webnovel

Dibatas Senja

Lusi Aryani, 20 th, Mahasiswi FEB, semester IV, gadis dengan penampilan sederhana karena kondisi ekonomi keluarga yang hanya dibilang cukup namun keinginan begitu kuat untuk melanjutkan pendidikan berbekal dengan prestasinya. Dia ingin merubah kehidupan keluarganya, sesuatu yang harus diperjuangkan tidak menyerah untuk meraih harapannya. Janggan Pringgohadi, Mahasiswa Tehnik Arsitek semester 8, anak tuan tanah di salah satu kota kecamatan di Yogyakarta, anak panggung, tentu banyak penggemar, dijodohkan dengan Jihan anak temen orang tuanya. Bagaimana sikap janggan atas perjodohannya sedang dia mulai tertarik dengan lusi anak FE depan kostan. Apakah mungkin keluarga Janggan merestui hubungan mereka jika orang tuannya tahu Lusi bukan dari keluarga yang selevel dengan mereka. Bagaimana jika ternyata Janggan memilih mengikuti keinginan keluarganya. Disini kisah mereka diuji hingga dibatas perasaan Lusi dan Janggan, Dibatas Senja

Tari_3005 · perkotaan
Peringkat tidak cukup
89 Chs

Bab 21

"aku rela mas, menyimpan perasaan ini sendiri dalam memoriku, terima kasih pernah singgah dan memberi warna dalam hariku, aku akan pulang" hari ini menjadi hari terakhir mereka bersama.

Mas Janggan sudah membuat pilihan, lebih memenuhi keinginan ibunya, memang seharusnya begitu, aku yang terlalu berharap banyak pada hubungan ini. aku harus bisa menerima perpisahan ini. lusi keluar dari mobil Janggan dengan menahan airmata yang dak bisa lagi dibendungnya, perasaannya begitu terluka. kenapa saat dia baru belajar menerima seseorang, saat ini pula dia harus belajar merelakan.

Lusi membawa motor metiknya untuk pulang dengan pelan dia menyadari jika dak terlalu fokus takut terjadi sesuatu, dia masih punya ibu, nenek dan adik yang memperhatikannya.

Namun cuaca tidak lagi berpihak padanya, mendung dan mulai gerimis, sedang jarak pulang masih 20 menitan lahi," kenapa hari ini dak berpihak padaku, " batin lusi, dak papa gerimis dak terlalu basah, ternyata gerimis semakin sering dan berganti hujan. aduh tambah deras hujannya, "lusi menepikan motornya ke sebuah minimarket untuk memakai jas hujan, tiba tiba ada sebuah mobil yang menyorot ke arahnya, siapa sih lusi sedikit ngedumel, sosok yang dikenalnya turun dari mobil tersebut, kenapa dia ngikutin aku, " ayo masuklah ke mobil aku antar, hujannya deras," laki laki itu memenatapnya mengisyaratkan untuk tidak menolaknya, "terus motorku gimana, "

"kita minta tolong ke minimarket ini untuk nitip motormu, besok pagi bisa minta adikmu untuk ngambil ke sini, " Janggan langsung mendekati pelayan toko tersebut dan tampak membicarakan sesuatu dan diakhiri dengan memberikan 2 lembar uang warna merah gambar presiden pertama RI sambil menunjuk pada Lusi. "masalah motormu terslesaikan, tidak bolehkah aku membantumu, sebagai seseorang yang mengenalmu, " dan masih menyayangimu kata Janggan dalam hati, tapi dia dak mau membuat gadis ini bertambah terluka." ayo masuklah, aku dak akan gigit kamu, tapi kalo yang digigit mau juga dak papa," janggan mencoba bercanda menggoda lusi yang masih diam dan menoleh ke arah lain tanpa memandang ke arahnya, dak berani menatap anak tehnik yang saat ini ingin dia hindari. Ditariknya tangan pacarnya ini dan dimasukkan ke mobil, lusi mau berontak tapi kekuatan tangan Janggan lebih kuat, " apa lagi sih yang dipikirin, tinggal masuk mobil susah banget kayak mikir rancang bangun buat tugas akhir aja, " Janggan dak sabar melihat keraguan lusi, setelah dia sendiri masuk mobil, dilajukannya pajero spot putih menembus hujan yang semakin deras. Pacar ? batinnya kan dia dak bilang putus tadi sama lusi, dasar mau enaknya dak mau putus tapi nerima aja dijodohin sama orang lain, itu namanya dak tegas gaes, tapi saat ini beda dia kasihan kalo gadis yang masih mengisi hatinya ini kehujanan di jalan bisa berakhibat kecelakaan karena kesalahannya, gimana coba kan perlu dipikir, ia juga sih.

" Jangan diam aja dik, atau mau tak ajak pulang Semarang ?, " lusi tersentak dari lamunannya sadar kalo Janggan dak tahu arah rumahnya, " ikuti jalan lurus aja mas, nanti ada gapura itu desaku, setelah masjid belok kiri masuk 200 meteran,"

"Nah ternyata dak habis baterainya, dari tadi aku tunggu dak ngomong," Janggan terus berusaha dak canggung dengan mengajak bicara lusi, meskipun dijawab hanya dengan kalimat pendek.

Sebenarnya Janggan mengikuti lusi dari belakang dengan berkendara pelan, sejak gadis itu keluar dari mobilnya, karna dak tega melihat lusi pulang sendiri dalam keadaan hati yang kalut takut terjadi sesuatu.

Akhirnya sampailah di sebuah rumah dengan bangunan baru tingkat dua ukuran 6 x 8 m, dengan halaman depan hanya 2 meter akan sangat jauh dengan rumah tinggalnya dengan luas tanah 5 kalinya, rumah ini hanya seukuran halaman depan untuk taman ibunya, begitulah otak arsiteknya langsung bisa membaca.

"mas masuk dulu, tunggu hujan reda di dalam, " lusi keluar mobil dan langsung lari masuk rumah, "baiklah, nginep boleh," jawab Janggan sendiri ngarep yang ia ia, tanpa didengar lusi karna dibarengi suara hujan.

Lusi sudah siap membawa payung saat Janggan turun dari mobil, setelah itu lusi menyiapkan handuk dan juga kaos serta sarung untuk ganti Janggan yang pakaiannya sudah basah semua saat tadi di minimarket." makasih, masih sayang sama mas, " apa juga yang diucapkan Janggan, " mas kan sudah susah susah nganterin aku ke rumah, badanmu basah nanti masuk angin, cepet ganti, ayo aku anter ke kamar mandi, " lusi memang masih sayang sama nih orang meski nyebelin, kenapa mau aja dijodohin, tapi itu artinya dia anak yang berbakti sama orang tuanya, la trus aku gimana.

Tiba tiba ada tangan kekar mengungkung badan lusi, hingga wajah itu kini hanya berjarak 5 centimeter dari wajahnya, "mas mau apa, "

"mas kangen sama kamu," dilumatnya bibir ranum tanpa lipstik itu, yang sudah beberapa kali dicecapnya, digenggamnya erat tangan gadisnya, seakan takut terlepas, tanpa sadar bibir itu terus dilumatnya, lusi tidak menolak, hawa dingin seakan mendorongnya mendapat kehangatan, tangan itu memeluk erat pinggang ramping sang gadis, Janggan semakin berani menarik tengkuknya dan menelusuri leher putih gadis itu, terdengar desahan ringan keluar dari bibirnya, dan ahhh lusi mendorong kuat laki laki yang terus memeluknya erat.

"maafkan aku, " Janggan masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya dengan airdingin untuk menurunkan suhu tubuhnya yang tiba tiba panas, apa yang kulakukan, aku telah menyakiti hati dan perasaannya, sedang aku dak berani menentang perjodohan itu, laki laki apa aku ini, batin Janggan terus bergolak.

Sementara lusi duduk terdiam memikirkan yang barusan dilakukannya, sepenuhnya bukan salah Janggan tapi dia juga menikmati.

Janggan ke luar dari kamar mandi sudah berganti kaos dan sarung, " aku langsung pulang, takut didatengi orang kampung nanti kalo ada yang nginep laki laki ganteng di rumahmu," lusi mengangguk, sebenarnya mereka sama sama canggung atas kejadian yang menimpanya barusan.

"makasih ya mas, " kenapa dia terlihat begitu sedih Janggan dak tega meninggalkan gadisnya, tapi akan lebih bahaya buat mereka kalo dia tinggal sedang dia dak bisa memberikan harapan lebih, hanya sekedar menyayangi dak cukup untuk sebuah hubungan.

"mas pulang, " sikecupnya tangan dan kening lusi dengan sayang, " maafkan mas, dak bisa tinggal takut dak bisa menjagamu, "

"Makasih mas atas semuanya, lusi ngerti" dia ingin mengatakan banyak hal, dia ingin membuat laki laki ini tinggal tapi tidak dia dak mau egois. semua harus berakhir.

Diluar hujan sudah reda tinggal gerimis dan hawa dingin yang menusuk tulang,

Lusi melepas Janggan untuk pulang, pulang dan tak akan kembali lagi ke hatinya, lusi harus melepas sumua tentang Janggan, benarkah begitu ?