Menyambut paginya dengan suasana berbeda lebih terasa membuatnya nyaman dibanding berada di rumah sakit, jam enam pagi ia sudah rapi, mencuci muka dibantu oleh adiknya. Menjadi orang lumpuh hanya akan membuat Erik benci, ia hanya bisa merepotkan orang lain yang sebenarnya mereka perlu mengurusi diri mereka. Erik membuka gorden apartemen yang menembus langsung jalanan, apartemen ini milik adiknya— jika Erik tidak seperti ini biasanya ia akan tinggal di rumah orang tuanya, akan melihat Fre seminggu sekali untuk memastikan keadaan.
"Minum dulu susu tulangnya, rekomendasi dari dokter Teddy,"
Erik menerima satu gelas susu. "Rasanya pasti tidak enak,"
"Jangan seperti anak kecil, cepat minum!" suruh Fre
Erik menuruti. Selama ini sama sekali tidak pernah menikmati susu kalau boleh lebih memilih minum kopi, demi sembuhnya ia pun terpaksa. Antara Fre dan Erik terbilang sangat dekat meski tak serumah, dulu orang pertama yang mengurus Fre sakit adalah dirinya, sama halnya sekarang Fre juga mengurusi Erik.
"Bang, aku kalau lihat Gendis suka mau nangis kenapa ya?"
Erik menaruh gelasnya di atas meja. "Sayang kali," sahut Erik
"Sayang sebagai adik bukan yang lain, semangatnya dia itu patut dicontoh. Selama dia kuliah, pembayaran uang kuliah jarang minta sama orang tua, aku terharu ..."
Erik mengangguk-angguk. Dari banyaknya perempuan yang ia temui, Gendis berbeda selama kebersamaan mereka di rumah sakit yang Erik tahu sama persis yang Fre ucapkan barusan. Kuliah tanpa membebani orang tua terlalu banyak, pernah jualan online shop— menjadi reseller, pernah bekerja di rumah makan dari pulang kuliah sampai malam. Erik yakin gajinya tak seberapa dibanding Gendis bekerja di sini.
"Dekat sama Gendis kali aja bisa membuat Abang melupakan Anara,"
"Jangan bahas Anara, aku sudah melupakannya." sahut Erik. Erik mengambil ponselnya, hari ini Gendis akan datang sore karena pagi ada kelas. Ada satu pesan dari Gendis, Erik segera membacanya.
Mas, hari ini izin tidak bekerja. Ibu dan Bapak, dua adikku meninggal. Maaf Mas 😭😭
Napas Erik tercekat, kembali membaca isi pesan baik-baik. Erik mencoba menelepon Gendis sayangnya tidak diangkat.
"Fredella ..." panggil Erik
Tak lama kemudian Fre mendekati Erik, Erik memberikan ponselnya. Sama halnya dengan Erik— Fre terkejut, menutup mulutnya seolah tak percaya dengan berita pagi ini.
"Ya ampun ... Kok bisa?"
"Kamu tahu rumah Gendis?"
Fre menggeleng.
"Tanya Mas Angga,"
Menunggu Fre menelepon Anggara— Erik memilih terus menghubungi Gendis, andai ia bisa lari, bisa jalan sudah mencari sendiri rumah Gendis lalu memastikan keadaan perempuan itu. Kemarin Gendis baru saja menceritakan tentang ibunya, selama ini Gendis tidak pernah bercerita apapun tentang keluarganya.
"Fre lama sekali," teriak Erik. Menghubungi tak kunjung mendapatkan jawaban, ia ingin segera datang.
"Bentar, Mas Angga belum angkat,"
Erik berdecak kesal, bisa-bisanya Anggara lama sekali mengangkat telepon.
"Sudah, aku panggil Mas Axel dulu. Biar dia yang mengantar,"
Erik hanya menuruti tanpa protes, saat ini ia ingin segera ke tempat Gendis.
***
Bendera kuning terpampang tepat di depan mata, tidak bohong dan semakin terkejut meski suasan rumah sudah mulai sepi. Setelah berkali-kali bertanya pada Fre— Fre mengatakan benar ini rumah Gendis. Mereka disambut oleh keluarga Gendis, wajah mereka terlihat bengkak, aura kesedihan terasa sekali di rumah ini. Mereka juga menjelaskan bos dari Gendis membuat keluarga Gendis langsung membawa ke dalam rumah.
"Gendis ada?" tanya Erik
"Gendis di kamarnya Mas, belum mau bangun. Pingsan terus," jawab perempuan paru baya
"Jadi benar keluarganya meninggal?"
Perempuan paru baya mengusap air matanya sebelum kembali menjawab pertanyaan Erik, masih belum sanggup bercerita tapi sudah pantasnya mereka kenyataan. "Iya benar,"
Erik mengangguk paham, berat sekali jadi Gendis— gadis itu kini menjadi sebatang kara, Erik belum mau bertanya padahal ia sangat penasaran. Mencoba memahami kondisi yang kurang tepat.
"Sekitar jam tiga sore ibu sama dua adiknya sedang membersihkan warung makan mereka, tiba-tiba ada mobil dari arah lain menabrak warung makan mereka, menghantam mereka bertiga. Ketiganya meninggal di tempat dan supir mobil meninggal di tempat ternyata sedang mabuk, di dalam mobil ada alkohol. Kalau bapaknya Gendis kena serangan jantung, kaget lihat istri dan anaknya nggak ada semua. Pingsan terus nggak ada, singkat sekali waktunya," jelas wanita paru baya itu sembari terisak.
Erik masih terdiam, bingung, tak menyangka, mengapa bisa takdir memberikan cobaan ini pada Gendis. "Terima kasih sudah menjelaskan, Bu," ucap Erik. Di dalam rumah Gendis tak ada lagi jenazah keluarga Gendis katanya sudah disemayamkan jam setengah tujuh pagi tadi, Gendis tidak ikut karena terus pingsan. Erik mengerti, ditinggal orang yang kita sayangi sangat berat melebihi cobaan lain.
Entah sudah berapa kali ia menelan sliva, mengembuskan napas. Ikut sesak, meski ini bukan keluarganya. Erik dan Fre meminta izin untuk melihat keadaan Gendis, untungnya langsung diperbolehkan.
"Aku tidak tahu bisakah sekuat Gendis jika ditinggalkan keluarga, ditinggalkan sosok papa sudah sangat melukai hati," ucap Fre disela-sela langkah mereka menuju kamar Gendis sembari mendorong kursi roda.
"Itulah pentingnya memberikan waktu bersama keluarga, kalian harus sering kumpul. Waktu itu penting, ketika salah satu dari kalian nggak ada maka kalian tidak bisa mengulang waktu yang harusnya menjadi waktu untuk mengisi kebersamaan," sahut Axel— tunangan dari Fre
"Aku jadi ingat mama,"
Erik mendengar ucapan Axel, benar ucapan pria itu. Dan setelah ini Erik akan menelepon mamanya, sudah lama mereka tidak bercengkrama.
Suara isakan mulai terdengar tepat saat pintu berhasil di buka, Gendis berbaring di ranjang sederhana miliknya. Selimut menutup tubuh mungil Gendis, Erik merasa kehilangan keceriaan Gendis, sifat cerewet yang terkadang membuat Erik kesal tapi ia suka. Hanya ada tangisan bahkan saat ia dan Fre masuk hanya menoleh tanpa mengatakan kata-kata.
"Ndis ..." Fre mulai memanggil sedangkan Erik hanya diam.
"Mbak, jangan pecat aku ya, maaf hari ini nggak mas—"
"Ndis jangan bicara begitu, saya nggak akan mecat kamu. Turut berduka cita ya, yang sabar ..." Fre mengusap bahu Gendis. Gendis hendak bangkit tapi Fre menyuruh untuk tiduran saja.
"Ibu, bapak, dua adikku sudah nggak ada Mbak, aku sebatang kara ..." isak Gendis
"Nggak Ndis, ada saya di sini, kamu nggak sendiri ..."
"Hidupku kenapa begini Mbak, kenapa ibu sama bapak ninggalin Gendis sendirian? Kenapa nyawaku nggak sekalian diambil juga? Hancur hidupku, Mbak ..." Gendis memaksakan untuk bangkit.
Fre semakin tak tega, membawa Gendis ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya, Fre janji setelah ini jika diperbolehkan lalu Gendis menyetujui Fre akan membawa gadis ini ke apartemen untuk tinggal bersama, ia akan berbicara dengan Axel dan Erik. Fre yakin calon suaminya pasti mau membiayai kebutuhan Gendis.
Erik yang semula menunduk berubah mendongak, ia menjadi pria cengeng nampaknya mendengar ucapan Gendis matanya ikut berkaca-kaca. Erik mendekatkan kursi roda agar tangan Gendis bisa ia gapai dan berhasil ia lakukan. "Ndis ... Kamu nggak sendiri, ada saya, Fre, Mas Anggara dan Axel. Kita semua akan menjagamu ..." ucap Erik tulus
***