webnovel

Chapter 2

    Jacky pulang menggunakan jasa dari aplikasi ojek online.

    Dia membuka pintu rumahnya dengan kunci yang selalu dia bawa kemanapun dia pergi. Ibunya dan dia memiliki kunci rumah mereka masing-masing. Ibunya akan pulang nanti malam. Dan Jacky akan berada dirumah barunya sendirian sampai beliau pulang.

    Salah satu guru memberi tugas presentasi untuk besok. Katanya tugas itu sudah ada sejak hari  pertama sekolah, tapi karena Jacky baru masuk, jadi dia akan mengerjakannya sekarang. Untuk besok.

    Lima jam berlalu dan akhirnya suara mobil parkir terdengar. Pintu rumah terbuka. Kemudian ibunya muncul dari pintu kamarnya.

    "Hai dear."

    Mida tersenyum ceria. Dia melihat Jacky yang mendongak kearahnya sebelum kembali menunduk melihat HP ditangannya. Laptop dan sebuah buku tergeletak di sebelah kaki Jacky diatas kasur.

    "Sudah ada tugas dihari pertama?" Dia terkekeh sembari menghampiri Jacky dan duduk di pinggir kasur, masih dengan pakaian kerjanya.

    Jacky tidak menanggapi. Mida membuka mulutnya. "Sudah makan? Kamu lapar?"

    Putrinya menggeleng. Keduanya sama. Mereka tipe orang yang sarapan dan makan siang, namun tidak makan malam.  Mereka baru akan makan jika memang lapar. Kecuali di hari pekan, Mida akan menggunakan sesi makan malam untuk mengajak ngobrol Jacky.

    Melihat gelengan itu Mida tersenyum dan mengusap kepala putrinya. Remaja itu tidak menunjukkan respon sama sekali. Mida merasa putrinya lucu dan langsung keluar meninggalkan Jacky menikmati kesendiriannya.

***

    Keesokan harinya, saatnya Jacky untuk presentasi tiba.

    "Jacky. Sudah siap?"

    Pak Raka bertanya.

    "Sudah."

    Jacky berdiri dari bangkunya. Perhatian orang-orang tertuju kearahnya. Dia berjalan dengan tenang menuju meja pak Raka, menyerahkan flashdisk untuk di sambungkan ke laptop kelas. Template yang sudah Jacky siapkan kemarin mucul di papan tulis yang disinari oleh lensa proyektor.

    "Kamu bisa mulai."

    Pak Raka memberi tahu. Jacky mengangguk pelan. Suaranya yang belum pernah terdengar oleh orang-orang didalam kelas akhirnya keluar dari mulut itu.

    Pelajaran PKN, tentang pelanggaran HAM. Jacky menyuarakan segala yang ada di benaknya. Tidak kesulitan melakukan presentasi tanpa sekalipun mencontek tulisan buatannya yang terpapar di dinding kelas. Dengan tenang dan lancar menyelesaikan tugasnya. Matanya bergerak ke setiap anak didepannya. Mempertunjukkan sosok pembicara sejati.

    "Jacquelyn menyudahi presentasinya sampai disini. Sekian terimakasih."

    Jacky mengangguk, menandakan kalau isi presentasinya sudah selesai. Dia menoleh kearah Pak Raka dan menemukan kalau beliau memiliki ekspresi terperangah di wajahnya. Begitupun teman-teman barunya.

    Pak Raka terlihat mendapatkan kesadarannya kembali. "Jacky.. Bapak dengar kamu pindahan dari Medan?"

    Jacky mengangkat alisnya sebelum menjawab. "Iya."

    "Kamu pernah ikut lomba pidato?"

    Anak itu terdiam.

    "Tidak."

    Pak Raka tampak berpikir sembari melihat kearah Jacky. "Kamu baru masuk kemarin? Ini hari kedua ya?"

    Jacky bertanya-tanya kenapa Pak Raka menanyakan itu tapi tetap menjawab. "Iya."

    "Oh." Pak Raka terlihat mendapat ide.

"Jacky. Kamu bapak daftarkan ke lomba pidato ya?"

    Si remaja terperangah. "Saya?"

    "Iya. Mau atau tidak?"

    Jacky terdiam.

    Lomba?

    Sebenarnya tidak ada salahnya. Dia bukan tipe orang yang takut berkompetisi. Tapi dia akan menanyakan pendapat ibunya dulu.

    "Saya pikirkan dulu."

    Pak Raka tersenyum dan mengangguk. "Oke. Ini flashdisknya."

    "Terimakasih." Jacky menerimanya dan langsung kembali ke kursinya. Teman-temannya memandanginya tapi dia tidak peduli.

    "Jacky. Kamu hebat sekali!" Haima berbisik.

    "Daebak."

    "Heol."

    Suara Afra dan Eliza terdengar dari belakang.

    "Jacky."

    Ilya, Via, Dewi, Cessa dan Abigail tersenyum ceria kepadanya. Dewi yang tadi berbisik memanggilnya memberi jempol. Abigail kemudian ikut memberikan dua jempolnya. Teman-temannya yang lain mengikuti.

    Jacky yang menerima perhatian itu terperangah tapi tidak merubah ekspresi datarnya.

    "Sudah-sudah. Kita kembali ke pelajaran."

    Pak Raka mengetuk ngetuk meja dengan buku jarinya.

    Seperti kemarin, Jacky diajak untuk berkumpul disaat istirahat. Teman-temannya memuji muji presentasinya. Meski pendiam, Jacky adalah seorang pembicara yang hebat. Mereka menanti masa depan dimana mereka melihat Jacky menjadi seorang tokoh di Indonesia.

    Jacky seperti biasa tidak menunjukkan respon, membuat semuanya tertawa. Mereka tidak menyangka seseorang seperti Jacky ada. Dia anak yang menarik. Akan seru menjadi teman seorang Jacquelyn Qirani.

    Jacky sedang berdiri di gerbang dengan HP ditangannya. Hendak membuka aplikasi untuk memesan ojek.

    "Hei."

    Ketika dia menoleh, Ivan Dasteen berdiri tinggi disebelahnya.

    "….Ya?"

    Jacky mengerutkan keningnya sedikit. Ivan begitu lekat memandang ke kedua matanya. Dia merasa tidak nyaman. Ini pertama kalinya dia berhadapan langsung dengan laki-laki kecuali ayah dan guru-gurunya. Jacky mundur memperlebar jarak.

    "Apa?"

    Ivan tampak diam memandanginya sebelum menyeringai. Jacky kembali mengerutkan kening melihat perubahan ekspresi itu.

    "Aku melihatmu kemarin. Kau pulang dengan ojek? Aku akan mengantarmu."

Ivan tersenyum lebar dan Jacky terperangah. Terkejut juga dengan gaya bicara angkuh laki-laki itu.

    "Tidak perlu."

    Dia mengembalikan perhatiannya pada HP, menekan tombol pesan.

    Ivan melihat itu dan menegakkan tubuhnya. Ketika Jacky menoleh, anak itu sudah berbalik pergi. Dari tempatnya dia bisa melihat sisi belakang anak itu. Seragamnya berantakan seperti kemarin dan dia tidak membawa tas.

    Beberapa menit berlalu. Ojek pesanannya datang.

    "Jac..quelyn?" Sang ojek bertanya memastikan. Jacky langsung mengangguk dan tanpa mengatakan apapun menginjak injakan motor, mendudukkan dirinya diatas jok.

    Ojek yang dia naiki berjalan mengikuti aplikasi peta di hp yang tertempel di badan stir motor miliknya. Ketika ojeknya mulai memasuki kawasan perumahannya dan jalanan menjadi lebih sepi, Jacky bisa mendengar suara motor lain yang berjalan dibelakangnya.

    "Rumah dinding putih itu pak."

    Bapak didepannya tidak menjawab tapi langsung melajukan motornya menuju rumah Jacky dan berhenti didepannya.

    Ketika Jacky hendak turun, barulah dia menyadari keberadaan laki-laki dengan seragam berantakan, menginjakkan satu kakinya keatas aspal. Helm menutupi wajahnya tapi Jacky bisa mengenali proporsi tubuh dan gaya berpakaian itu.

    "Mari." Ojek tadi berujar sebelum melaju pergi.

    Jacky diam ditempatnya. Memandangi sosok orang yang menduduki motor skuternya dengan bibir yang terbuka sedikit.

    Dua tangan sosok itu bergerak membuka kunci tali helm nya dan menyingkirkan benda pelindung itu dari  kepalanya. Memamerkan wajah dengan senyum nakal. "Jacquelyn. Ini rumahmu?"

    Jacky mengerutkan kening. "Kenapa kau mengikutiku?"

    "Aku tertarik untuk berteman denganmu." Ivan menyeringai.

    Kerutan setia berada di dahi Jacky. "Itu tidak menjawab pertanyaanku."

    "Oh benarkah? Tapi memang itulah alasan murniku."

    Jacky bingung. Ivan tidak mengatakan apapun. Kini keduanya saling bertatapan dalam keheningan. Hanya desir angin sore menjadi background kedua anak itu. Mereka terus bertatapan seolah mereka berada dalam kompetisi.

    "Ha."

    Ivan tiba-tiba terkekeh dan mengalihkan pandangannya ke sebuah mobil mewah di depan sebuah rumah di seberang jalan. Dia mengenakan kembali helmnya dan memutar stir gasnya, memajukan motor skuternya kehadapan Jacky.

    "Sampai bertemu besok, Jacky."

    Laki-laki itu kemudian menggerakan tangannya untuk menurunkan kaca helm sebelum memutar stir gas nya lagi untuk melaju meninggalkan kawasan rumah Jacky. Jacky diam ditempatnya menonton kepergian teman sekelasnya itu. Rasa heran masih ada di benaknya tapi akhirnya dia memutuskan untuk masuk kedalam rumah.

    Ketika Mida pulang, dia melihat Jacky sedang berlutut didepan kardus besar dengan pakaian rumahnya.

    "Cari apa?"

    "Cutter." Jacky menjawab tanpa menoleh kearah Mida sedikitpun.

    "Cutter? Ada tugas?"

Mida bertanya seraya berjalan menghampiri lemari. Dia mengeluarkan cutter berwarna biru muda dengan luaran bening dan memiliki cetakan bunga milik Jacky, hadiah dari temannya dulu

    "Ini."

    Dia menghampiri Jacky dan memberikan cutter itu padanya. Tapi sebelum Jacky bisa menerimanya, Mida menarik tangannya kembali.

    "Untuk apa?"

    Jacky terlihat tidak ingin menjawab. Mida mengangkat alisnya dan teringat kejadian ketika Jacky kecil dulu.

    Remaja itu melihat ekspresi ibunya dan memperoleh sebuah firasat. "Aku bukan anak yang dulu, ibu. Aku tidak akan menggunakan cutter itu untuk hal-hal aneh."

    Menggunakan cutter untuk melindungi diri bukanlah hal yang aneh.

    Mida mendengus sebelum menyerahkan cutter itu yang kemudian diterima oleh Jacky.

    "Ada cerita?" Dia bertanya seraya menonton putrinya menutup kembali kardus didepannya.

    "Tidak." Itu adalah jawaban yang biasa keluar dari mulutnya. Namun kemudian dia teringat sesuatu. "Aku ditawari lomba pidato."

    "Oh?" Mida membulatkan matanya. "Oleh?"

    "Guru PKN."

    Mida terlihat berpikir. "Kamu mau ikut?"

    Jacky mengangkat bahu. "Ikut atau tidak, sama saja."

    Mida mendengus. "Ikut saja. Kapan lombanya?"

    "Tidak tahu. Baru wacana."

    Mida meng-ohkan.

***

    Keesokan harinya, Jacky duduk di bangkunya. Ivan muncul dengan gaya khasnya beberapa menit setelah bel berbunyi. Namun kali ini, begitu laki-laki itu menginjakkan kakinya kedalam lantai kelas, matanya langsung bergerak kearah Jacky. Seringai kemudian terpasang diwajah angkuh itu. Detik selanjutnya dia berpaling dari Jacky dan berjalan ke bangkunya seperti biasa.

    Haima menyadari keanehan itu dan langsung memutar tubuhnya mengamati Ivan yang duduk di bangkunya.

    "Apa? Kalian berteman?" Haima bertanya.

    "Apa?" Afra yang melihat gerak-gerik Haima menaikkan sebelah alisnya. "Kamu melihat kemana. Ivan?"

    "Omg. Jacky, dia mendekatimu?" Eliza terlihat syok.

    Jacky belum sempat menjawab—dan tidak punya niatan menjawab—dan guru masuk kedalam kelas, membungkam mulut semua orang.

    Ketika istirahat, disaat Haima mengajak Jacky untuk berkumpul seperti kemarin-kemarin, sebuah suara familiar menarik perhatian hampir semua orang dikelas.

    "Jacky."

    Ivan berjalan pelan menghampiri Jacky yang kedua lengannya dipeluk oleh Haima dan Afra.

    Jacky memiliki kerutan di keningnya. "Apa?"

    Ivan menyeringai. "Ada yang mau aku bicarakan."

    "Heol."

    "What the fuck."

    "What???"

    Eliza, Haima dan dan Afra bereaksi secara bersamaan.

    Ivan berdecak. "Ikut aku."

    Jacky mengernyit. Tangannya dengan pelan menyentuh saku rok seragamnya. "Kemana?"

    "Ikut dulu saja."

    Merasa tidak punya alasan untuk menolak, akhirnya dia mengangguk. Meninggalkan teman-temannya di kelas mengikuti Ivan.

    Tidak mengetahui suasana apa yang sekarang berlangsung didalam kelas.

***

    Ivan membawanya melewati lapangan, ke bagian belakang salah satu bangunan sekolah. Bangunannya kosong dan tidak digunakan. Terlihat lama. Tidak ada satu murid pun yang ada disana.

    "Ivan." Jacky merasa begitu kaku mengucapkan nama yang belum pernah dia sebut sebelumnya itu. "Mau bicara apa?"

    "Ada yang mau aku tunjukkan." Suara Ivan terdengar dari depan. Anak itu tidak menoleh pada Jacky sama sekali. Akhirnya Jacky bisa melihat sebuah pintu yang sedikit menjorok kedalam di sisi belakang bangunan. Tanpa dia sangka, Ivan menekan kenop pintu dan mendorong buka papan kayu itu. Suara saklar yang ditekan terdengar dan detik kemudian lampu menyinari ruangan, membuat Jacky bisa melihat isi dibalik pintu.

    Dia terdiam memandang pemandangan yang terpapar di visinya. Ada banyak dokumen diatas meja. Spidol, dan alat tulis lain. Serta peta besar yang di paku di dinding.

    Ivan melipat kedua tangannya didepan dada. Terlihat begitu bangga dengan aksinya.

    "...Ini tempat apa? Gudang?" Jacky mengernyit. Bangunan sekolah yang sudah tidak digunakan, dan kini seorang murid laki-laki bernama Ivan Dasteen masuk kedalam ruangan yang ada disana seolah bangunan kosong itu sudah menjadi miliknya seorang.

    "Ini markasku." Ivan menyeringai. "Markas kita."

04/06/2022

Measly033