webnovel

CHAPTER 8 - Materi Susulan (Kerumitan dan Halusinasi)

"RUANGAN KOSONG??" seru kami bertiga tercengang setibanya di suatu ruangan luas berdinding putih seperti ruangan kematian.

"Kau tahu Pelatih Theo kemana?" tanya Andrei kepadaku.

Aku pun melihat kesana kemari, tapi tidak ada wujud Pelatih Theo. "Lah iya, aku tidak tahu juga."

Pada awalnya setelah ia menuntun kami hingga ke sebuah depan pintu, ia menyuruh kami masuk terlebih dahulu. Kemudian dirinya pun menghilang atau bahkan sengaja tidak masuk.

"Apakah susulan materinya sudah dimulai?" tanya Andrea.

"Sepertinya," jawab Andrei ragu.

Kami berdiam mematung sedikit lama, mengamati kekosongan sekitar kami, tepatnya mencari jalan keluar dari ruangan aneh ini.

Aku pun berbalik badan.

Pintu yang sedari tadi kami masuk pun menghilang.

"EH, HILANG?!" seruku.

Disusul oleh dua pemuda kembar menoleh ke belakang. "HILANG!!"

Aku menoleh ke depan kembali.

"Tenang kawan-kawan, kita harus mencari jalan keluarnya. Tunggu sebentar aku amati dahulu," tegasku dengan kedua mata mengamati sekitar.

Aku menatap dari atap, dinding, hingga lantai. Kini kami berdiri di belakang garis merah. Entah mengapa lantai setelah garis merah itu sekaligus membuat otakku ikut rumit sebab tampilan lantainya seperti benang kusut. Aku harus berkonsentrasi penuh menatap tiap garis yang tidak beraturan di sana.

"Pasti ada sesuatu," batinku dengan kedua pandangan masih mengamati setiap garisnya.

Seketika aku menemukan kejanggalan di antara garis rumit itu. Sesuatu yang menurutku saling berkesinambungan antara garis satu dengan garis lainnya sehingga menciptakan suatu jalur.

Kedua mataku mengikuti arah garis itu hingga mencapai suatu titik selesai tepat di garis hijau di depan sana. Lumayan jauh mata memandang. Jari telunjukku menandai jalur tersebut hingga akhir. Pandangan jeli ini berguna sekali di kondisi seperti ini.

"Aha! Ketemu!" batinku yakin.

Aku pun menoleh sekilas ke arah dua pemuda kembar berambut merah itu. "Andrei dan Andrea, aku telah menemukan jalan keluarnya!"

"Huh?" Keduanya bersahutan bingung dan saling pandang. "Kau yakin?"

Aku mengangguk. "Sangat yakin!"

"Ikuti jejak aku dan hati-hati jangan menyentuh garis lainnya selain jalur garis ini," jelasku.

"Baiklah," sahut mereka.

Kaki kananku melangkah tepat pada jalur garis itu, mengikuti pasangan lainnya yang sejalur. Diriku bergerak secara perlahan agar tidak terkena garis di sekitarnya.

"Jalan satu persatu, ya kawan-kawan," ucapku.

"Siap!" ucap mereka.

"Apa yang terjadi jika kita menginjak garis yang lain?" tanya Andrea penasaran.

"Aku tidak tahu, sepertinya akan ada jebakan," jawabku dengan konsentrasi penuh menatap setiap jalur yang kuikuti.

"Jujur, ujiannya sungguh berbeda dari yang awal," ucap Andrei.

"Apa maksudmu berbeda?" tanyaku.

"Iya berbeda, waktu itu kami yang dipisahkan masing-masing tim berisi tiga orang diminta—"

Tiba-tiba suara alarm berbunyi nyaring memekakkan telingaku. Seketika aku menoleh ke belakang, mendapatkan Andrei tak sengaja melangkahkan kaki kirinya di garis lain.

Jujur, diriku ingin mengumpat melihat keteledoran anak itu.

"Oops," itulah yang keluar dari mulut Andrei dengan menampilkan wajah panik.

Tiba-tiba dinding sekitar kami bergerak perlahan akan menghimpit kami bertiga.

"LARI!!!" seruku sambil berlari mengikuti arah garis yang membentuk jalur itu.

Tiap detiknya, kedua dinding di sekitar kami semakin cepat bergerak dan kami bertiga mulai terhimpit. Dengan penuh perasaan panik dan menggebu-gebu, kami terus berlari mengikuti jalur ini hingga tiba di titik terakhir.

Setelah kakiku menyentuh garis hijau, tiba-tiba muncul sebuah pintu besi dan segera mengetuk tombol di sampingnya hingga mengeluarkan cahaya hijau yang merekah. Akhirnya kami bertiga bergegas masuk.

Setibanya di sana, kami pun disuguhi suatu ruangan sempit dengan banyak cermin dan kaca yang memantulkan bayangan kita sendiri.

"Teman-teman sepertinya—"

Diriku tidak mendapati wujud Andrei dan Andrea di belakangku. Sedangkan pintu yang kami masuki sudah menghilang.

"ANDREI! ANDREA! DI MANA KAU?!!" Panggilku dengan suara nyaring. Suara itu semakin berulang dan mengecil di sekujur ruangan ini.

Tidak ada jawaban dari kedua pasangan kembar itu.

Kini pikiranku kacau.

"Jangan-jangan dia terhimpit di ruangan tadi?!" batinku bertanya-tanya.

"TIDAK! TIDAK!" Aku langsung menepis pikiran negatif itu.

"Tenang, Eireen, tenang," batinku berusaha untuk tenang di kondisi yang terjadi ini.

Detik ini, aku mulai berhadapan dengan banyaknya cermin yang mengganggu di hadapanku. Setiap cermin menampilkan dengan jelas gerak-gerik diriku. Saking banyaknya, aku hampir tertabrak benda itu ketika aku menjalan. Sungguh berkamuflase dengan pandanganku yang mulai melelah ini.

Tiba-tiba pandanganku tertuju ke suatu cermin nan jauh yang menampilkan sosok Andrei atau Andrea yang berdiam diri lalu berlari menghindariku. Aku yang masih belum familiar dengan wajah mereka, sehingga aku tidak bisa menentukan wujud tersebut adalah Andrea atau Andrei.

"TUNGGU!" Aku pun berlari menyusul jejak Andrei atau Andrea.

Alhasil saking bersemangatnya, hidung dan dahulu terkena kaca dengan cukup kuat. Kacanya tidak retak sama sekali, akan tetapi rasa sakit di wajahku membuatku berhenti sejenak.

"Auuchhh!!" Aku meringis kesakitan.

Benar saja, hidungku seketika mengeluarkan setetes darah segar disusul dengan rasa perih di sana. Namun rasa perih ini terkalahkan dengan perasaan panik yang mengrogoti jiwaku. Sambil menyentuh hidungku agar darah tidak mengalir lebih, aku kembali berjalan menyusuri kaca dan cermin.

Sepanjang perjalanan menyusuri kaca dan cermin, tidak ada suara maupun harum ruangan. Sangat datar seperti tidak ada udara.

Diriku tidak peduli jika darah dari hidungku tumpah mengenai lantai, yang kupikirkan saat ini adalah menemukan jalan keluar di antara jejeran kaca dan cermin yang mengganggu. Terutama bertemu dan memastikan si kembar sedang baik-baik saja.

Sekitar satu jam aku menyusuri ruangan ini.

Langkahku seketika terhenti. Tiba-tiba diriku disuguhkan dua pilihan arah, yakni kanan dan kiri.

Diriku mengamati tekstur kaca dan cermin di kedua arah. Di arah kiri, tekstur kaca dan cermin lebih runcing. Sedangkan di arah kanan, tekstur kaca dan cermin lebih polos.

"Biasanya kalau yang polos sedari awal, akhirnya akan mengejutkan," batinku. "Baiklah aku akan memilih kiri."

Aku pun memilih arah kiri. Kulanjutkan langkahku memasuki area kaca dan cermin yang bertekstur lebih runcing. Diriku harus berhati-hati agar tidak terkena tekstur runcing tersebut. Cukup hidungku yang terluka hari ini.

Cukup sulit berjalan di tengah kaca dan cermin yang runcing sebab aku harus melompat di cermin yang menghasilkan runcingan yang panjang, menghindari runcingan yang muncul dari atas dengan berjalan tengkurap, dan lainnya. Tentu nya dengan tangan kanan menahan darah di hidungku.

Setelah berkilometer aku berjalan, sebuah pintu besi muncul dengan tombol hijau di sampingnya. Aku langsung mengetuk tombol hijau itu dengan tangan kiriku hingga mengeluarkan cahaya hijau. Tak lama kemudian pintu itu terbuka otomatis seperti pintu sebelumnya. Lalu diriku melangkah memasuki suatu ruangan dengan banyak kursi berjejer. Aku pun memutuskan untuk menduduki salah satu.

DING DONG

"Selamat Saudari Eireen Imrgard, kau berhasil menyelesaikan level satu dalam waktu 1 jam 45 menit," ucap sosok pemuda dari balik pengeras suara yang menggema.

Aku pun terkejut.

"Oh sudah selesai, ya," gumamku sambil menatap ke atas mencari alat pengeras suara itu berada.

Tiba-tiba pintu dari sisi lain terbuka. Menampilkan sosok wanita berbaju perawat dengan kotak P3K nya. Penampilannya sungguh mirip dengan Ivonna.

"Sebentar, ya. Akan saya pasangkan perban dan alkohol pada hidung Anda," ucapnya seraya duduk di kursi dua blok dariku kemudian meletakkan kotak P3K nya di kursi sampingku dan membukanya.

Ia mengambil semacam obat dan diberikan ke sebongkah kapas. Ia pun berdiri dan memasangkan benda itu di hidungku. Seketika darah tidak lagi mengalir. Lalu diperban khusus pada hidungku.

"Hidungmu mengalami memar sementara. Tunggu hingga 4-5 hari, ya lalu setelah itu boleh kau lepas perbannya," jelas wanita itu.

"Baik, Terima kasih," Ucapku.

Wanita robot itu tidak menjawab, hanya tersenyum.

Lalu aku pun beranjak dari kursi dan keluar ruangan disusul wanita perawat itu. Setibanya di suatu aula gedung, diriku disambut Pelatih Theo dan sepasang kembar berambut merah keriting. Mereka tampaknya saling bercengkrama. Namun setibanya diriku di sana, pandangan mereka beralih kepadaku. Terutama si sepasang kembar itu menatapku dengan pandangan terkejut. Diriku ikut terkejut dicampur perasaan lega melihat kehadiran kedua manusia keriting itu dalam keadaan sehat. Aku langsung berlari menghampiri ketiganya.

"Andrei dan Andrea!" seruku.

"Eireen!" seru mereka.

Aku langsung memeluk mereka sebentar. Lalu aku melepaskannya. "Sumpah aku kira kalian terhimpit dinding di ruangan lain, lho!"

"Eireen, apa yang terjadi pada hidungmu?!" seru Andrea terkejut menatap perbedaan yang mencolok pada wajahku yang memar.

"Ah ini...," kataku sambil menyentuh sedikit perban di hidungku. "Hidungku memar usai terbentur kaca akibat mengejar salah satu dari kalian tadi."

"Nah, aku pun mendapati kau juga berlari setibanya di ruangan kaca. Lalu aku sempat panik karena tidak ada kau tahu!" seru Andrea.

"Kalau aku melihat si Andrea berjalan ke arah lain dan sungguh mengejutkanku," ucap Andrei. "Kami terpisah sendiri-sendiri,"

"Syukurlah kalian beneran ada sekarang!"

"Maafkan aku atas kecerobohanku di awal permainan," ucap Andrei dengan raut wajah menunduk lemas.

Aku menepuk pundaknya. Lalu berkata, "Tidak apa-apa. Yang terpenting kita berhasil melewati satu level."

Ia pun kembali tersenyum. Namun kali ini adalah senyuman lega.

Meskipun kami bertiga baru berkenalan, entah mengapa rasanya seperti sudah berkenalan setahun.

Tiba-tiba terdengar Pelatih Theo membersihkan tenggorokannya di tengah suasana dramatis akan kebahagiaan, membuat kami bertiga beralih pandangan ke dirinya.

"Aku ucapkan selamat kepada kalian yang telah melewati level pertama pada simulasi permainan takdir," ucap Pelatih Theo. "Level pertama kalian adalah berkaitan dengan kerumitan dan halusinasi."

"Kerumitan dan halusinasi?" Kami melongo.

"Ya," jawab Pelatih Theo. "Itulah mengapa kalian melihat teman kalian padahal orang itu tidak bersama kalian. Kemudian dipersulit dengan memecahkan teka-teki.

"Hal itu tercipta dari kehalusinasi kalian.

"Dan kau Eireen," Pelatih Theo menyebut namaku tiba-tiba.

"I—iya, Pelatih Theo ...,"

"Kau masuk ke dalam jebakan halusinasimu yang menyebabkan hidungmu memar," lanjutnya.

Aku terdiam.

"Iya juga, ya," batinku menyadarinya.

"Tapi kau tidak seratus persen masuk ke jebakan itu, dan kau berhasil menyelesaikan," lanjutnya lagi.

Aku masih terdiam.

"Meski demikian, kalian jangan berbahagia hati terlebih dahulu, karena akan ada tantangan yang lebih sulit dari ini. Jadi tetap berusaha hingga kemenangan berada di telapak tangan kalian."

"Siap, Pelatih!" seru kami serentak sambil mengangkat tangan kanan menyentuh dada sebelah kiri, kemudian kembali dengan tangan di samping.

Tanpa sadar aku ikut melakukan gerakan ini.

"Persiapkan diri kalian di level kedua besok pagi. Pastikan sarapan terlebih dahulu dan—oh iya!" seru Pelatih Theo. "Bawa barang bawaan kalian yang sekiranya dapat membantu selama simulasi ini."

"Untuk informasi nilai simulasi, kalian dapat melihatnya saat bulan Desember nanti," ucapnya.

Sejak hari ini masih bulan Juli akhir, maka kami pun harus menunggu 5 bulan lagi untuk memantau perkembangan nilai kami.

"Selamat istirahat!" ucap Pelatih Theo sambil melambaikan tangannya dan berbalik badan meninggalkan kami.

"Terima kasih untuk hari ini, Pelatih Theo!" ucap kami serentak.

Namun, Pelatih Theo hanya bergerak menjauh dan menjauh hingga wujudnya tertutup dari balik fondasi bangunan.

Kami bertiga kembali saling bertatapan.

Cahaya mentari sore menyinari seisi ruangan.

"Aku baru tersadar sudah sore ternyata," ucapku melihat pembiasan cahaya mentari sore yang berwarna jingga indah itu.

"Bento daging?" tanya Andrei kepada Andrea.

"Ayo, siapa nolak?" jawab Andrea bersemangat.

"Kau mau ikut makan bersama kami, Eireen?" ajak Andrei kepadaku. "Sekalian merayakan level satu kita selesai, ya kan...."

Merasa lapar ini mulai mengrogoti seisi perutku. Aku pun tersenyum dan berkata, "Boleh."

Kami bertiga pun bersama-sama berjalan menuju kantin di lantai dua, mengisi tenaga yang sempat terkuras karena simulasi latihan level pertama hari ini.

Dengan bento daging, kuharap dapat membantu energiku kembali. Omong-omong, ini sebagai pengganti makan siangku menjadi makan sore.

Halo, terima kasih ya sudah membaca cerita aku. Kalian sangat memotivasi aku untuk terus menulis lebih baik ^_^

Jangan lupa tambahkan ke library jika kalian suka yaa!

Have a nice day y'all!

angelia_ritacreators' thoughts