Setelah makan malam yang di hebohi dengan suara sang nyonya akhirnya selesai. Mereka sekarang sedang bersantai di ruang keluarga sambil memakan buah yang sudah di kupas Risa tadi.
"Gimana ceritanya mas kamu ketemu sama Zizi?" Risa bertanya pada putra tunggalnya itu.
"Gak sengaja ketemu di rumah sakit." Uapnya sambil memakan buah apel yang di sodori Risa.
"Terus kenapa tidak di bawa kesini, mama kangen loh." Ujar Risa kali ini ia memberikan kepada sang suami.
Radit melihat ke arah mamanya dan mengehembuskan nafas pelan. "Tapi dia gak inget sama Adit." Ucapnya pelan..
Risa dan Rio saling pandang.
"Gimana?" Tanya Risa memastikan.
"Dia gak inget, padahal dulunya dia yang maksa-maksa agar Adit tidak melupakannya, tapi dia sendiri yang lupa." Ucapnya lesu.
Risa bersimpati pada putranya itu.
"Jelas lah gak inget kamu aja udah beda dari tujuh tahun lalu."
Radit tidak merespon ia lebih memilih kembali fokus pada televisi lebar yang ada di depannya.
Mereka kembali berbincang-bincang tapi tidak lama handphone Radit berbunyi. Ia langsung sigap mengangkat ketika tau siapa yang menelepon.
"Ya? oke saya kesana." Ucapnya cepat.
"Ma Adit pergi dulu ada pasien yng butuh operasi segera." Radit melangkah kekamarnya dan tak lama ia muncul dengan pakian lengkap dan tidak lupa jas dokternya.
"Adit pergi." Setelah pamit ia langsung pergi dan meninggalkan rumah mewah kedua orang tuanya.
***
Radit turun dari mobilnya dengan segera, ia langsung bergegas keruang ganti untuk bersiap-siap.
Dan ia tidak sadar jika telah melewati seseorang yang suka mencuri pikirannya sejak tadi siang.
Zia yang melihat Radit berjalan tergesa-gesa mengurungkan niatnya untuk menyapa. Dilihat dari ekpresinya sepertinya pria itu sangat terburu-buru.
Zia kembali meneruskan langkahnya untuk keruangan sang nenek. Beruntung nenek sudah di perbolehkan pulang malam ini jadi dia tidak perlu nginap terlalu lama di rumah sakit.
"Nenek." Sapanya gembiranya.
Lasmi tersenyum melihat kedatangan cucu cantinya itu.
"Kok cepet sayang?" tanya nya sambil mencium pipi cucunya.
"Lagi bisa cepat pulang nek." Ujarnya.
"Barang-barang nenek sudah di beresin semua kan?" Zia menglihkan matanya melihat tas yang ada disisinya Lasmi.
"Udah kok."
"Mbak Yuni nya mana nek?"
"Lagi keluar buat ketemu dokternya dulu."
Zia mengangguk paham. Sambil menunggu Yuni kambali, Zia memilih mamainkan handphonenya.
Tidak lama orang yang di tunggu muncul dengan plastik obat di tangnnya.
"Itu obat nenek mbak?" tanya Zia.
"Iya nona, sekalian saja tadi saya tebus." Jawabnya.
Setelah semua di rasa sudah selesai, mereka pergi meninggalkan rumah sakit.
Sepanjang perjalanan Zia masih memikirkan sesuatu. Ia merasa dokter Radit itu seseorang yang familiar baginya. Entah kenapa ia merasa sudah mengenal lama dengnnya tapi Zia tidak ingat satu pun. Senyuman hingga cara bicaranya mengingatnya akan sesuatu tapi apa?
Zia menggelengkan kepalanya mengusir bayang-bayang wajah dokter narsis itu dari sisinya. Pria tua yang punya kepercayaan tinggi itu tidak penting untuk ia pikirkan.
Mereka akhirnya sampai di rumah yang sudah Zia huni selama lima tahun ini.
Zia memasuki rumah dengan membimbing sang nenek menuju kamarnya agar dapat istirahat. Setelah memastikan sang nenek beristirahat dengan nyaman, kini giliran Zia untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Ia memasuki kamarnya. Dan yang pertama kali menyambutnya disitu adalah poto keluarga yang sempat di ambil sebelum kepergian kedua orang tuanya untuk selamanya.
Zia sengaja memasangnya agar ia merasa kedua orang tuanya masih ada di sekitarnya.
Jika Zia boleh jujur setiap ia memandanginya air matanya pasti akan mengalir dengan sendiri. Zia merindukan mereka, Zia merindukan omelan mamanya dan kelembutan papanya.
Zia rapuh, setiap hari ia selalu berusaha agar tegar dan memasang topeng bahagia. Apalagi setelah kesehatan sang nenek yang setiap hari semakin menurun membuat Zia sangat ketakutan. Ia takut di tinggalkan lagi. Dulu orang yang ia cintai lalu kedua orang tuanya dan jangan sampai sang nenek juga meninggalkannya.
Zia menghapus air matanya dan melangkah mendekati kamar mandi.
***
"Terima kasih untuk kerja kerasnya." Ucap Radit pada dokter dan suster yang bekerja keras agar operasi mereka sukses.
Mereka semua mnngangguk dan mengucapkan hal-hal yang sama.
Radit menuju ruangannya. Sesampainya disana pria itu menghela nafas pelan karna lelah.
Merebahkan diri di sofa Radit mengambil handphone dan membuka galeri. Ia mancari foto seseorang yang sudah mengisi kembali hari-harinya.
Radit tersenyum sendiri melihat ponselnya, ia mengelus foto itu dengan sayang.
"Akan aku buat kamu mengingat kenangan kita kembali Zi." Monolognya.
"Sekarang kamu sudah semakin tinggi ya, dan kamu membuat ku harus ekstra waspada ada pria-pria hidung belang." Decaknya. Radit berbicara sendiri dengan foto Zia yang ia punya.
"Kamu tidak punya pacar kan sayang? kalau sampai ia hari ini juga aku akan menarik kamu kepalaminan."
Tok,tok,tok
Aktifitas Radit terganggu dengan suara ketukan pintu ruangannya.
"Masuk." Ucapnya. Ia lantas duduk dengan tegap.
Seorang suster memasuki ruanganya.
"Ini dok hasil operasi pasien tadi." Suster itu memberkan hasil operasi dari pasien yang Radit operasi tadi.
"Oke." Balasnya. Ia mengecek satu persatu hasilnya tanpa tertinggal satu pun.
"Kita akan mengecek kondisi pasien langsung."
Suster itu mengangguk ia tidak mengalihkan pandangannya dari dokter tampan di depanny ini. Semua orang tau bahwa dokter tampan yang ada di depannya ini adalah dokter yang banyak di minati baik dari dokter wanita, suster maupun pasien wanita disini.
Karna sikapnya dinginnya yang membuat orang semakin tertantang agar mendekatinya. Untuk jadi tempat ranjang satu malamnya saja wanita rela melemparkan tubuh mereka dengan suka rela.
"Kalau gitu kita berangkat sekarang." Radit membuyarkan lamunan suster yang ada di depannya ini. Baginya pandangan itu sudah sering ia dapatkan bahkan tak ayal ia mencari kesempatan untuk satu malam panasnya. Tapi ia punya kriteria sendiri untuk teman ranjangnya. Dan suster ini bukan seleranya.
Radit menyambar jas dokter yang tersampir di gantungan. Ia melangkah keluar dari ruangannya dengan suster itu di belakangnya.
Radit rasa jiwa petualangnya harus ia hentikan sekarang, karna ia tidak mau jika suatu hari itu akan menjadi boomerang untuk dirinya dan Zia nanti. Radit sudah bertekad akan mendapatkan gadis kecilnya kembali dan melaksanakan keinginan-keinginan gadis kecilnya dulu.
Di sepanjang jalan Radit banyak mendapatan tatapan dan godaan-godaan dari wanita yang ia jumpai dan ia hanya membalas dengan senyum tipis, tidak ingin berbasa-basi karna baginya tidak penting. Tapi dengan sikapnya itu masih ada saja yang memujanya.
Dasar wanita hanya karna harta dan rupa ia harus melepaskan harga dirinya. Padahal wanita di ciptakan dengan derajat yang lebih tinggi dari kaum pria.
***
Tbc,,
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius