webnovel

Diantara Kebohongan

{MATURE CONTENT: R18!} When lie covered by a liars, even human eyes could never tell the truth. “kamu ngga suka keramaian?” Ia mengangguk dengan senyum simpul, alihkan pandangan dari buku untuk menoleh hanya menemukan pandangan pria itu kembali terbuang ke hadapan. “kamu bisa menjelajahi tempat ini secara privat kalo mau” ucapnya dengan dua lengan bertengger ke sandaran kursi. Terkekeh geli Malena mendengar itu, “menyewa tempat sebesar ini?” sebab kedengarannya tidak mungkin. “ngga ada yang ngga mungkin di sini” geleng si pria dengan bibir mengerucut, “tinggal bilang aja ke penjaga di depan, mereka akan mengusir pengunjung lain dan menutupnya untuk bisa kamu jelajahi sendiri” kesannya pongah menjawab, “aturannya memang begitu, karena masuk ke tempat ini tidak dipungut biaya apapun kan” tolehnya kilas ke Malena yang kelihatan heran. “itu egois namanya” geleng Malena, masih kecut. Pandangan si pria mengedar ke lenggangan sejenak, “demi kenyamanan sendiri, tidak ada salahnya. Semua orang bisa menggunakan tempat ini sesuka mereka jika bilang, kecuali mereka ngga tahu” Malena kembali menggeleng kecil, “ini bukan tempat pribadi” “kecuali punya pemiliknya” sanggah si pria balik menatap, lalu memperbaiki duduknya sedikit menghadap Malena dengan satu tangan tersodor. “perkenalkan.. saya Ghani, yang punya Semesta ini” Malena menatap si pria dengan keterhenyakan dalam diamnya, lalu melirik sodoran tangan yang masih tertahan. Akhirnya, ia bertemu Ghani secara langsung. Dan ia merasa debaran jantungnya kian berdentam, diantara perasaan lega dan khawatir. Pengakuan tersebut bukan hanya mengejutkannya, tetapi gaya Ghani kala mengenalkan diri terkesan sedikit begitu pongah. “oh wow” serunya pelan, berdengus senyum menerima kilas jabat tangan yang ia lepas sepihak. “senang bertemu dengan pemilik tempat ini, secara tidak terduga” sudut bibirnya berkedut dipaksa tersenyum, tapi ia bisa menutupi itu. Pandangan Ghani masih menatapnya, tapi kembali duduk seperti semula dengan lengan menyender. “kamu familiar, seperti kita pernah ketemu sebelumnya” kata Ghani memperhatikan Malena yang pasang senyum simpul. Tidak sulit menjaga sebuah kerahasiaan, yang sulit itu adalah menjaga kepura-puraan. “saya rasa tidak” gelengnya pelan, “manusia punya banyak kembaran di bumi kan” “but feels like i’ve seen you before” bersitatap mereka lagi. Ghani dengan tatapan lekat, sedangkan Malena hanya tersenyum tipis. Malena tidak terkesan mengundang, tidak pula menunjukkan ketertarikan apapun. Ia paham dengan maksud tatapan Ghani padanya. Justru ia menunjukkan kekakuan, kecanggungan, dan sedikit ketidak nyamanan. Bukan seperti kebanyakan orang yang akan berseru semringah dan semangat ketika bertemu seorang pemilik tempat apapun, atau meminta berfoto dan sebagainya. “saya boleh tau nama kamu?” Nama adalah identitas diri yang paling krusial, Malena berpikir memberitahukan namanya adalah hal pertama yang membuat hidupnya kemungkinan berada dalam bahaya.

Nothing_El · Fantasi
Peringkat tidak cukup
13 Chs

3

Menjelang pukul 12 siang, Malena baru selesai dengan satu pasien langganan yang datang untuk pengobatan terapi seperti biasa. Mengistirahatkan mata sejenak di duduknya menyandar kursi, menyadari seharian ini ia belum ada bertemu dengan mba Kanya sejak pagi. Selain dikarenakan jam datangnya yang lebih siang dari biasanya karena tidak banyak memiliki jadwal temu, ia sendiri belum ada keluar dari ruangannya karena punya antrian pasien bergilir tanpa henti. Belum juga ada ketukan di luar pintunya dari mba Kanya sekedar mengajaknya makan siang, atau mungkin ingin menanyakan soal kegiatannya kemarin bersama Jihan dan Diana. Dan itu kembali membuatnya terpikirkan soal kejadian keadaan semalam, yang kembali mengundang rasa penasarannya.

Ia jadi teringat kejadian malam sebelumnya dimana sepasang suami-istri itu datang untuk menjemput kedua putri mereka, meskipun sempat berbincang basa-basi sejenak. Ia merasa ada yang aneh diantara sepasangan manusia tersebut, yang mereka pikir tidak dirinya sadari saking terburunya mereka menjemput hampir tengah malam.

Ia berpikir benar Jihan dan Diana akan menginap hingga keesokan harinya, nyatanya saat hampir larut kedua orang tua mereka datang untuk menjemput. Tidak juga dirinya bertanya macam-macam, karena tahu saat itu situasi diantara pasangan suami istri itu sedang bersitegang dari bagaimana raut keduanya yang dipaksa tersenyum ketika harus berinteraksi di hadapannya.

 

 

"waktu masih SMP, kami pernah sekolah di Belanda selama beberapa lama, tapi dia sering dipindahkah karena selalu buat masalah. Dari masalah sepele yang menjadi besar, sampai melukai beberapa teman sekolahnya, bahkan ada guru yang hampir pensiun pernah masuk rumah sakit beberapa bulan karena perbuatan tidak disengajanya. Dia hampir dibawa ke pengadilan sana, tapi karena masih di bawah umur dan orang tua saya membayar jaminan, dia hanya ditahan di pusat rehabilitasi remaja selama beberapa minggu. Dia juga pernah dibawa ke psikolog oleh ibu saya, tapi kata dokter dia hanya remaja labil yang butuh perhatian dan pengarahan lebih. Di situlah semuanya mulai kacau menurut saya. Selain perhatian ibu saya yang akhirnya beralih lebih banyak ke dia, hubungan kedua orang tua saya juga mulai ikut merenggang dan sering cek-cok perkara dia"

 

Tiba-tiba teralihkan oleh cerita Hanan kemarin, seketika ia lupa pada kepenasarannya menyangkut mba Kanya. Kursinya bergerak perlahan, netra menatap langit-langit dengan tangan bersedekap diperut memegang sebuah sebuah brosur kecil sedikit lusuh bekas dikepal. Itu adalah apa yang bisa Hanan kasih padanya ketika sesi konseling mereka berakhir, tentu saja Hanan tak bisa menolak jika hanya sesi bercerita.

 

"bahkan saya sendiri pernah jadi korban ketidak sengajaan dia, meskipun itu waktu kami masih di SMP. Dia buat seekor anjing doberman milik tetangga menyerang dan melukai saya cukup parah sebelum pertandingan basket sekolah, saya sampai harus istirahat total selama beberapa bulan karena terima 13 jahitan di sepanjang betis kiri saya. Sedangkan dia yang akhirnya menggantikan saya di turnamen nasional antar sekolah itu, tapi selama pertandingan juga dia membuat beberapa pemain saling berkelahi dan membuat tim lawan kerap dapat pelanggaran. Tim sekolah kami memang menang, tapi saya merasa itu karena dia banyak melakukan kecurangan tanpa diketahui oleh siapapun. Lagipula kami masih anak-anak saat itu, orang dewasa mana yang akan berpikir anak kecil bisa mampu memancing pelanggaran seolah itu kecurangan. Tapi setelah saya menyadari segala hal, saya sadar itulah yang sudah mampu dia lakukan bahkan saat kami masih belia."

 

"saya bukannya iri dengan apa yang bisa dia lakukan, kalo kami saling mendukung seperti seharusnya saudara kandung, saya ngga akan merasa atau berpikir dia jahat. Tapi dia selalu merebut apa yang seharusnya jadi milik saya, bahkan perhatian ibu saya. Orang tua saya memang sudah berpisah sejak kami masuk SMA, dan kami tinggal bersama ibu sementara ayah sudah punya keluarga baru di Singapura. Tapi ayah masih sering menghubungi kami atau mengundang kami kalo lagi libur sekolah, dan mengenalkan kami dengan keluarga barunya yang begitu baik. Saya rasa itu alasan dia juga jadi makin nakal. Dia mau perhatian ayah dan ibu kembali ke dia, sampai-sampai dia buat istri ayah keguguran karena 'ketidaksengajaannya' dan menyebabkan tante Linda ngga bisa punya anak lagi, tapi untungnya tante Linda sudah punya anak dari pernikahan sebelumnya, tapi tetep aja... dan setelah itu ayah ngga pernah lagi ngundang kami, dan itu semua karena dia. Ayah mungkin berpikir kami membenci dia atau keluarga barunya, tapi saya ngga, meskipun saya juga merasa ayah jahat sudah meninggalkan kami demi istri barunya. Tapi selama bersama ibu, saya baik-baik saja. Ngga seperti dia"

 

"saya juga pernah kabur dari rumah dan tinggal di tempat om, saudara jauh ibu karena muak serumah sama dia yang terlalu sering mau mencelakai saya. Hidup sama dia seperti mimpi buruk, saya harus selalu waspada atau 'ketidak sengajaannya' akan membuat saya terluka. Tapi anehnya ngga ada yang berpikiran sama seperti saya tentang dia, mereka semua malah balik menyalahkan saya mungkin cemburu dengan apa yang bisa dia lakukan. Ya, dia memang jenius, selalu menjadi kebanggaan keluarga. Karena dia menginjak banyak orang untuk bisa mendapatkan itu, ngga terkecuali beberapa sepupu saya dari pihak ayah yang menjadi korban dia juga"

 

Cukup sulit mengetahui tentang kebenaran cerita Hanan, meskipun menyebut beberapa orang yang sudah mengalami kerugian akibat perilaku kakaknya. Tapi tidak satupun yang menaruh kecurigaan terhadap Ghani sendiri lah yang membuatnya heran, seberapa acuh orang-orang dewasa di sekitar pria itu di masa kecil hingga tak ada satupun yang bisa mampu mendisiplinkan dia di luar tanggung jawab kedua orang tua mereka yang sudah berpisah. Jika memang sesulit itu menyadari arti dari tindakan Ghani sendiri, artinya memang kemungkinan Ghani sendiri yang pandai memanipulasi keadaan untuk keuntungannya sendiri. Itu bisa saja menjadi tanda orang dengan kecenderungan sosiopat, ciri orang tanpa simpati maupun empati, berwajah lugu dengan sikap ceroboh yang dibiasakan bukannya berusaha diperbaiki, mengambil keuntungan dari kerugian seseorang, mengakibatkan masalah yang sama sekali tidak disadari oleh orang lain.

 

"dia juga sering buat orang lain bertengkar parah karena ucapannya, untuk mencapai suatu tujuan, ibu saya menjadi ngga akur dengan keluarga ayah dan bahkan beberapa saudara ibu sendiri karna dia ingin ibu ngga percaya sama mereka ketimbang dia. Dan dia bahkan ngga menggunakan tangannya sendiri, dia mengadu domba mereka biar ibu pergi jauh bersama dia. Dokter pertama yang pernah mendiagnosis dia hanya butuh perhatian itu, ternyata diancam untuk ngga membeberkan yang sebenarnya dari pemeriksaan dia ke orang tua saya. Karena punya satu rahasia yang bisa menghancurkan karirnya pada masa itu, entah dia tahu dari mana, yang jelas dokter itu menceritakannya pada saya saat saya mendatangi dia untuk alasan pemeriksaan saya sendiri saking stress menghadapi dia di rumah. Sayangnya dokter Andrea meninggal akibat kecelakaan menuju ke klinik tempat kerjanya, karena rem mobilnya blong."

 

Tawa getir Hanan masa menceritakan bagi itu, terdengar menyimpan kesedihan tersendiri sependengarannya. Itu sempat membuat dirinya langsung mencari tahu tentang biografi dokter tersebut di malam sebelumnya, usia yang hampir mirip dengannya hanya beda beberapa tahun. Berita kecelakaan itu masih berada di internet dengan tidak adanya tersangka, sebab itu dinilai sebagai kecelakaan tunggal, menabrak pembatas jalan di pukul 9 pagi waktu setempat dengan arus jalan bisa dibilang cukup lenggang. Namun ia melihat gambar tertera di berita internet, jalanan menurun itu memang cukup terjal ditambah tikungan tajam.

 

"saya memang ngga punya keberanian untuk mengutarakan apa yang saya ketahui tentang dia, karena saya ngga ingin berpisah dengan ibu saya. Tapi saya sangat tahu dokter, dia sangat ingin menyingkirkan saya juga. Karena saya selalu memperhatikan dia, semua apa yang dia lakukan karena saya takut jika melepas kewaspadaan saya terhadap dia. Saya akan terluka, karena ketidaksengajaannya. Sampai saya dinilai adalah yang terobsesi sama dia. Tapi dokter mengerti kan? Gimana rasanya mengetahui sesuatu yang ngga diketahui oleh orang lain. Saya ngga bisa terus hidup seperti ini dokter, saya ketakutan kalo dia masih berkeliaran bebas. Meskipun kami saudara kandung, tetap saja posisi saya rasanya selalu terancam karena dia."

 

"bahkan sekarang kabarnya ibu saya sakit, tapi saya ngga tau di mana ibu saya berada. Karena dia yang bawa ibu untuk dirawat. Saya mulai tinggal terpisah dari mereka setelah lulus SMA, bekerja untuk perusahaan om saya agar bisa mandiri dan keluar dari rumah itu. Tapi justru, itu yang buat dia semakin menutupi akses saya untuk ketemu ibu saya, dan ayah bahkan udah benar-benar ngga perduli lagi sama kami setelah dia sempat beradu mulut dengan ayah beberapa tahun silam."

 

Ia sangat paham, Hanan mengalami paranoid karena trauma berada dalam ancaman yang dia rasakan. Meskipun bisa saja apa yang terjadi kemungkinan hanya kebetulan, tetapi kecemasan Hanan tidak lagi bisa buat dia berpikir jernih mengenai kakaknya sendiri. Kenapa ia menganggap demikian? Menangkap dari keluh kesah panjang Hanan, itu bisa saja hanya dampak dari kurangnya perhatian dan kasih sayang kedua orang tuanya, juga tidak adanya ikatan batin saudara seperti pada umumnya diantara mereka, membuat Hanan merasa seperti sendirian di keluarganya. Ditambah sikap kakaknya yang mungkin terkesan keras sebagaimana ciri khas anak sulung pada umumnya, yang mungkin tidak dapat diterima oleh Hanan sendiri yang merasa kakaknya selalu ingin mencelakai banyak orang termasuk dirinya. Itu bisa menjadi salah satu asumsi bagi dirinya, bahwa Hanan hanya ingin mempercayai apa yang ingin dipercayai olehnya. Timbulnya rasa iri akan pencapaian dan prestasi sang kakak, termasuk kepedulian kedua orang tuanya yang bisa jadi sepihak.

Bukan ia tidak mempercayai sepenuhnya cerita Hanan, ia juga harus punya kecurigaan terhadap si sulung Ghani. Tapi ia memang telah berasumsi ketika Hanan mengutarakan rasa iri dan rasa tidak sukanya terhadap sang kakak. Entah ini akan menjadi boomerang bagi Hanan sendiri yang memang punya tendensi depresi, atau memang cerita Hanan mengenai sang kakak benar adanya. Karena seseorang yang tengah mengalami depresi atau stress, bisa melemparkan asumsi liar mereka mengenai sesuatu yang terkesan janggal padahal tidak, karena perasaan iri hati yang menumpuk sejak lama. Mau menyamakan dengan Hanan pun tak bisa, dirinya anak tunggal yang bahkan tidak begitu dekat dengan sanak keluarga lainnya. Meski begitu, ia pernah mengalami ketidak adilan serupa yang masih bisa teratasi dengan mengintrospeksi banyak hal termasuk diri sendiri, dan belajar bersabar diri.

Pandangannya teralih pada selembar kertas lusuh di genggaman, menatap penuh raut tak terbaca pada tulisan "SEMESTA PARK".

 

"dia biasanya ada di sana, dokter bisa berkunjung kalo lagi senggang. Hanya sekedar melihat kalo dokter bisa ketemu dia, tapi saran saya dokter jangan pernah menanggapi terlalu jauh omongannya, kalo kalian sempat ketemu"

Ia pernah dengar tentang Semesta itu, taman rekreasi yang berada di daerah pinggiran kota dan memang terkenal sudah sejak beberapa tahun lalu. Mba Kanya bahkan sering pergi ke sana bersama keluarga kecilnya jika sedang liburan, sempat mengajaknya juga tetapi ia tidak pernah suka menghabiskan waktu di luar seperti itu. Nafasnya terhela kasar seraya perbaiki duduk menjadi tegap kembali, habiskan waktu cukup lama hanya untuk tenggelam dalam lamunan konseling kemarin.

Hanan malah memberinya sebuah tantangan yang menurutnya butuh perencanaan sangat matang, yakni melakukan pendekatan kepada Ghani secara perlahan. Bagaimana bisa dirinya harus mencari seorang calon pasien yang bahkan tidak mengetahui dirinya adalah seorang pasien? Satu yang Hanan inginkan dari rencana itu adalah, mengetahui di mana Ghani merawat ibu mereka. Itu adalah sebuah tantangan yang cukup berat bagi dirinya, terutama beberapa orang tidak ingin masalah mereka disangkut pautkan dengan urusan mental. Hanan bahkan menawarkan bayaran yang cukup fantastis, hanya agar dirinya mau berkorban untuk mencari secuil informasi penting. Ia bukannya orang yang begitu materialistis, tetapi kepuasan pasien adalah hal terpenting bagi dirinya, dokter juga memegang sumpah. Namun tantangan yang Hanan berikan kepadanya dirasa cukup berat.

 

Pertanyaan yang sudah terjawab setelah Hanan menceritakan maksud tujuannya datang adalah, dia tidak bisa membuat Ghani membeberkan dimana pria itu menyembunyikan ibu mereka. Jawabannya adalah, karena Ghani telah mengancam akan menghancurkan hidupnya jika dia mencoba mencari tahu. Bukan sekali-dua kali Hanan mendapat teror dari kakaknya sendiri karena berusaha ingin menemukan ibunya, justru itulah kenapa Hanan kerap berpindah tempat, bahkan gonta-ganti dokter psikolog untuk dapat mengatasi insomnia akutnya akibat dari teror kakaknya sendiri.

Bahkan beberapa sanak keluarga mereka tidak mengetahui di mana Ghani menyembunyikan sang ibu, Hanan berkata bahwa mereka sangat enggan dipertemukan dengan sosok Ghani lagi.

 

"you promised me, you'll saved people Malena"

 

Manipulator yang memanipulasi pikiran manusia lain adalah yang paling berbahaya.

 

"i promised"

 

***

 

Makan siang Malena lewatkan, sepanjang perjalanan menyetir ia hanya menyantap 3 bungkus coklat bar dan sekotak jus apel untuk mengganjal rasa laparnya yang tak seberapa. Perjalanan menuju tempat wisata Semesta ini memakan waktu kurang lebih 2 jam berkendara, keluar dari pusat kota yang padat menuju wilayah daerah pinggiran di mana tempat wisata tersebut berada. Jika saja ia pergi di hari libur, macetnya jalan menuju tempat wisata manapun di pinggiran kota akan membuat perjalanannya sangat lama. Berhubung ia mengambil jam perjalanan pada hari kerja, ia bisa sampai lebih cepat yang dibayangkannya.

Mobil ia parkir di deretan sebelah beberapa mobil lainnya, area parkir mobil bahkan cukup seluas lapangan bola baseball, ia tak berpikir tempat akan lenggang juga karena pada hari kerja, nyatanya banyak juga pengunjung yang datang. Menyampir tas di bahu saat turun dari mobil, pandangannya langsung mengedar ke sekitar parkiran yang cukup sepi. Hanya ada 2 satpam di pos utama gerbang sebelumnya, dan tidak dirinya lihat ada satupun pedagang kaki lima yang biasanya berseliweran di tempat wisata pada umumnya, kemungkinan karena ada aturan.

Belum pernah ia mendatangi tempat wisata seperti Semesta, dipikirnya akan ada banyak wahana permainan seperti di taman kota, atau taman rekreasi lainnya. Tetapi sejauh mata memandang, ia tak melihat ada wahana permainan apapun yang tersedia. Ia bahkan bingung harus ke bagian mana untuk mendaftar atau membayar uang masuk, satpam di depan hanya sempat memeriksa tanda pengenal sebelum membiarkannya masuk. Tetapi netranya menangkap plang nama di pertigaan jalan, Galeri Semesta, Food Court, Taman Utama, Arena Olahraga. Dan di sebelah plang tersebut ada sebuah mading berukuran cukup besar yang merupakan map tempat tersebut masing-masingnya. Gila, pikirnya. Tak ia sangka tempat itu begitu besar sampai ia harus mengeluarkan smartphonenya untuk men-scan barcode tertera berupa map online, saking takut tak bisa menghafal nama tempat yang ia kunjungi nantinya.

Karena tak ingin membuang waktu lama berdiam diri hanya untuk mempelajari peta, ia memilih untuk menyusuri jalan sebesar 1 mobil standar menuju area galeri terlebih dahulu. Dan ia baru menyadari, semua jalan yang ada di taman menggukan paving blok hingga ke area parkiran, pikirnya tempat ini bukan sembarangan jika jalannya saja di pasangi paving blok secara keseluruhan.

Dengan masih memakai blouse dan rok sebetisnya dari klinik tadi, ia hanya sempat mengganti heels ke sneakers yang memang selalu tersedia di mobilnya. Setidaknya sneakers akan membuatnya lebih nyaman berjalan menyusuri tempat-tempat ketimbang heels, apalagi ia harus menaiki tangga yang entah berapa jumlahnya di depan mata. Melupakan sejenak berbagai skenario rencana di kepala, karena ia teralih oleh pemandangan sekitar yang ternyata begitu asri dan penuh kehijauan lebat dari pepohonan rindang sepanjang menyusuri jalan, juga semak-semak tanaman bunga yang tengah bermekaran begitu indah ternampak, dengan banyak bangku-bangku untuk duduk jika penat di bawah pohon. Terlebih lagi, cuaca yang cerah namun sejuk karena hembusan angin segar.

 

Malena temukan ada cukup banyak pengunjung sepanjang ia menyusuri jalan, ada yang berjalan kaki sepertinya, ada banyak pasangan, kumpulan anak sekolah dan muda-mudi, keluarga, sekumpulan orang tua. Mereka berfoto, bersenda gurau, sekedar duduk di bawah pohon atau rerumputan dan bangku tersedia, ada yang bersepeda juga. Oh- dia melihat tempat penyewaan sepeda di sebelah pos satpam. Bisa saja ia menyewanya, namun ia lebih suka berjalan kaki agar sekalian bisa lebih memperhatikan segala hal lebih seksama. Ia membutuhkan udara segar ini untuk masuk ke paru-parunya yang jarang bisa ia lakukan di tengah kota, aroma ini hanya bisa ia hirup ketika sudah pulang kerja, dari taman belakang rumahnya yang juga punya banyak tanaman.

 

Terkagum dirinya karena baru mengetahui tempat seperti ini ada, saking hanya fokus pada pekerjaan dan sibuk mengurusi pasiennya sampai lupa pada kehidupan di luar itu. Terkadang berpikir mengenai hidup tanpa melakukan apapun dan sedikit bersantai cukup membuatnya terbuai, namun hal tersebut tidak cocok untuk dirinya yang selalu termakan ambisi dalam pekerjaan. Ia sadar betapa dirinya terlalu giat belajar dan bekerja, bisa dibilang ia merelakan masa mudanya hanya untuk itu. Ensiklopedia, penelitian, mencari pengalaman kesana-kemari. Masa-masa itu, masih terlalu terekam jelas dalam benaknya, seperti mimpi.

 

"kalo kamu udah dapat gelar dan kesuksesan itu, apalagi yang mau kamu lakukan? Apalagi yang mau kamu kejar?"

 

Suatu waktu, pertanyaan itu pernah terlontar padanya.

 

"tetap hidup" batinnya menjawab klise, persis seperti ia menjawabnya kala itu.

 

Hidup bukan sekedar untuk hidup. Apa jadinya kalau hidup namun tidak memiliki tujuan? Untungnya ia memilikinya, tujuan itu.

 

"people live in a world full of madness. By that i mean, the people. See what they did to you. Are you the one who being corrupt by the madness, or you are the one who create it?"

 

Ia menghitung anak tangga bersama pikirannya yang berputar mengenai itu, jawaban yang belum bisa dirinya temukan. Yang mana satu dirinya bernilai.

Kakinya terhenti di ujung terakhir anak tangga, pandangannya langsung tertuju pada hamparan luas rerumputan hijau yang terlihat begitu segar, dan di ujung jalan setapak sana terdapat bangunan tingkat 3 dengan bergaya semi-brutalist berwarna dominan abu serta kaca panel pada beberapa bagiannya. Tempat yang terlihat menarik, namun ada sesuatu dari kesederhanaan dan ketidaksimetrisan bangunan itu, yang membuatnya merasakan desiran aneh.

 

Kriiiing kriiiiiingg!!

 

"awas! Awaas! Minggir!!"

 

Refleks Malena menyingkir maju ketika ada dua bocah bersepeda yang melaju kencang seperti tengah balapan, ia menghela nafas kasar karena sadar untung tidak mundur ke belakang atau dirinya akan jatuh dan celaka. Ia kembali menengok kala mendengar suara wanita berteriak memangil kedua bocah tersebut yang sudah jauh bersepeda, wanita itu menatapnya dengan raut khawatir dan sedikit berpeluh.

 

"aduh mba, maafin anak-anak saya yah. Dari tadi udah dipanggilin malah ngga mau berhenti" sungut sang ibu berdecak kesal.

 

Tapi Malena hanya tersenyum simpul tanpa menjawab apapun, tahu bahwa kekhawatiran di wajah wanita tersebut telah bertahan cukup lama dan berubah menjadi kecemasan. Entah berapa banyak orang pengunjung yang mendengar permintaan maaf ibu tersebut, ia berasumsi bahwa sang ibu sendiri kurang tegas dalam mendidik anak-anaknya, sebab itu terlihat dari bagaimana kedua bocah itu tak ada berhenti untuk meminta maaf hampir menabraknya. Tak lama kemudian mendekat seorang pria bertubuh tambun yang asik memainkan gadgetnya, "ngapain berhenti bu? Itu anak-anak nanti nabrak orang lain gimana?" tegur pria itu ke sang ibu.

 

Malena memilih pergi melanjutkan langkahnya, meninggalkan TKP barusan di mana ia menebak pasangan suami-istri itu tengah berdebat karena kedua anak mereka. Tentang siapa yang harus mengejar mereka, dan menyalahkan siapa yang menyewakan sepeda itu.

Menjadi perempuan sekaligus seorang ibu adalah hal tersulit untuk dijalani dalam satu waktu, terutama jika mendapatkan pasangan yang begitu egois. Tidak sedikit ia menghadapi pasien dengan keluhan demikian, kebanyakan juga para perempuan yang ingin keluar dari trauma akibat kekerasan rumah tangga, atau hubungan yang toxic. Namun tidak sedikit juga pria terkadang datang untuk mengeluh, hanya mereka yang merasa mendatangi psikolog atau psikiater sebelum terlambat adalah hal benar dan tidak beranggapan diri lemah seperti kebanyakan pria dengan penuh keegoisan dan keangkuhan, yang aslinya adalah pengecut.

Cerita akan di update setiap seminggu sekali.

Hargai kreasiku dengan jangan lupa vote yaa! ^_^

See ya on another chapter!

Nothing_Elcreators' thoughts