webnovel

Mas Danang

Ponsel di nakas dari tadi berteriak, lagu lawas yang menjadi nada deringnya mengalun memekakkan telinga. Berisik. Ini sudah jam sepuluh malam, waktu belajar, dan waktunya hening bagi para penghuni kos.

Dengan malas aku bangkit lalu mengambil ponsel dan melihat sebuah nomer tanpa nama pada layar. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya menekan tombol hijau pada dering ketiga.

"Iya, Halo ... "

"Halo Di, aku Danang."

Telepon nyaris lepas dari genggamanku, suara yang sangat aku kenal dulu aku dengar lagi dari sisi seberang telepon.

"Ada apa, Mas?"

Tanpa basa-basi aku langsung menanyakan keperluannya, alisku menaut, dari siapa dia bisa dapat nomor teleponku. Nomor baru yang hanya uma yang tahu. Aku mencoba membayangkan sosoknya setelah setelah 5 tahun kami tidak saling menghubungi memang tidak ada perlunya juga. Mas Danang memilih menikahi wanita pilihan ibunya karena mungkin dia pikir memperjuangkan wanita yang menolaknya sia-sia.

"Kita ketemuan, yuk!" suara dari seberang sana, menyadarkanku.

Ketemuan?

Lagi-lagi kejutan. Pertanyaan memenuhi benakku, untuk apa dia membuat janji temu.

"Di, kamu masih di sana? Malam ini bisa? Hotel Neo, Pasar Kembang."

Shitz! mendadak kutekan tombol merah memutuskan percakapan.

Kenapa dia harus ada di sini. Ingatanku kembali pada waktu itu.

"Menikah denganku, Di! Lalu kita pergi dari kota ini."

Danang memegang erat tanganku, malam itu di sudut kedai soto banjar 'Berkat Abah'.

Lamaran tidak romantis, yang mendadak dia ajukan setelah cerita setengah jam tentang gadis itu. Gadis yang menjadi jodohnya dari masa kecil. Perempuan favorit pilihan ibunda Danang. Wanita yang sangat cocok menjadi pendamping hidupnya —begitu menurut sang ibu.

Gadis yang aku kenal sebagai anak orang berada, dan punya masa depan sangat cerah. Berbeda denganku walaupun bekerja serta bertitel sarjana, hanya seorang anak pedagang.

"Terima kasih, untuk lamarannya. Tetapi, maaf, Mas. Divi belum siap berjuang menentang keluarga."

Kulepaskan genggamannya perlahan. Aku tahu ini pasti menyakitkan, dua tahun kami bersama, saling melengkapi, intens berkomunikasi. Pasti akan ada yang hilang. Selanjutnya nanti aku hanya bisa menamainya sebagai kenangan.

"Di, tidak bisakah kita berjuang? Aku cinta kamu dan kuyakin kamu pun sama. Menyerah sekarang? Tanggung."

Kutatap mata pria itu lekat-lekat, mencoba mencari kesungguhannya untuk berjuang. Namun, kesangsian besar menyelinap di batinku. Mas Danang bukan sosok yang kuat. DIa dibawah bayang-bayang ibu. Sebagai putra pertama yang menjadi harapan keluarga, tanggung jawabnya luar biasa. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kuat-kuat, menepuk tangannya.

"Antar Divi, pulang ya ... Sudah malam."

Sejak malam itu, aku membatasi pertemuan dengan Mas Danang. Dua bulan kemudian, aku menerima undangan pernikahannya dengan gadis itu tanpa tangis tanpa air mata.

"Aku tidak sanksi dengan cintanya padaku, sering sekali dia mengucapkan itu, tapi aku sanksi dengan bagaimana dia mencintaiku."

Dugaanku terbukti benar. Mas Danang tidak akan bisa menolak keinginan ibunya. Aku sangsi dia menolak kenyamanan dengan segala fasilitasnya. Aku tersenyum memandang undangan bertatahkan tinta emas dengan namanya.

Selamat Jalan Cinta.

Ponsel digenggamanku kembali bergetar dan berteriak. Nomor yang sama. Kubiarkan hingga berhenti sendiri. Aku malas mengangkatnya.

Kuraih jaket di gantungan belakang pintu, kukenakan kerudung langsung. menyambar tas selempang mengisinya dengan BB Torch dan dompet. Kutinggalkan HP di kasur. Kulihat lorong lantai dua yang sepi, semua penghuni kos asyik dengan kesibukannya sendiri. Kuturuni tangga menuju pagar, jika aku pulang pintu sudah dikunci berarti harus siap melompati pagar.

Daripada nongkrong di alun-alun selatan melihat orang-orang mencoba peruntungan melewati beringin kembar, aku memilih menyepi di Sagan. Tujuanku Kopi Ketan Legenda, kafe yang nyaris 24 jam.

Aku memilih kursi favorit di teras memesan secangkir Milo panas. Kupandang sekeliling, sudah sepi. Beberapa anak muda masih bermain 𝘜𝘯𝘰 𝘴𝘵𝘢𝘤𝘬𝘰, tampak asyik dan heboh.

Kenapa Mas Danang harus menghubungiku lagi?

Saat itu betul aku yang menolak penawarannya. Tetapi penawaran untuk kawin lari bukan solusi masalah kami. Aku menginginkan perjuangannya, usaha untuk melunakkan hati keluarga. Bukan memilih kabur. Tetapi ... bisa apa aku.

Buktinya, yah, begitulah buktinya.

Miloku diantarkan pria berlesung pipi, rambut dikucir, sang duda yang katanya taksuka wanita.

"Sendiri? Pasangan? Teman?"

Dahiku membentuk draferi, "Tidak bolehkah aku datang sendiri?" pertanyaan yang hanya aku pendengarnya.

"Maaf, hanya ingin tau saja." Dia menjatuhkan bokongnya di kursi depanku.

"Aku temani. Tidak keberatan?"

Aku hanya mengendikkan bahu. Tanpa menatapnya, bergerak mengambil cangkir Milo di meja.

"Patah hati nggak bikin dunia kiamat." Aku menatapnya tajam.

Kenapa kesimpulannya begitu?

Apa wajahku sudah mirip gadis-gadis nelangsa yang sedang diputus kekasih?

Aneh.

"Sok tahu!" desisku.

"Ya, tahu dong."

Jawabannya semacam iklan Tukul Arwana di televisi.

"Seorang wanita yang biasa datang bersama pria, gonta-ganti pula tiba-tiba datang sendiri, larut malam. Apalagi kalau bukan diputuskan pacar. Ketauan selingkuh? Ngomong-ngomong dari semua yang pernah diajak kemari pacarmu yang mana?"

Wajah Krisna begitu santainya, seolah kami teman lama. Gelombang di dahiku mungkin sudah bertambah tiga baris. Betapa sok tahunya dia. Pria dewasa kok bawel.

"Nggak ada pacar!" sahutku judes.

"ckckck ... jadi ... boneka?"

Aku berdiri ingin meninjunya, tetapi kutarik tanganku urung memukul bahunya. Dia malah berdiri menyorongkan lengan mengenai genggamanku, alhasil kami berdua tergelak. Lalu diam bersamaan bagai dikomando. Canggung.

Aku memandang ke arah lain, anak-anak muda sudah mulai membereskan mainannya.

"Kafe sudah mau tutup?" usikku pada keterdiamannya.

"Buatmu masih buka sampai besok pagi."

"Kalau mau tutup, silakan. Aku bisa pulang."

"Sudah lega?"

Lega? lagi-lagi dia sok tahu.

"Aku nggak sedang diputus pacar juga bukan ketauan selingkuh, Aku cuma lapar!"

Dia terkekeh,

"Mau kubuatkan mie rebus? Tidur dalam keadaan lapar pasti 'ndak nyaman."

Aku mengangguk, melepas langkahnya menuju dalam. Mas Krisna ternyata memperhatikanku, pelanggan kafe 'kan tidak sedikit. Bisa-bisanya pria luarbiasa itu menyimpulkan banyak hal.

Kugaruk kerudungku yang takgatal. Sudahlah, paling-paling dia hanya bersimpati. Aku saja yang GR karena merasa kelebihan perhatian. Dia terlalu memesona.

Semangkuk mie instan di tangan kiri dan sebuah gitar di tangan kanan. Mataku membulat lebih lebar dari batas normal saat menatap tampilannya.

"Nggak usah begitu, cukup sediakan uang receh. Kamu makan. Aku nyanyi. Klop." Senyumnya tengil sekali.

"Dimakan Ivi. Oiya, namamu Ivi kan?"

Aku lagi-lagi mengangguk. Dia yang berambut gondrong, berlesung pipi dan bergaya cool saja sudah membiusku, ditambah lagi bisa main gitar.

Aku semakin tidak percaya dengan kesimpulan Nuril bahwa dia taksuka perempuan. Dia pernah menikah.

"Jangan bengong. Satu lagu dari Iwan Fals ya, mata indah bola pingpong."

Bibirku terpisah atas dan bawah, mungkin liurku sudah menetes bersama lidah yang dijulurkan. Gondrong dan Gitar. Arrrgggh.