webnovel

Rencana Fira

Karena rumah ini masih digunakan para pihak berwajib. Aku dan Mas Fadil diminta mengungsi untuk beberapa hari, sampai dengan waktu yang tak ditentukan.

Entah ke mana kami akan pergi dari rumah ini. Kalaupun aku menawarkan untuk pergi ke kota, ke rumah Mamah, dia pasti akan langsung menolaknya mentah-mentah.

Kelembutan dan sikap penyayang yang Mas Fadil tampilkan saat kami pacaran, dan saat menikah tapi belum pindah ke sini, sangatlah berbeda jauh dengan sikapnya yang sekarang. Dia tampak blak-blakan melarangku, dan juga posesif-nya itu yang tak bisa kuterima dengan lapang dada. Dia terlalu menyebalkan.

Bukankah perubahan ini terlalu cepat. Orang-orang bilang kalau menikah lambat laun pasti akan tahu apa sikap yang tak pernah ditunjukkan oleh pasangan kita sebelumnya.

Menurut pengalaman teman yang lebih dulu naik ke pelaminan, mereka melihat perubahan sikap itu saat satu tahun pernikahan. Ada juga yang dua tahun, dan paling sebentar adalah enam bulan. Sementara aku, yang benar-benar seumur jagung ini, ternyata sudah dipetlihatkan sikap menyebalkan Mas Fadil yang terkadang membuatku muak ingin menyerah. Namun, Mamah pasti akan keberatan karena awalnya dia tak setuju. Dia marah dan tak menerima apa yang tetrjadi.

Aku yang hampir menikah dengan pria lain, tiba-tiba putus karena mantan kekasihku itu mendadak pergi ke luar negeri dan dengan teganya dia bilang tak mencintaiku lagi. Ibunya juga yang tadinya dekat, seakan menjauh. Di tengah prosesku menyembuhkan hati yang patah, Mas Fadil datang dengan segala kelembutan yang seakan merangkulku dan membuat sayap-sayap patah di hatiku sembuh total.

Dia tak banyak gombal. Perhatiannya nyata. Tak ada kata menyakitkan dan dia tak pernah menuntut perubahan kecil yang kadang dilontarkan oleh mantan kekasihku dan keluarganya.

Status Mas Fadil yang tak punya sanak saudara bahkan orang tua, terkadang membuatku lega. Karena aku tak perlu merasa dinilai lagi. Tidak perlu jaga image lagi demi meraih restu.

Mamah curiga dan bilang kalau sikapnya itu mencurigakan. Ada hal yang tak bisa diungkapkan Mas Fadil ke Mamah dan aku tak tahu apa. Namun, setelah beberapa minggu, Mamah memberi restunya dengan ikhlas, aku resmi dipersunting.

Sekarang aku gelisah dan resah. Aku mau melakukan hal kecil yang membawa perubahan pada kasus ini. Karena hal yang terjadi, tak akan membuatku merasa puas. Polisi memang datang. Namun, mereka pasti tak tahu dan tak percaya dengan kasus ghaib yang aku dapat tadi.

Tentang pengelihatan itu. Tentang Bu Shinta dan juga Bu Putri. Masih ada kisah yaang belum aku ketahui. Mereka mau menunjukkannya kepadaku, meskipun terasa sulit dan aku tidak tahu akan jadi apa aku nanti.

Aku menatap nama kontak pemuda itu. Karena rasanya tak sabar untuk memberitahunya kalau semua yang kulakukan ini adalah sebuah tindakan yang siap untuk menguak masalah ini. Terutama, menanyakan siapa Adel yang dia maksud. Jujur, sebenci apa pun aku dengan Mas Fadul, tetap saja aku merasa tak nyaman dengan pernyataan tadi. Rasa-rasanya rahasia yang aku keratahui masih sangat sedikit, dibanding yang sudah ketahuan.

Sudah tetlanjur tercebur. Rasanya akan lebih menyenangkan untukku basah seluruh tubuh. Kalau memang ada jalan bagiku untuk membongkar rahasia besar masa lalu yang menyeramkan ini, maka akan aku lakukan. Toh, ini juga menyangkut hidupku. Tak ada yang bisa menahanku sekarang.

Pria itu nampak lelah, sangat membutuhkan istirahat dan dia nampaknya juga sudah selesai menjawab pertanyaan dari pihak yang berwajib. Mas Fadil kembali menghampiriku yang mulai kesulitan menampakkan raut wajah seperti apa yang akan membuatnya tak curiga kepadaku.

Aku sadar kalau sangat sulit menyembunyikan pemikiranku darinya. Suamiku seakan tahu kalau ada yang aku tutup-tutupi darinya. Kemudian semua yang aku rencanakan pasti dibuyarkan olehnya. Apalagi masalah ini menyangkut dengan wanita bernama Adel. Aku takut dia mencium gelagat aneh pada diriku ini, lalu menyelidikinya lebih lanjut.

Maka dari itu, saat dia semakin mendekat, aku tak mau ambil pusing dan cemberut atau bersikap yang mengundang amarahnya.

Dia tersenyum tipis, dan aku membalasnya dengan wajar, tak mau berlebihan dan hasilnya akan sama saja. Curiga. Dia akan curiga kepadaku.

"Selagi penyelidikan berlangsung, kita akan menyewa rumah yang kecil saja. Hal terpenting adalah kamu harus tetap di sini. Aku gak mau jauh-jauh sama kamu, Sayang." Mas Fadil berkata sambil tangannya menggengam tanganku erat. Dia nampaknya merahasiakan banyak hal kepadaku.

Aku bisa melihat dia tak nyaman karena ada banyak orang di sini. Mungkin takut juga rahasia yang disembunyikan di sini akan terkuak dengan mudah. Dia sadar akan ancaman itu. Namun, apa dayaku untuk mengatakannya.

Biar saja. Bukannya aku tega. Aku hanya mau memberi Mas Fadil waktu untuk berpikir kalau apa yang dia perbuat adalah salah. Kebenaran dan kejujuran ada di atas segala-galanya. Dia akan berpikir kalau kebohongannya akan tetkuak oleh semua orang dan dia akan dapat ganjarannya karena memulai semua ini dan menutup-nutupinya.

Akau gemas sekali. Ingin berteriak ke polisi agar menyelidiki segala aspek dan juga perilaku Mas Fadil yang mencurigakan ini. Supaya rahasia lain terbongkar.

"Kamu jangan banyak berpikir keras, Fira. Aku tahu kamu gak puas dengan hari ini." Mas Fadil mengucapkan hal menyebalkan itu lagi. Dia mulai menjelma menjadi cenayang dan membaca pikiranku lagi.

"Apa maksudnya, Mas?" tanyaku.

"Jangan pikirkan masalah ini. Kita hanya akan menunggu beberapa hari sampai Polisi selesai. Lalu kita bisa kembali lagi," katanya, tanpa rasa bersalah sedikitpun kepadaku. Dia sangat santai melakukannya. Tak perduli apa yang dikatan akan membuatku makin kesal.

Aku yang duduk mengarah ke depan, kini menyamping menatapnya. "Lihat aku, Mas!" perintahku.

Mas Fadil mengikuti intruksiku. Matanya yang sedikit menghitam dengan kantung mata itu, menatapku sendu. Dia bahkan tak betkedip.

"Kamu serius, anggap masalah ini selesai. Kita justru baru mulai, lho, Mas. Ada korban yang tak bersalah di sini. Kamu biasa aja tahu Aki harus tiada demi ritual tadi?" Aku sedikit memelankan suara dan Mas Fadil yang mendengarkanku seketika menutup matanya, mungkin dia kaget dengan pendapatku ini.

"Fira Sayang... aku tahu kamu pasti sedih, tapi aku juga merasakan hal yang sama, Fir. Aku menatap Aki tiada secara langsung dan tak bisa menolongnya. Apa kamu sadar ketakutanku tadi?"

Mendengar apa yang dia katakan aku malah yang berbalik terdiam tak tahu mesti berkata apa lagi.

"Tolong, Fira. Kasih aku waktu agar bisa tenang. Aku kalut dan takut, hanya mau didukung kamu terus." Mas Fadil meraih tanganku dan mengecupnya dengan lembut. Dia menatapku dengan sorot lembut. Tatapan inilah yang membuatku luluh dulu, dan sekarang pun masih begitu.

Akan tetapi, akal sehatku kini bekerja dengan baik. Aku tetap ingat setelah ini mau menghubungi pemuda tadi.