereka akan lebih memilih membuat keturunan bersamanya... Karena gen mata merah hanya ada satu di dunia ini. Tapi, jika melihat sekilas, dia gadis yang tak ingin dijadikan ratu, dia hanya ingin mengatakan bahwa siapa saja yang ingin menjaganya bisa menjadi pengawal maupun pelindungnya. Dia tidak mengharapkan apapun kecuali seseorang yang sudah lama dia cari, seseorang yang seharusnya datang setelah penunggu penantian yang sangat lama. Hanya saja, siapa orang itu?)"

"Hei... Hei... Yohan!!" panggil Neko dari tadi, membuat Yohan tersadar dan langsung menoleh ke Neko yang berdiri di sampingnya. Mereka masih ada di pagar pelabuhan.

"Nuna...?"

"Apa yang terjadi denganmu? Aku bicara padamu, kenapa tidak merespon? Aku memanggil juga tidak menoleh, kau sedang memikirkan apa di tempat seperti ini?" Neko menatap tajam.

"Ah, maafkan aku... Aku hanya terpikirkan sesuatu saja. Bagaimana jika, suatu saat nanti, kamu benar-benar tiada dan bagaimana dengan orang yang telah lama ditakdirkan untukmu? Dia harus merasakan kesakitan karena sia-sia menunggumu," tatap Yohan.

Neko terdiam sebentar mendengar kalimat itu, dia lalu menghela napas panjang menatap laut.

"Yang seharusnya kau lempar pertanyaan seperti itu adalah orang itu, bukan aku. Orang yang sudah lama membuatku menunggu, orang yang harus aku dengar pertanggungjawaban dan minta maafnya karena sudah membuatku tak bisa menjadi gadis normal lainnya. Itu termasuk dalam masa laluku, dia yang membuat mata ku harus kemasukan darah dan tak bisa berteriak histeris karena dia sudah memiliki tampang yang mengerikan dari dulu..." balas Neko.

Kini suasana kembali terdiam. "(Aku masih belum mengerti padanya... Jika melihatnya begini, apa dia lebih memilih untuk bersimbah darah? Kenapa gadis sepertinya harus terhubung dengan darah yang begitu menyakitkan? Tentunya aku tak bisa heran begitu saja karena dia memang harus berhubung dengan darah.)"

"... Kenapa kau tiba-tiba bertanya hal itu?" tanya Neko sambil menatap ke lautan yang terus bergerak tenang.

"(Dia bertanya begitu, apa yang harus aku jawab...?) Sebenarnya hanya memastikan saja, apakah kau bisa sepenuhnya percaya pada orang lain, bahkan di dekatmu sendiri?" Yohan menatap.

"... Aku menganggap mereka orang yang aku kenal saja, bahkan tidak sampai ada ketika aku ada di ujung yang lain."

"(Dia menjawab begitu seolah-olah semua orang yang ada di dekatnya itu adalah angin...) Lalu, sekarang aku sebagai apa jika kau menyebutkannya nanti?" Yohan menatap.

"... Kau hanya orang lain..."

"(Sudah kuduga, dengan sifatnya itu, aku pastinya juga akan dianggap angin beberapa kali pun aku menolongnya. Sebenarnya apa yang membuatnya berpikir bahwa orang lain maupun semua orang yang ada di dekatnya bisa menjadi penolongnya tanpa dipanggil pahlawan sekaligus?) Kenapa kamu hanya menganggapku begitu... Aku sudah mentang-mentang menolongmu dan juga jika tak ada aku, kamu akan kehabisan darah di apartemen itu."

"... Ha... Kita dari awal mungkin sudah membahas bahwa banyak orang yang menolongku tapi mereka tidak terpilih menjadi pahlawan. Bekerja keraslah menjadi pahlawan, maka kau hanya terbuang saja. Kau hanya seorang pengawalku," kata Neko.

"Tapi... Kamu menganggapku pengawal, apa kamu percaya padaku? Aku akan mendukungmu begitu?"

"Yeah, jadilah pengawal terpercaya dan bisa aku percayai," kata Neko.

"... Bagaimana jika suatu hari nanti, kau melihat aku mengkhianatimu?"

"Aku akan berteriak padamu," kata Neko.

"Haha... Hanya berteriak?" Yohan menatap.

"Kau tertawa begitu seolah-olah tak pernah menyakiti perasaan seorang wanita? Bajingan!" Neko melirik, membuat Yohan terkejut kaku mendengar itu tadi.

"(Sepertinya dia akan berteriak dengan kalimat itu nanti... Meskipun tadi dia tidak berteriak, tapi tetap saja, nada suaranya yang berat sangat menyakitkan itu, bahkan belum berteriak, apa lagi jika berteriak nanti.)"

Lalu Neko kembali menatap lautan dan melihat kapal-kapal kargo itu yang begitu sibuk dengan orang-orang yang mengangkut kargo maupun mengambilnya.

"Nuna, bagaimana setelah ini? Kita makan aku tahu tempat makan yang begitu enak di sini; ada steak daging sapi yang enak," tatap Yohan.

"Yeah, terserah..." Neko menyetujui, lalu Yohan mengulur tangan.

Neko terdiam, dia melewati tangan itu sambil mengatakan sesuatu. "Pengawal tak boleh menggunakan tangan pada atasan."

Hal itu membuat Yohan terdiam menatap tangannya sendiri, dia mengepal tangannya. "(Lihat saja, aku akan membuatmu memegang tanganku.)"

---

"(Berpikir keras bahwa aku takut jika aku dikatakan mengkhianatimu... Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahumu bahwa aku adalah suruhan dari Tuan Park Choisung, tapi ini tergantung; aku belum tahu hubunganmu dengan Nona Neko...)" Yohan terdiam, dia bahkan melamun dengan berpikir keras.

Sementara Neko di hadapannya menatap bingung padanya dari tadi. "Hei... Kau... Lelaki melamun," tatapnya membuat Yohan tersadar.

"Ah... Maaf... (Apa aku terlalu banyak melamun dari tadi?)"

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Neko sambil mengiris pelan daging steak yang ada di sajian.

Mereka ada di restoran dan memiliki menu yang sama, yakni steak.

"Um... Maafkan aku jika berlebihan melamun karena mungkin... Aku sedang banyak pikiran mulai dari kita masuk pelabuhan tadi."

"Pft, ada apa? Apa roh penasaran dari kargo busuk itu menghantui mu? Sudah sepatutnya mereka melakukan itu karena kau benar-benar sangat penakut dan payah meskipun kau bukan dari mereka."

"Apa!! Aku tidak seperti itu, percayalah!" Yohan menatap dengan wajah yang malu.

"Sekarang kau berteriak dengan rasa yang berbohong."

"Uh, Nuna, kau benar-benar membuatku tertekan... Aku melamun karena memikirkanmu dari tadi," tatap Yohan.

Seketika Neko terdiam di irisan pertama itu karena dia baru mengiris satu potong steaknya. "Memikirkanmu?" tatapnya dengan diam.

"Um, yeah... Memikirkanmu, hanya memikirkan mu..." tatapnya.

Tapi mendadak Neko menancapkan pisau steak itu di mejanya dengan tatapan tajam sambil bergumam kecil. "Mennijikan..."

Yohan yang mendengar itu terkejut panik. "(Astaga!! Dia baru saja mengatakan hal itu!! Apa yang harus aku lakukan, aku sepertinya mengatakan hal yang salah.... Bagaimana ini?!) Um.... Jangan salah paham dulu.... Aku hanya berpikir tentang mu soal bagaimana dengan kondisi mu ketika diancam banyak orang dan lainnya..." Yohan menatap khawatir.

"Apa maksudmu? Sudah jelas aku ini baik-baik saja, kenapa kau harus memikirkan sejauh itu layaknya kau tahu bahwa di hari yang akan datang, aku akan terancam?" Neko menatap tajam.

"Bagaimana jika itu benar?" Yohan menatap, dia mencoba mengakui perkataan Neko itu.

Tapi itu membuat Neko terdiam dan tersenyum kecil. "(Hal seperti ini memang membuat ku kesal apalagi dia harus susah susah berpikir soal hal yang tidak berguna... Tapi tetap saja, itu baik baik saja.) Kau pengawal terpercaya kan?" tatapnya dengan percaya bahwa Yohan tidak akan bisa mengkhianatinya, lalu dia memberikan irisan potongan steak tadi padanya.

"Sudahlah, jangan banyak pikiran, tetaplah menjaga pola makanmu dan makan ini," tatapnya.

Yohan terdiam, dia bahkan masih sangat khawatir. "Kenapa kamu menganggap bahwa aku ini lemah? Kenapa kau menganggap bahwa aku tak bisa ikut campur dan yang lainnya sebagai....?"

"Jadi kau ingin berpikir, aku menilai bahwa kau adalah orang yang kuat, yang bisa segala sesuatu dan yang lainnya begitu? Kenapa kau begitu sangat aneh sekali... Padahal dari awal bertemu, kau sudah cukup menjaga ku dan menjadi asisten ku. Dan sekarang, kau malah terasuki sesuatu yang membuatmu berpikir mengkhawatirkan ku selalu," Neko menatap tajam.

"Maafkan aku... Mungkin itu yang dirasakan orang lain ketika mereka sudah merasa dekat denganmu. Ketika mereka sudah bisa menilai bahwa kau bisa akrab dengan mereka padahal ekspresi mu sama dari awal bertemu, tak ada yang berubah. Kenapa mereka, termasuk aku, menganggapmu berubah? Apa ini karena suasana pola pikirmu?" Yohan menatap, tatapannya kosong dari tadi membuat Neko kembali terdiam.

"Baiklah, terserah saja jika kau ingin mengkhawatirkanku atau apa, aku tak peduli," Neko membalas begitu dengan wajah datar.

"(Ini begitu sangat sulit sekali... Apa aku harus lapor sekarang pada organisasi Park Choisung dan haruskah aku bertanya padanya soal Park Choisung? Tapi, itu jelas akan membuatnya berpikir bahwa aku terlalu ikut campur ke dalam urusannya, sebaiknya tidak usah,)" Yohan terdiam dan memakan dagingnya.

Hingga ketika mereka selesai, Neko terdiam menatap sesuatu dari jauh. Yohan yang melihat itu menjadi bingung. "(Apa yang dilihatnya sehingga dia begitu fokus pada satu hal itu... Haruskah aku ikut melihat?)" dia akhirnya ikut melihat dengan apa yang dipandang Neko dengan serius tadi.

Rupanya seorang lelaki dari meja agak jauh duduk sendirian sambil memakan kue apel yang begitu lembut.

"(Hah... Benarkah dia melihatnya?!)" Yohan terkejut tidak karuan karena ia berpikir bahwa Neko sedang memandang lelaki itu, seketika dia menutupi pandangan Neko dengan tubuhnya. "Nu... Nuna... Apa yang kau lihat!?"

"..." Neko terdiam tersadar dan ia mengambil buku menu yang ada di meja itu. Dia membuka sambil mencari sesuatu, membuat Yohan terdiam masih bingung.

Hingga Neko menunjuk sesuatu. "Yohan, aku ingin ini," Neko menunjuk kue apel yang ada di menu hingga Yohan terdiam tersadar bahwa Neko tadi memandang kue apel lembut yang dimakan lelaki tadi, bukan lelaki itu yang dipandangnya.

"A... Ah... Jadi, begitu... Kupikir apa, hehe... Baik, baik, aku akan memesankan nya; apa Nuna suka itu?" Yohan menatap.

Tapi mendadak Neko membuang wajah. "Itu tidak benar."

"Huh? (Ah, aku tahu, dia malu mengakui nya... Haha, sangat imut, ternyata gadis sedingin dia masih ada keimutan, apalagi suka pada kue apel yang lembut dan manis...)" Yohan tersenyum sendiri.

Tapi Neko menatap kesal. "Apa yang kau tertawakan!"

"Oh, maaf, aku akan memesankan sekarang," Yohan langsung pergi, membuat Neko menghela napas panjang.