Hamparan tanah luas tanpa senja.
Deret pepohonan besar yang saling berbincang dengan bahasa aneh.
Suara pasukan berkuda tanpa wujud.
Hamparan tanpa tepi, ketika menaiki mobil hanya membutuhkan waktu singkat.
Ramuan untuk luka dari ketua pasukan.
Asrma besar dan bagus.
Pengurus asrama yang mengenaliku tanpa aku memperkenalkan diri.
Perempuan cantik yang mengejutkanku.
Lukisan kesatria di dinding.
Arena bermain di halaman belakang kamar.
Arena berlatih yang menyebalkan.
Pria yang membantuku membawa jeruk, pria bergitar di gedung kuning terlihat sama dengan pria di tim latihan.
Ge dan Sam tidak mengalami hal mengerikan sepertiku.
Latihan perang adalah simulasi menjemput kematian.
Anak-anak bermain hingga gelap.
Minuman darah, apakah itu benar-benar enak?
Ruang bawah tanah.
Gudang Lewine.
Gudang senjata bawah tanah.
Arena berlatih bawah tanah dan arena dekat danau.
Ketua pasukan hijau menngajar semua tim di saat yang bersamaan.
---
Itu semua adalah tulisanku pada sebuah buku yang ku temukan di dalam laci saat awal masuk ke asrama. Semua hal yang membuatku bingung dan terasa tidak masuk akal selalu ku tulis entah apapun itu.
Jika membaca bagian menyakitkan, aku selalu ingin menyerah dan pulang. Namun aku tidak dapat melakukan itu karena aku tidak tahu bagaimana caranya.
Ku pandangi jam dinding yang menempel dengan tenang di dekat pintu. Sudah lebih dari tiga jam aku hanya berguling-guling tidak keruan di atas tempat tidur. Tubuhku sangat lelah, mataku tidak mau terpejam. Lampu telah ku matikan hanya menyisakan cahaya samar dari cahaya lampu taman belakang yang masuk melalui ventilasi jendela kamar.
Terlalu banyak hal yang memenuhi kepalaku. Ayah, ibu, Laya, rumah membuat hasratku untuk pulang semakin kuat.
Segera ku bangkin dan meraih mantel tebal yang tergantung di dekat lemari pakaian. Ku tutup rapat resleting, lalu ku tudungkan kepala hingga seluruh tubuhku terbungkus rapi tanpa ada celah untuk angin malam menembus tulangku.
Aku keluar dan berjalan pelan menyusuri tiap lorong asrama. Semuanya sepi, hanya suara malam yang dapat ku dengar. Semut-semut kecil bergerombol memakan bangkai kecoa membuat sedikit keributan di ujung tembok yang sempit.
Lampu lorong yang redup membuat suasana malam terasa sangat pekat terlebih semua kamar di asrama memiliki pintu yang tinggi dan tidak bercelah. Samar ku dapat mendengar suara dengkuran beberapa Anak Anggota yang sedang terlelap.
Tuk tuk tuk
Suara langkah kaki mungilku menggema di seluruh lorong. Dengan memasukan kedua tangan ke dalam saku mantel, kakiku terus melangkah jauh hingga melewati beberapa koridor menuju taman di tengah asrama.
Aku berdiri tepat di posisiku bersama Fine sebelumnya saat melihat Athan memainkan gitarnya.
Ku hembuskan napas dengan sangat kuat hingga dapat ku lihat asap keluar dari mulutku. Tempat ini benar-benar sangat dingin dibandingkan dengan distrikku. Pandanganku berkeliling mengamati taman yang di tata dengan sangat rapid an indah.
Lampu bulat berada di tepian mengelilingi taman menambah indah pemandanganku malam ini. Udara di luar sedikit membantuku menenangkan pikiran.
Tuk tuk tuk tuk tuk tuk
Sangat jelas, aku mendengar dua orang sedang berjalan dari arah lorong di seberangku yang berjarak cukup jauh. Kesunyian malam membuat pendengaranku semakin tajam.
Aku ingin bersembunyi, tapi tubuhku mematung dan memilih untuk tetap diam di tempat berdiriku hingga kedua pria itu muncul.
Aku menghitung jumlah langkah mereka untuk memperkirakan kapan mereka akan muncul di hadapanku.
Tepat dihitungan kesepuluh, muncul sosok pria dengan pakaian serba hitam berjalan sendirian. Arah pandangannya lurus ke depan dan beralih ke arahku setelah dia menangkap wujudku di manik matanya.
Athan, dia tampak dingin seperti biasa. Dia berjalan ke arahku, sementara aku masih berdiri memandangi lorong itu menunggu sosok lain yang akan muncul setelahnya.
"Apa yang kamu lakukan disini?" tanya nya membuyarkan fokusku dari lorong.
"Ini sudah hampir pagi, apa kamu masih belum tidur?"
"Aku sedang mencari angin," jawabku singkat. "Orang yang bersamamu di lorong tadi siapa?" arah pandanganku kembali ke lorong gelap yang belum menampakkan sosok siapapun.
Athan mengikuti arah pandangku. "Tidak ada. Aku baru berkeliling sendirian."
Hahh? Aku menatap pria di depanku ini dengan penuh Tanya. Aku sangat jelas mendengar lebih dari satu jenis langkah kaki tadi.
"Kenapa?"
"Ah tidak, ku rasa aku salah mendengar, hehe" aku nyengir kaku. Masih penasaran, sesekali kembali ku lirik lorong itu.
"Kembalilah ke kamarmu, kamu akan kehilangan banyak tenaga saat berlatih jika tidak tidur."
"Hanya beberapa menit lagi. Aku ingin menikmati angin dulu untuk menenangkan pikiranku," ujarku sambil duduk di tepian taman.
Ku hirup dalam-dalam udara segar yang melintasi hidungku. Aku benar-benar ingin pulang.
Athan mengikutiku duduk, pandangannya lurus kea rah taman dengan air mancur kecil di depan kami. Rasanya canggung sekali, mengingat saat berlatih kemarin dia ingin mengalahkanku tetapi di halau oleh bang Arlan.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Ah hanya gugup." Eh, tadi dia bertanya apa? Otakku sedang tidak fokus dengan kalimatnya.
"Tubuhmu, matamu, apa masih sakit?" tanya nya lagi.
Ku lepaskan tudung mantelku agar suaranya dapat terdengar dengan jelas olehku. Aku hanya mengangguk pelan tanpa memberinya jawaban lain.
"Oleskan ramuan yang diberikan oleh Fine. Semuanya akan segera pulih," ujarnya lagi.
Sebenarnya tubuhku sudah tidak sakit sama sekali, hanya mata kananku yang masih belum dapat melihat dengan jernih.
"Bertahanlah sebentar lagi," gumamnya yang dapat ku dengar dengan jelas.
Spontan saja aku menoleh ke arahnya yang duduk di samping kiriku. Dia menoleh, manik mata kami bertemu. Untuk kesekian kalinya aku harus mengakui kalau pria ini tampan.
"Hanya hingga gerhana bulan." Tatapan matanya tak teralihkan.
Tanpa ada ekspresi lainnya, dia masih menatapku lekat.
"Gerhana bulan?" pertanyaan yang keluar dari mulutku tanpa instruksi.
"Hemm." Pria itu mengangguk. Beberapa detik berikutnya dia tersenyum membuatku terkesiap dan merinding hebat.
"Apa kamu selalu bertampang bodoh seperti ini?" pertanyaan itu membuatku tersadar dari kekakuan yang baru saja menjalar di seluruh tubuhku.
"Ha ku rasa aku sering bersikap bodoh." Segera ku palingkan wajahku, kembali memandangi taman.
Aneh sekali rasanya melihat pria berperangai mengerikan menampakkan senyum indahnya padaku. Dapat ku rasakan nyeri di jantungku, hal yang sering terjadi saat aku merasa takut.
Tiba-tiba aku teringat dengan pria yang membantuku membawa jeruk saat hendak ke rumah paman. Pria itu juga tersenyum dengan indah, tampak persis dengan pria yang sedang duduk di sampingku ini.
"Kenapa?" tanya nya saat tanpa sadar aku telah menoleh dan menatapnya. "Kamu ingin mengatakan kalau pernah melihatku sebelumnya?"
Aku mengernyitkan dahi, terkejut dengan kemampuannya membaca pikiran.
"Jawaban apa yang kamu inginkan? Apa yang akan kamu lakukan jika ku jawab 'iya'?"
"Aku hanya ingin tahu," sahutku dengan cepat.
Pria itu mehela napas panjang. pandangannya terarah ke langit yang mulai menampakkan semburat ungu.
"Ku rasa kamu harus pergi sekarang dan lanjutkan tugasmu." Athan menolehku sebentar lalu pergi ke kamarnya yang berada di seberang taman.
Masih ku pandangi langkah pria itu hingga dia masuk ke dalam kamarnya. Pikiranku kembali terisi dengan hal yang memusingkan.
Ku putuskan untuk kembali ke kamar sebelum fajar. Untuk terakhir sebelum aku pergi, kembali ku lirik lorong gelap tempat munculnya Athan.
Ku pasang tudung mantelku, berjalan menuju kamar sambil melipat kedua tangan. Ku rasa tujuan dari berkeliling asrama malam ini tidak tercapai, aku bahkan mendapatkan dua hal lain yang menjadi pikiran.
***