webnovel

Petunjuk Misterius

Aku mengambil koper itu dan membukanya. Isinya ada sebuah map dan album foto. Akan lebih mudah jika aku melihat isi album terlebih dahulu. Bergetar tangan membuka halaman pertama. Di foto itu tercetak wajah yang kukenal dia adalah Pak Bayu. Lelaki tegap dengan tinggi yang menjulang itu nampak tersenyum, di sampingnya berdiri seorang wanita bersanggul dengan wajah yang membuatku tercengang. Dia ... Bu Putri?

Apakah Pak Bayu dan Bu Putri ... suami istri? Mereka terlihat mesra, saling berangkulan. Akan tetapi, bagaimana mungkin Bu Putri tidak punya berkas tentang keluarganya sendiri dan lagi, apa hubungannya dengan suamiku.

Lembar demi lembar aku membalik album foto. Hanya ada mereka berdua. Aku tak bisa menyimpulkan masalah ini sendirian. Bu Putri benar, aku harus menyerahkan ini padanya.

Oh, iya! Map-nya, lupa! Aku membuka map, merogoh isinya dan menariknya keluar. Aku menemukan beberapa KTP perempuan, kalau dihitung jumlahnya ada lima, termasuk ... aku! Apa-apaan ini!

Aku tak tahan lagi dan segera beranjak dari gudang sambil membawa semua isi map dan album foto. Ini sudah tidak beres, aku akan ke rumah Bu Putri. Beliau harus menjelaskan semua ini.

Aku sudah membawa semua bukti mencurigakan ini di dalam plastik besar. Tidak terasa, kegiatanku di gudang memakan waktu lama sampai dua jam lebih. Aku takut kalau Mas Fadil tiba-tiba pulang dan memergokiku yang mau ke rumah orang yang dia benci.

Aku merogoh saku celana, mengambil kunci serep. Lalu, memasukkannya ke lubang kunci. Tanganku bergetar dan itu membuat kunci terjatuh. Perlahan aku mencobanya lagi, tetapi tidak juga masuk. Apa yang terjadi? Kenapa jadi tidak berfungsi seperti ini?

Aku mencobanya terus dan lagi-lagi tidak bisa masuk ke lubangnya. Sial! Jangan-jangan suamiku sudah mengubahnya? Aku mengambil ponsel, berniat menghubungi Mas Fadil sambil memikirkan alasan untuk keluar rumah. Namun, sudah ada beberapa notifikasi muncul dari aplikasi pesan dan itu darinya.

[Setelah aku pergi, pasti kamu mau nemuin Bu Putri, bukan?]

[Tenang Fira, aku bukan hanya kunci pintunya, tapi aku juga mengubahnya tanpa sepengetahuanmu]

[Jangan lari lagi, atau aku akan tiada, Sayang. Aku serius!]

Sial!

Kenapa dia begitu memperhitungkan ini! Lalu, bagaimana caranya mengunjungi rumah Bu Putri. Aku terdiam, berpikir keras tentang jalan keluar.

Belum juga menemukan jawaban, nampak  sekelebat bayangan putih melewatiku dengan cepat. Aku terperanjat. Tubuhku terasa kaku saat melihatnya.

Bayangan putih itu datang lagi, perlahan mendekat. Aku menangis dengan tubuh yang semakin kaku.

"Pe-pergi dari sini ...!"

Bukannya pergi dia makin mendekat.   Wujudnya yang sekadar bayangan, berubah menjadi lebih jelas. Kaki pucat yang melayang tak menapak lantai rumah. Kemudian merambat naik ke baju putih kotor dan lusuh. Semakin ke atas nampak tangan dengan kuku yang panjang dan menghitam. Lalu lehernya dan terakhir kepala dengan rambut yang menjuntai panjang melewati kaki.

Aku terperangah ketika ujung rambut itu menyentuh kakiku dan merambat naik mencengkram pergelangan kaki. Rambut itu menelusuri tubuh dan membelitku dengan erat sampai sesak dan menyisakan wajahku saja.

"Waktumu semakin dekat, Fira!" Terdengar bisikan yang memenuhi gendang telingaku.

"Berani-beraninya kamu menyentuh pria kami!" Bisikan lain mengikuti dan membuat kepalaku berdenyut.

"Dia milik kami, lepaskan dia Fira. Kau harus mati!" Itu adalah kata-kata terakhir yang aku ingat sebelum semua pandangan menjadi gelap.

***

Aku melihat seberkas cahaya yang menyilaukan mata. Kembali aku terpejam, menetralkan cahaya yang berlomba-lomba masuk. Apa yang barusan terjadi denganku?

Aku mencoba duduk dengan susah payah dan ternyata masih di tempat yang sama. Mungkin aku pingsan akibat kejadian tadi. Hanya orang yang kuat bisa melawan kejadian mistis itu dan bukan aku orangnya.

Aku langsung teringat berkas Pak Bayu. Plastik besar itu rupanya terlempar sampai kolong meja. Aku mengambilnya kemudian mengambil duduk di kursi, beberapa saat kemudian aku mendapatkan ide yang beresiko untuk keluar.

Caranya adalah melewati kaca kecil yang ada di kamar mandi dekat dapur. Aku segera kesana sambil membawa kursi dari ruang makan. Tak lupa membawa ulekan batu yang ada di dapur. Setelah menaiki kursi, dengan kekuatan penuh aku memukulkan ulekan ke kaca sampai pecah.

Sepertinya semua kaca sudah tak tersisa. Aku melemparkan berkas terlebih dahulu. Setelah itu memegang ujung kursi, menaikan satu kaki kanan kemudian kiri, lalu mendorong tubuhku makin ke bawah.

"Aaah ...!" jeritku.

Aku kesakitan merasakan benda tajam menggores perut karena bajuku tersingkap. Rupanya aku salah perhitungan dan tak tahu kalau banyak kaca yang masih tersisa. Ini sudah kepalang tanggung, biar saja aku melakukannya sampai selesai walaupun harus terluka.

Sebagian perutku tergores menyebabkan darah menetes sedikit demi sedikit. Aku tak perduli dan mencoba menghalau rasa sakit yang luar biasa, kemudian memungut plastik berisi berkas dan berjalan tertatih menuju pagar.

Wajahku berubah sumbringah karena melihat pintu pagat tidak dikunci. Mas Fadil ceroboh kali ini. Segera aku membukanya dan keluar. Dalam perjalanan banyak orang yang memandangku aneh. Sebagian mereka bahkan berlari tunggang langgang saat berpapasan denganku. Ada apa dengan mereka semua, ya? Aku bukan penjahat, kenapa mereka sangat ketakutan?

Rumah Bu Putri sudah di depan mata. Aku mengetuk pintu dengan tak sabar cukup lama sampai terasa pegal. Setelah itu pintu terbuka, kepala wanita yang ingin kutemui itu menyembul. Dia tersenyum memandangku.

"Sudah dapat berkasnya, Nak?"

"Ya, sudah ... lengkap sekali. Saya butuh penjelasn Ibu sampai selesai."

"Masuklah dulu!" perintahnya sambil membuka pintu lebih lebar.

Aku duduk di sofa dengan ringisan yang sangat terlihat. Bu Putri ke dalam membawakanku segelas air putih. Tanpa mengucap terima kaaih, aku menenghak cairan bening itu sampai tandas.

Bu Putri membolak balik album foto dan melihat isi map. Dia terlihat senang. Kemudian matanya beralih menatapku yang masih meringis. "Kamu, terluka?" tanyanya.

"Iya, Bu. Perut saya tergores kaca."

"Baiklah, saya akan obati sambil menjelaskannya."

Sambil membersihkan lukaku. Bu Putri langsung bercerita. "Bayu dan saya sebenarnya pasangan suami istri. Kami menikah di bawah tangan. Tidak ada catatan apa pun tentang pernikahan kami. Dua tahu menikah, saya baru mengetahui kalau Bayu ternyata sudah punya istri dan seorang anak."

Bu Putri berhenti bicara dan menangis pilu. Aku mencoba menenangkan dengan mengelus bahunya, tetapi dia malah menepis tanganku dengan kasar.

"Jangan sentuh saya!"

"Ma-maaf, Bu."

Bu Putri kembali mengobati lukaku dengan kapas.

"Setelah mengetahui kebohongan itu, saya minta dia memilih wanita itu atau saya. Ternyata Bayu memilih wanita sialan itu. Wanita tak tahu malu yang merebut kebahagianku, wanita yang bersenang-senang di atas penderitaanku. Kamu tahu, Fira. Wanita itu ... mirip denganmu. Semuanya, dari ujung rambut sampai kaki. Saya seperti dihantui, Fira!" Bu Putri berteriak keras, tangannya semakin kencang menekan luka di perutku.