Tak lama kemudian, Kikiyo memegang kotak kecil penuh darah yang sangat merah. "Wah... darahnya merah banget... sangat merah... ini pasti kebanyakan oksigen, dan karbondioksida yang bertabrakan. Kau payah menjaga kesehatan," tatap Kikiyo sementara Neko turun dari kursi dengan gemetar dan wajah yang begitu pucat.
Ia mengambil kemejanya dan berjalan pergi, tapi Kikiyo menahannya. "Hei, tunggu, aku belum meneliti sampel ini. Kamu tak mau lihat hasilnya?"
"Siapa peduli," Neko langsung membalas dan mengacungkan jari tengah hingga ia berjalan pergi dari sana, membuat Kikiyo terdiam dan menggeleng, lalu meletakkan kotak itu di meja.
"Akhirnya, setelah sekian lama aku menunggu, aku dapat sampel darah dari gen yang sangat langka, gen mata merah... wuhu..." dia senang sendiri.
Di jalannya, Neko keluar dari klinik. Dia bernapas berat sambil mengancingkan kemejanya, karena dia tadi memakai kaus hitam dengan kemeja panjang yang melengkapi model bajunya. Tentunya, dia memakai celana panjang hitamnya.
Dia tadi bernapas cepat sambil melihat sekitar. "Ha... sial... kau pikir mengambil darahku sedikit saja bisa membuatku seperti banyak kehilangan darah... sialan sekali tidak menggantikan darah," gumamnya dengan kesal.
Hingga ia memegang kakinya. "(Akh... ini masih terkilir... cepat sembuhlah,)" dia memegang kakinya sendiri, itu karena dia tadi masih terkilir.
Tapi tiba-tiba saja, dia terdiam ketika melihat seseorang yang ia kenal, yakni Matthew.
Sedang berdiri di bawah tiang listrik lampu jalanan dengan pakaian yang berbeda, tepatnya pakaian seperti lelaki muda lainnya yakni celana hitam panjang, kaus hitam, dan kemeja yang terkancing tidak semua. Siapa sangka, dia memakai model baju yang sama seperti Neko, tapi kemeja mereka berbeda.
"Apa?! Kenapa dia bisa memakai baju seperti itu... Kebetulan sekali berarti... Seharusnya aku memakai kemeja saja tanpa kaus sama sekali..." Neko menatap bajunya.
Tapi ia kembali terdiam ketika Matthew melihat ke arahnya. Ia membuka mata lebar dan mengalihkan pandangan. Matthew lalu kembali memandang arah lain, sepertinya dia tidak sadar bahwa ada Neko di pandangannya tadi.
Hingga ada yang datang dengan pakaian yang begitu cantik, yakni Suzune dengan gaun pendeknya. Memanggil dengan keras, "Sayang!"
Hal itu membuat Neko mendengarnya. Dia terdiam, sangat tertusuk, tapi wajahnya tetap terdiam polos. "(Sayang, dia bilang...)"
Suzune tampak mendekat dan langsung mendekap lengan Matthew. Mereka berbicara, tapi di sini yang memasang wajah senang adalah Suzune, sementara Matthew terdiam dengan tatapan membosankan. Dia hanya mengangguk di setiap perkataan Suzune, bahkan ketika jalan pun, Suzune menariknya duluan hingga Matthew benar-benar berjalan bersama dengannya.
Neko masih terdiam melihat itu. Ia lalu tersenyum kecil, tapi dilihat dari kedua bahunya, dia gemetar. Lalu mengambil sesuatu dari sakunya, dia mengambil permen tusuk dari sakunya dan membuka bungkus permen itu dengan jarinya yang ikut gemetar. Siapa sangka, permen itu jatuh dari tangannya dan dia masih terdiam dengan senyum kecil. "Haha... layaknya tak pernah bisa kuakui bahwa aku sedang sakit melihat ini..."
Dia mencoba menahan sesuatu yang seharusnya tidak dia terima dan ia lihat baru saja. Tentu saja dia kesal, tapi dia mencoba mengendalikan dirinya dan mulai sadar diri.
---
Ketika sampai di apartemen, Neko membuka pintu, tapi sebelum masuk, ada yang memanggil. "Nona Akai," panggilnya, membuatnya menoleh. Rupanya itu Satori.
"Nona Akai, apa kamu ada waktu?" Satori menatap.
"Apa maksudmu, kau ingin mengajakku?"
"Bukan... Eh, ya, dibilang begitu juga bisa, itu mungkin karena kita belum melakukannya. Saat itu aku pingsan dan sakit, maafkan aku," tatap Satori. Ia mengingat saat mereka akan pergi ke suatu tempat ketika Satori berlari buru-buru ke Neko yang menunggu di pinggir jalan. Tapi dia pingsan dan tak jadi melakukannya berdua.
"Kemana kita akan pergi?" Neko menatap.
"Um... aku tahu kafe dekat museum."
"Kafe dekat museum?"
"Ya, aku mendengar dari salah satu temanku, di sana memiliki manajer yang baik dan begitu ramah. Kafe itu memang tidak besar, tapi kopinya juga enak," balas Satori. Neko terdiam karena dia ingat kafe yang dulu menjadi tempat Matthew bekerja sambilan juga masih di sana. Manajer Jin pun pastinya juga ada.
"Bagaimana? Apakah mau? Aku sekalian ingin, um... berbicara sesuatu padamu," kata Satori.
Neko terdiam lalu mengangguk. "Baiklah, tapi biarkan aku berganti dulu."
"Ah, tidak perlu berganti, kamu cantik dan cocok memakai baju trending seperti itu... sangat cocok, jadi jangan berganti," Satori mencegahnya berganti.
"Tapi... (Bajuku akan sama dengan Matthew... Bagaimana jika kita nanti berpapasan?)"
"Ish, jika sudah kubilang jangan, ya jangan. Itu cocok untukmu. Ayo," Satori memegang tangan Neko dan langsung menariknya pergi, membuat Neko harus berjalan mengikutinya.
Hingga ketika sampai di kafe, namanya masih sama, yakni 'Sweety Coffee.'
"Aku pikir ini bukan ide yang bagus di umurku sekarang..." gumam Neko.
"Oh, ayolah, jangan bilang begitu. Memangnya umurmu tua? Kamu itu masih muda. Itu hanya karena kamu tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Paling tidak pilihlah kafe sebagai tempat yang paling nyaman untuk hati muda," kata Satori.
"...Hatiku sudah tidak lagi muda."
"Ya ampun, kamu harus belajar menjadi gadis muda yang begitu ceria. Ayo masuk, aku pesan Cerry Parfait," kata Satori sambil kembali menarik tangan Neko hingga masuk ke dalam.
"Selamat datang," ada seorang wanita menyambut. Siapa sangka, itu adalah Manajer Jin yang dulu pernah menerima Matthew bekerja di kafenya. Dulunya berdua, sekarang hanya dia sendiri yang memegang kafenya.
"Halo, selamat datang," dia menatap ramah, tapi untungnya tak mengenali Neko yang ada di depannya.
"Halo, kami ingin dua Cerry Parfait dan potongan kue istimewa," kata Satori yang langsung mengatakan pemesanan.
"Baik, akan siap dalam beberapa menit, silakan menunggu," balas Manajer Jin.
"(Dia tidak mengenaliku atau lupa?)" Neko terdiam.
"Oh ayo... Nona Akai, kamu tak boleh melamun," tatap Satori menarik kembali tangan Neko.
Tak lama kemudian, tampak mereka duduk berhadapan dengan pesanan yang sudah ada.
"Jadi... apa yang ingin kau bicarakan?" Neko menatap dingin.
Satori masih terdiam karena dia meminum Cerry Parfait itu, lalu meletakkannya dan membalas. "Um... apa kamu ingat kamu pernah bertanya bahwa aku tinggal bersama dengan Tuan Roiyan lalu aku bilang kita adalah--
"Tunangan, yeah, jangan bicara soal itu," Neko langsung berkata dingin, membuat Satori terdiam ragu.
"...Um... Tapi, itu yang akan aku bahas," tatapnya. Lalu Neko menghela napas panjang. "Baiklah, lanjutkan saja..."
"Um... aku dengar dari orang lain bahwa Tuan Roiyan pernah suka pada seseorang yang seharusnya menjadi kakaknya... Dia juga pernah bercerita padaku ketika kita belum bertemu. Saat itu, dia bercerita bahwa ada manajer baru di kantornya dan dia merupakan orang yang mirip dengan orang yang disukainya dulu, kakaknya... Hal itu membuatnya jarang pulang ke apartemen tepat waktu, membuatku menunggunya, dan bahkan ketika pulang pun, wajahnya banyak pikiran. Padahal sebelum dia menceritakan soal manajer baru itu, dia tak pernah memasang wajah yang begitu tertekan," kata Satori.
Hal itu membuat Neko terdiam, menatap hal yang lain, lalu membalas. "Jadi, kau mencoba mengatakan bahwa orang yang disukainya dulu adalah manajer yang sekarang, yang ada di departemen kekuasaan museum tempatnya bekerja, begitu?"
"Um... dia bilangnya mirip."
"Dan kau tahu siapa manajer itu?"
"...Kamu..."
"Baiklah, kalau begitu itu sudah jelas..." Neko langsung mengatakan itu dengan tatapan datar, membuat Satori terdiam.
"(Dia bilang sudah jelas, aku memang sudah mengetahui semuanya...) Kalau begitu, apakah Tuan Roiyan sudah tahu hal ini?"
"...Dengar ini, sebenarnya, aku ini sedang menyamar. Aku adalah Akai, tapi dalam samaran, namanya Luna. Dia memanggilku Luna, dan sampai saat ini, dia masih curiga aku ini Akai atau bukan. Hanya kau yang tahu, aku dengan sangat bodoh memberitahu namaku padamu karena kupikir kau tak ada hubungannya dengan masalahku. Rupanya benar-benar berhubungan sekali dengannya... Ini semua hanyalah rencana yang harus matang tanpa memikirkan siapa saja yang tahu identitasku bocor, termasuk kau. Aku tak peduli apapun, hanya saja, jangan buat dia tahu bahwa aku adalah orangnya. Jika begitu, kau pastinya akan ditinggalkan begitu saja," kata Neko.
"...Aku tak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan. Kenapa kamu meminta aku untuk tidak memberitahunya? Seharusnya kamu yang membuatnya harus melupakan itu semua. Dia harus melupakan orang yang dia sukai, buat dia kembali ke Seoul agar kami bisa cepat-cepat menikah dan menjalin hubungan keluarga. Aku tak mau seperti ini. Jika seperti ini terus menerus, hubunganku dengan Tuan Roiyan hanya akan sebatas kakak adik di depan semua orang!!" Satori menatap kesal.
"Jadi kau meminta aku untuk mengaku agar dia tahu bahwa selama ini aku adalah orang yang dia cari, lalu dia sudah lega dengan penasarannya kemudian pergi ke Seoul dan menikahimu layaknya ini semua sudah terlupakan begitu!! Itu tidak mudah!! Dia hanya akan meninggalkanmu dan itu menggangguku. Siapa yang mau lelaki yang sangat buruk seperti itu!!" Neko juga berdebat.
"Kenapa kamu keji sekali!!" Satori langsung menyala, membuat suasana terdiam, bahkan Manajer Jin menatap ke mereka dengan khawatir.
Tapi Satori menjadi mengepal tangan. Mendadak ia mengambil gelas Cerry Parfait milik Neko yang belum sama sekali disentuh dan dengan cepat melemparkan airnya ke Neko yang terpaku.
Hingga ia benar-benar terkena minuman manis itu. Dia terdiam menatap bawah dengan wajah tak terlihat. Air itu menetes dari rambut dan kepalanya, membasahi sekitar.
Lalu Satori meletakkan gelas itu sambil menangis. Dia terpaku dengan apa yang dia lakukan, bahkan semua orang yang ada di sana terkejut melihat itu.
"Aku... Aku... Aku benar-benar minta maaf," Satori benar benar mulai menangis, tapi Neko hanya terdiam tak mengatakan apapun hingga Satori benar-benar tak bisa menahan air mata kesalahannya. Dia langsung berlari pergi, meninggalkan Neko di sana.
Neko masih terdiam dan menghela napas panjang, mengangkat pandangannya dengan tatapan dingin. "Aku yang salah...."