webnovel

Ayah Masuk RS

Bab 28

Pak Arfan benar-benar membuktikan ucapannya kemarin. Ayahku jadi dibawa ke rumah sakit yang ada di Jakarta. Aku tak bisa menemani ibu selama mereka berada di Jakarta. Namun, saat pagi hari Aleysa sudah berangkat sekolah aku menyempatkan diri untuk menemani beliau.

Siang harinya, aku akan pulang untuk menjemput Aleysa dari sekolahnya. Begitu terus selama beberapa hari ini. Tak terasa sudah hampir satu Minggu ayah berada di rumah sakit. Dia sudah sadar hanya saja keadaaanya masih lemah.

"Ibu, ini aku masakin ayam kecap kesukaan ibu, makan, ya!" Seruku saat mengunjungi ibu dan ayah pagi itu.

Sejak pagi sebelum Aleysa bangun, aku sudah sibuk memasak di dapur. Menu ayam kecap dan tumis kangkung kesukaan ibu menjadi pilihanku hari itu. Kasihan ibu, pasti dia merasa kurang napsu makan di rumah sakit itu.

"Terima kasih, Nduk. Nanti saja ibu makannya, masih belum lapar," tolak ibu.

"Tapi, Bu. Kalau ibu gak makan, nanti bisa sakit. Makan, ya. Atau mau aku sulangi?" bujukku lagi.

Ibu tampak tertawa kemudian menyubit pipiku pelan.

"Kmu ini ada-ada aja. Masa aku sulangi ibu. He-he-he," ucap ibu sembari tertawa.

Akhirnya aku bisa melihat senyum dan tawa ibu lagi. Dalam hato bersyukur masih bisa menikmati kebersamaan bersama ibu walau sedang dalam keadaan berduka.

"Assalamualaikum," dalam sebuah suara di belakangku.

"Waalaikumsalam, apa kabar kamu, Nak?"

Ibu tersenyum lalu menjawab salam itu, aku pun menoleh ke asal suara.

"Mas Gupta," ucapku tak percaya.

"Iya, Intan. Maafkan saya, Bu baru datang hari ini. Saya baru tahu kemarin dari Pakde Karto. Kebetulan bertemu di jalan," terang Mas Gupta.

"Gak apa, Nak Gupta. Kamu sayangi aja, ibu sudah senang. Bagaimana keadaan kamu?" Ibu menyambut ramah kedatangan Mas Gupta pagi itu.

Sementara itu, aku hanya berdiam diri di samping ibu. Aku bingung harus bicara apa dengan mantan suamiku itu. Mas Gupta bertanya apa penyakit ayah dan ibu menerangkannya panjang lebar.

Selain karena sudah tua, kesehatan ayah juga mendadak turun karena kurang istirahat. Ayah bagi saja membeli sebuah kebun di dekat kampungku. Beliau sangat antusias karena bisa membeli kebun iyu. Seharusnya dia semakin sehat jika banyak bergerak, seperti orang yang berolahraga. Namun, ternyata jantung ayah juga mulai bermasalah, dia tidak boleh capek lagi sekarang.

Itu yang dikatakan dokter saat datang berkunjung kemarin pagi. Ibu dan Mas Gupta masih asyik berbincang, aku melihat jam di pergelangan tanganku. Sudah waktunya menjemput Aleysa.

"Ibu, aku harus pulang sekarang," kataku menyela perbincangan mereka.

"Oh, iya. Hati-hati di jalan, Intan," pesan Ibu.

"Iya, Bu. Aku pulang, ya. Assalamualaikum," pamitku lalu memeluk ibu.

"Waalaikumsalam," jawab Ibu.

"Kamu mau ke mana, Intan?" tanya Mas Gupta.

"Pulang, Mas. Aku harus bekerja," jawabku sekenanya.

Aku pun berbalik dan berjalan cepat meninggalkan dia.

"Aku antar!" seru Mas Gupta. Kudengar dia permisi pada ibu dengan tergesa kemudian mengejarku.

Kami berjalan bersisian samping di tempat parkir rumah sakit.

"Kamu bekerja di mana? Aku antar, ya!" katanya sambil menarik tanganku.

Aku berhenti melangkah kemudian menoleh padanya. Apa reaksi Mas Gupta jika tahu di mana aku bekerja sekarang, ya? Aku berpikir di dalam hati.

"Tidak usah, Mas. Aku bisa pergi sendiri," tolakku.

Aku belum mau dia tahu di mana aku bekerja sekarang. Terlebih Mas Gupta juga mengenal Pak Arfan. Walaupun sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja aku merasa lebih baik kalau Mas Gupta tidak tahu saja.

Aku pun melangkah tergesa meninggalkan Mas Gupta.

"Kenapa, Intan. Kamu marah sama aku? Karena kita sudah bercerai. Seharusnya aku yang marah, Intan. Kamu masih berhutang satu jawaban padaku. Kamu belum mengatakan terus terang tentang masalah bekas operasi itu!"

Aku berhenti berjalan kau membalikan tubuhku demi mendengar perkataan Mas Gupta barusan.

Dengan pelan aku melangkah mendekatinya dengan tatapan tajam.

"Apa Mas Bilang? Aku berhutang satu jawaban. Apa hak Mas ingin tahu jawabanku? Kita sudah buka suami istri lagi. Apapun yang terjadi padaku bukan urusan Mas lagi. Oh, ya, satu lagi. Tolong sampaikan sama kekasih Mas itu, jangan pernah menemui aku lagi!" tandas ku.

Mas Gupta tampak kaget mendengar ucapanku. Pasti dia ingin bertanya lagi, tapi aku udah melangkah pergi dan langsung naik angkot yang kebetulan lewat. Aku sudah eelambat menjemput Aleysa karena Mas Gupta. Mudah-mudahan saja Aleysa tidak marah karena hal itu.

Setengah jam kemudian, aku sudah sampai di depan sekolahnya Aleysa. Suasana sekolah sudhaabyamoak sepi. Wajar saja, aku terlambat hampir satu jam untuk menjemputnya.

Tergesa kulangkahkan kaki ke dalam pekarangan sekolah.

"Ibu!" Aku mendengar teriakan Aleysa dari ruangan guru.

Aleysa tampak berlari ke arahku. Setelah cukup dekat dia berdiri sambil bersedekap dengan wajah cemberut.

"Ibu ke mana aja? Aku sudah capek menunggu ibu tahu!" serunya kesal.

Aku pun merunduk menyamakan tinggi wajah kami. Kemudian berbisik kalau aku minta maaf dan sebagai balasannya akan mengajaknya membeli es krim kesukaannya.

Aku tahu kelemahan Aleysa, dia paling tidak bisa menolak tawaran untuk menikmati makanan kesukaannya.

"Beneran? Tapi aku mau dua," ucapnya masih merajuk.

Aku mengangguk, tidak apalah kalau sekali-sekali melanggar larangan dari papanya. Pak Arfan memang melarang Aleysa jika dia minta es krim sampai dua buah.

Entah kenapa aku tak tahu alasan Pak Arfan melarang hal itu, tapi kali ini aku terpaksa memenuhi permintaan Aleysa agar dia tidak ngambek lagi.

***

Keesokan harinya, jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Namun, Aleysa belum juga keluar dari kamarnya. Biasanya, jam segini dia sudah selesai mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

"Aleysa mana, Intan?" tanya Pak Arfan yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Ini baru mau saya lihat, Pak. Mungkin masih mandi," sahutku. Lalu bergegas menuju ke kamar Aleysa.

Kubuka pintu kamar Aleysa dan betapa terkejutnya aku melihat Aleysa masih terbaring di atas tempat tidurnya. Segera kudekati dan kusentuh tubuhnya.

"Panas, ya Allah, dia demam," ucapku panik.

Segera saja kau berlari keluar untuk memanggil Pak Arfan.

"Ada apa, Intan?" tanya Pak Arfan kaget melihatku datang dengan tergopoh.

"Aleysa demam, Pak. Badannya panas sekali," beritahuku.

Mendagri hal itu, Pak Arfan segera berlari ke Akane Aleysa. Aku pun menyusulnya, aku sangat khawatir dengan keadaannya.

Pak Arfan tampak menelepon seseorang, kukira dia pasti menelepon Dokter Adnan yang rumahnya ada di ujung blok perumahan ini.

Tak sampai lima menit kemudian, Dokter Adnan tiba. Setelah memeriksa Aleysa l, dia pun membeeikan resep pada Pak Arfan.

"Bukannya aku sudah melarang Aleysa untuk makan es krim berlebihan, Fan?" tanya Dokter Adnan.

"Maksud Dokter, Aleysa demam karena kebanyakan makan es krim?" tanya Pak Arfan sambil melirikku dengan tajam.

Aku menunduk takut, soalnya kemarin Aleysa makan es krim bukan hanya dua tapi sampai tiga buah sekaligus.

Bersambung.