webnovel

Dilema Dalam Rasa

Marronad_Lee · Realistis
Peringkat tidak cukup
38 Chs

Bagian 1

Mencoba menggerakkan jemari yang perlahan, meski nyeri menerpa. Tapi ia harus bisa tidak ingin berlama-lama di tempat ini, ia sudah rindu rumah. Rindu sirkuit, rindu teriakan penonton menyemangati dirinya. Semua runtuh dalam sekejap setelah mobil menghantam motornya saat ia pulang setelah bertemu kekasihnya. Saat berada dalam pertandingan selama dua tahun ia jalani, tidak pernah sama sekali merasakan terluka ini pertama kali dalam hidupnya. Dunia terasa runtuh, kaki masih terbalut perban ditambah ia harus merelakan rambut karena operasi di kepala. Menyakitkan, hanya bisa merintih ketika nyeri itu datang dan kibatnya semua orang akan panik. Perlahan jemari kembali membaca pesan dari teman-teman di group WhatsApp, belum bisa mengetik dengan lancar hanya bisa melalui rekaman suara dan Frederik Wijaksono jarang membalas pesan karena masih kesulitan. Ia ingin memulihkan semuanya. 

"Dor...!"

Erik mendelik, suara itu lagi. Sungguh ia masih marah tapi bisa-bisanya mengajak bercanda. Namanya Gendis Maharani usianya masih 21 tahun— pembantu Erik. Sebenarnya tidak mau dijaga Gendis tapi kembarannya memaksa dengan alasan susah mencari pengganti, tidak ada waktu untuk menjaga. Bilang saja sibuk pacaran dengan duda tua, anak satu.

"Sini kamu, Ndis!"

"Tunggu..."

Terlihat Gendis menaruh ponsel lalu, mendekat ke arah Erik.

"Aduh... Sakit, KDRT ini mas!"

Erik mendengar perempuan muda itu meringis, saat ia mencubit bahunya. Erik kesal karena mulut seenaknya berbicara.

"Sakit mas!"

"Akibat ngomong seenaknya." Erik menyahut santai.

Gendis mengusap bahu, memang cubitan Erik tidak terlalu sakit tapi tetap saja menyebalkan. Gendis lupa harusnya tidak perlu terburu-buru masuk, membiarkan Erik lupa.

"Mas, pijat jemari dulu sini..."

"Ndis!" Erik menegur tatkala Gendis naik ke ranjang tidak izin dulu, Erik jadi terkejut.

"Pijat dulu sini mas," Gendis mengabaikan ucapan pria di depannya, mengambil tangan Erik. Seperti yang dokter katakan sesekali tangan Erik ditekan-tekan agar tidak terlalu kaku, tidak perlu terlalu keras yang terpenting ada gerakan setiap hari.

Sedangkan Erik menuruti semua permintaan Gendis, merelakan tangannya untuk dipijat. Gendis melakukan secara perlahan memahami tangan Erik masih sakit jika ditekan terlalu lama, menonton televisi sembari menikmati pijatan Gendis. "Enak nggak mas?" tanya Gendis disela-sela pijatan.

"Nggak."

"Alasan aja, bilang aja enak. Buktinya merem-melek tuh,"

"Ngantuk saya." jawab Erik lagi. Jangan berharap bisa jujur yang ada percaya diri Gendis semakin menjadi. Meski baru tujuh hari bekerja tapi Erik tidak menyangkal keduanya langsung akrab. Mungkin karena sifat Gendis yang tidak mau diam.

Masih saja mengelak, padahal Gendis melihat jelas Erik selalu menikmati pijatan dari Gendis. Gendis menyuruh Erik menggerakkan tangan dengan pelan. "Lagi mas..."

"Saya bakalan lumpuh selama-lamanya..."

"Ssstt... Nggak boleh bicara begitu, pasti sembuh mas. Ayo semangat!" ucap Gendis menggebu-gebu

"Berisik. Sudah belum?"

"Baru juga semenit."

"Bosan, pengin keluar."

"Kata dokter belum boleh mas."

"Jangan mendengar dokter terus, dia tidak merasakan." Erik menyahut.

Gendis mengabaikan saja nanti pasti diam.

Gendis menyadari menjaga Erik tidak mudah, apalagi orang dewasa yang terkadang bersikap menyebalkan. Kadang baik, kadang ada gilanya. Mungkin efek dari operasi bagian kepala membuat kondisi Erik belum stabil, kalau kepala sedang kumat pasti bawel sampai Gendis kewalahan.

"Ndis, tolong ambilkan ponsel."

Gendis menurunkan tangan Erik dengan hati-hati, memberikan ponsel setelah ia ambil. Dan Gendis duduk kembali di sofa, biarkan saja memijat Erik belum terlalu lama. Ia akan melakukan secara perlahan.

PRANG...

Gendis terkejut, mengusap dadanya. Erik baru membuang ponselnya.

"Cewek sialan!"

"Gila, sinting!"

Erik mengoceh tidak jelas, Gendis membiarkan dulu tidak mau mendekat terlalu buru-buru.

"Gila saja, saya kena musibah malah diselingkuhi."

Uhuk... Uhuk... Uhuk...

Gendis tersedak saat sedang menikmati air putih, terkejut dengan ocehan Erik barusan. Mudah-mudahan Gendis tidak salah dengar.

"Jadi begini balasan setelah satu tahun membuat kisah, selingkuh saat saya lumpuh. Pantas tidak pernah datang."

Gendis melirik, terlihat raut wajah emosi Erik. Bahkan televisi sudah dimatikan.

"Ndis, buang ponsel saya sekarang!"

Gendis menuruti. Memunguti satu-persatu potongan ponsel yang terpisah, dasar orang kaya sekali patah hati langsung buang ponsel.

"Mas yakin mau dibuang?" tanya Gendis hati-hati

"Iya, cepat buang!"

Gendis mengangguk, keluar dari ruangan sembari menggeleng tak percaya. Padahal masih terlihat bagus, setelah menimbang-nimbang akhirnya Gendis memilih untuk menyimpan. Jika sudah memiliki rezeki akan ia bawa ke konter ponsel saja, ini masih bisa dipakai. Gendis yakin meski Erik membanting dengan keras.

"Kalau ada perempuan selain Fredella, jangan dikasih masuk." ucap Erik dari sana setelah Gendis masuk.

"Iya Mas,"

"Nanti sore mau makan dari rumah sakit atau bagaimana?"

"Nggak pengin makan, sakit hati saya..." jawab Erik

Gendis mengabaikan, biarkan pria tak lagi tua ini mengoceh lebih baik Gendis menyelesaikan tugas kuliah. Merangkum, tugas paling menyebalkan menurut Gendis karena membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan semuanya.

"Tidak berarti sama sekali hubungan satu tahun ini, saya tahu cacat sekarang tapi bukan berarti berselingkuh. Tidak cocok harusnya bicara baik-baik."

PRANG...

"Allahuakbar, ahli kubur!" Gendis mengusap dadanya, terkejut lagi. Untung tidak memiliki penyakit jantung, kalau ada sudah kambuh. Kalau tadi ponsel yang Erik buang kali ini piring bekas Apel tadi.

"Mas, kaget ih, sudahlah jangan banting barang nanti orang luar mengira kita lagi berantem." Gendis masih diam di tempat.

"Diam kamu, Ndis!"

Suara bentakan membuat nyali Gendis menciut, baiklah ia akan tenang sejenak. Memasang headset, menyalakan musik sekeras-kerasnya biarkan orang patah hati melakukan hal seenaknya. Gendis tahu kemana arah ocehan Erik, Erik baru saja diselingkuhi. Selama menjaga Erik, Gendis belum tahu siapa kekasihnya. Jadi seperti ini tingkah pria kalau sedang patah hati.

"Gendis..." panggil Erik dari sana

"Ndis..."

Tidak ada jawaban. "Gendis..." panggil Erik lagi

"GENDUT!" Teriak Erik dari sana, Gendis terlalu fokus dengan buku-bukunya.

"Gendis...!"

Erik murka, opsi terakhir ia melempar bantal hingga mengenai badan Gendis.

"Mas, nggak sopan. Panggil kan bisa,"

"Saya sudah panggil-panggil N—" Erik memotong ucapannya, tiba-tiba nyeri menerpa tangan. "Aduh... Sakit..." Erik meringis.

Gendis buru-buru mendekati Erik, menggerutu di dalam hati karena Erik susah sekali diberitahu. Jelas-jelas dokter mengatakan jangan banyak bergerak. "Ini akibat kalau banting piring yang nggak bersalah. Tunggu sebentar..."

"Sakit..."

"Sabar dulu..." Gendis menata bantal agar tinggi tepat di samping Erik, setelah itu menaruh tangan Erik di atas.

"Masih sakit?"

Erik mengangguk.

Lengkap sudah penderitaan Frederik Wijaksono, sudah seluruh badan terluka. Hati pun terluka akibat mendengar perselingkuhan. Gendis mengusap tangan Erik dengan pelan, memberikan kenyamanan agar nyeri itu menghilang. Sedikit pijatan kecil tanpa menekan keras.

Mungkin mulai nyaman, sepuluh menit kemudian Erik sudah tertidur pulas setelah berdrama membuang barang-barang tidak jelas. Gendis melepaskan diri, menaikkan selimut sampai dada Erik, memandang sebentar. Pria ini akan diam ketika tidur, setelah membereskan pecahan piring Gendis beralih melanjutkan tugas-tugas kuliah.

***

"Ndis?"

"Mbak Fre..." Gendis buru-buru merapikan buku-buku miliknya. Lumayan satu setengah jam lebih ia bisa menyelesaikan tugas-tugas sembari menunggu Erik bangun, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore.

"Sibuk?"

"Ada tugas kuliah mbak..." jawab Gendis

"Tumben Erik tidur?"

"Iya, habis marah-marah tidak jelas. Sampai buang ponselnya." Gendis mengeluarkan sesuatu dari kantong celana, memberikan pada Fre. Niat awal ingin menyimpan dan memperbaiki ia urungkan, itu bukan hak Gendis.

"Pecah?"

"Iya mbak..."

"Kok bisa?"

Gendis terdiam sejenak, sebenarnya tidak enak menjawab ini semua. "Kalau Gendis nggak salah dengar, mas Erik baru saja dapat kabar kalau pacarnya selingkuh."

Terlihat Fre menutup mulut menahan tawa, "Serius?"

"Nanti mbak tanya saja, takut salah. Oh iya jangan bilang masalah ponsel ya, simpan saja dulu sampai keadaan membaik. Tadi mas Erik suruh buang." Gendis menjelaskan. Dan Fre mengiakan ucapan Gendis. Tidak lama kemudian Gendis melihat sosok pria yang ia kenal kekasih kembaran Erik,

Erik kembar tapi satunya perempuan.

Mereka tidak telihat identik, tapi ketika diam dengan wajah datar Gendis melihat ada kesamaan diantara

mereka.

"Ini Ndis..."

"Ini apa, pak?"

"Makanan, Fre yang bawa."

"Terima kasih pak..." ucap Gendis. Ini membuat Gendis betah di sini, seperti perjanjian awal hanya menjaga Erik saja. Meski awalnya Gendis hanya ingin bekerja di restoran milik kembaran Erik— Fredella. Ia menerima apalagi Fre terlihat memohon karena keluarga tidak bisa menjaga sepenuhnya. Yang terpenting bagi Gendis ia mendapatkan pekerjaan setelah pulang kuliah, untuk menambah tabungannya.

"Ndis..."

"Ini.."

"Hari ini mbak?"

"Iya, besok saya nggak bisa ke sini. Mau mengurus perjalanan ke Jerman. Nggak apa-apa kan?"

"Nggak apa-apa mbak, terima kasih banyak..." Gendis menerima amplop dari Fredella. Jika orang lain mendapat upah sebulan sekali, berbeda dengan Gendis. Menerima setiap 7 hari sekali karena ia membutuhkan, untung pihak Erik memahami.

"Mbak, maaf... Banyak banget ini," kata Gendis setelah menghitung uang upah pertamanya. Sehari upah Gendis lima puluh ribu dan upah pertama ia mendapat satu juta, banyak sekali.

"Nggak apa-apa, ditambahin sama mas Axel."

"Pak Axel terima kasih banyak..." ucap Gendis

"Iya, jaga Erik baik-baik."

Gendis mengangguk dengan cepat, "Selamat honeymoon..."

"Kita belum menikah Gendis..." Fre menyahut

Gendis terkejut, lalu segera meminta maaf. Jika memikirkan tingkah Erik pasti membuat kelelahan tapi saat ia menerima upah sebanyak ini lelah itu hilang. Lumayan tabungan untuk kuliah dan biaya sekolah kedua adiknya, bertambah.

"Gendis mana?" Akhirnya setelah lebih dari satu jam ia memejamkan mata, kini kondisi membaik dari rasa nyeri pada tangan. Menggerakkan sedikit badan, melupakan sejenak luka pada hatinya.

"Membuka mata yang dicari Gendis."

"Gendis mana Fre?" tanya Erik lagi. Erik mengira ketika bangun tadi ruangan hanya ada Gendis di sampingnya.

"Ambil laundry dulu..."

"Bisa tidak Gendis diperhentikan kerja?"

"Memangnya kenapa?"

"Nggak becus." Jawab Erik

"Susah tahu cari orang, aku lihat Gendis pintar dalam bekerja."

Erik tidak lagi menjawab, terlihat Fredella begitu membela Gendis.

***