Secercah cahaya menembus celah sempit gorden yang tidak tertutup rapat menerpa kulit putih bersih dan menyengatnya secara perlahan. Marvin pemilik kulit langsung terlonjak dari kasurnya, mengerjap sesaat kemudian bergegas ke kamar mandi. Cowok itu menyempatkan diri untuk melirik jam yang terpaku di atas pintu kamar mandi. Kakinya seolah mendapatkan dorongan super begitu menyadari jarum jam telah menunjukkan puku 7 pagi sedangkan dia harus masuk kuliah pukul setengah 8 pagi.
Tak butuh waktu lama bagi Marvin untuk bersiap-siap karena dalam waktu kurang dari 20 menit cowok itu sudah menuju ke meja makan. Cowok itu menyantap roti yang sudah tersedia di meja makan dan tak lupa menghubungi kedua orang tuanya yang sedang berada di Amsterdam sebentar. Lalu, cowok itu langsung melajukan mobilnya, berlagak layaknya pembalap yang sudah memenangkan juara dunia 10 kali berturut-turut. Setibanya di kampus, Marvin bergegas menuju ke gedung fakultas kedokteran.
Marvin menyebrangi jembatan yang memisahkan gedung fakultas hukum dengan gedung fakultas kedokteran yang sekaligus merupakan satu-satunya akses jalan menuju ke gedung fakultas kedokteran tersebut. Marvin berlari sekencang-kencangnya menabrak segala sesuatu yang ada di depannya. Cowok itu tidak menyadari bahwa bukunya terjatuh ketika menabrak 2 orang mahasiswa yang sedang berjalan menuju gedung fakultas hukum. Buku tersebut sempat terlupakan, hingga tanpa sengaja seorang gadis mahasiswi hukum pun menemukannya. Gadis itu memungut buku itu, membacanya selama sebelum memasukkan buku itu ke dalam tasnya. "Laura, Hai!" Sapa seorang cowok menghampiri gadis itu. "Hai, Dit! tumben kamu nggak dateng sama Mia. Kemana dia?" Ujar Laura berjalan beriringan dengan Adit masuk ke dalam gedung. "Mia, gak masuk hari ini. dia sakit." Ucapan Adit memutus pembicaraan keduanya di susul dengan kehadiran seorang dosen yang siap menyampaikan materi hari itu.
"Loh Mar, untung aja dosen belum dateng. Mampus Lo kalo sampek dosennya udah dateng." Seorang cowok nyeletuk begitu melihat Marvin masuk kedalam kelas. "Ahh, berisik Lo. Gue kesiangan tau gak. Mana bokap sama nyokap gak balik-balik lagi dari Belanda." Marvin menimpali dengan sewot sembari berusaha mengatur nafasnya agar kembali stabil. "Eh busett dah, bro. Asal Lo itu dari Belanda, jadi daripada dibilang balik ke Indonesia sih mending Orang tua Lo disebut pergi ke Indoseia." Timpal sosok cowok tadi. "Iye iye, Van. Udah ya, lagi males Gwe debat sama Lo." Sosok cowok yang bernama Evan itu akhirnya diam. Tak berselang lama setelah itu, seorang dosen yang dikenal dengan sebutan Bu Ivah pun masuk. Tanpa basa basi pelajaran pun dimulai.
"Mar, nyari apaan sih. Sibuk banget dari tadi." Evan tak tahan melihat temannya yang sibuk merogoh-rogoh tas mencari barang yang entah apa. "Buku Gwe, Buku merah Gwe ilang." Marvin masih sibuk dengan tasnya hingga menarik perhatian Bu Ivah. Marvin terpaksa harus keluar dari kelas sampai jam pelajaran selesai. Cowok itu memutuskan untuk menyusuri setiap koridor dan halaman kampus dibandingkan pergi menghabiskan waktu di cafe dekat kampusnya, tempat dia biasa nongkrong dengan Evan hingga lupa rumah.
Marvin menjelajah kampus itu dan berakhir duduk di cafe. Wajahnya memerah kelelahan. Marvin merogoh kantong celanya, mengeluarkan ponsel dan asik memainkannya setelah memesan segelas cappucino dingin. Sesekali Marvin tertawa membaca komentar-komentar di postingannya. Marvin memanglah anak populer di universitas tempatnya berkuliah jadi tak heran jika dia memposting sebuah foto, maka ribuan orang akan menyerbunya dengan like dan komentar sama halnya dengan semut mengerubuti gula. "Dengan Marvin Gilbert Matthew? Benar?" sosok wanita menyapanya. Wanita tersebut adalah Laura, gadis yang memungut bukunya. "Iya, Ka-" Belum sempat Marvin menyelesaikan kalimatnya, Laura telah lebih dulu menginterupsinya. Gadis itu menyodorkan buku merah yang sedari tadi dicari oleh Marvin "Ini buku kamu tadi jatuh." Ujar gadis itu sembari meninggalkan Marvin mengerjap tak dapat berkata-kata.
Dengan kepopuleran dan ketampanannya Marvin nyaris gagal untuk mendapatkan perhatian bahkan sorakan dari para gadis. Barang jatuh atau hilang, boro-boro bakal dibalikin. Para gadis-gadis kampus akan langsung berebut untuk membawanya pulang untuk disimpan layaknya sebuah benda bersejarah. Baru kali ini, Marvin merasa tak dianggap oleh seorang wanita. Seolah-seolah kepopuleran Marvin tak ada apa-apanya di matanya.
"Woy, tunggu. Siapa nama lo?" Teriak Marvin sebelum Laura menghilang ditelan pintu. "Apa pentingnya buat lo." Laura berujar sarkas tanpa emosi dan lanjut berjalan begitu saja.
"Gila, itu cewek vampir apa gimana sih. Datar banget kek gak punya hati." Oceh Marvin membuat Evan yang sedari tadi memperhatikannya dari kejauhan tertawa terbahak-bahak. "Santai dong. Baru kali ini gwe tau kalo seorang Marvin hobi ngoceh kayak ayam." Evan menyindir membuat Marvin menyiramnya dengan segelas air putih saking kesalnya. "Busettt dah Vin. Ini gwe, Evan. Dikira gwe taneman apa main siram-siram aja." Tak mau kalah Evan turut merenggut air yang ada divas dan menyemburkannya pada Marvin. Namun, Marvin telah lebih dulu lari sehingga Evan pun harus mengejarnya. Aksi kejar mengejar itu bahkan sampai ke halaman kampus.
Marvin yang sedang fokus menghindari Evan pun tak sengaja menabrak seseorang yang tengah berjalan. Keduanya terhuyung jatuh. Evan yang menindih badan orang itu pun segera sadar dan berdiri, lantas mengulurkan tangan berusaha membantu orang tersebut. Namun, dirinya kontan dibuat melotot tat kala mengetahui orang yang ditabraknya adalah Laura, gadis yang tadi mengembalikan bukunya.
"Eh, maaf maaf. Kamu yang tadi kan? Yang ngembaliin buku merah aku." Marvin pun membantu Laura berdiri. "Iya." Jawab Laura singkat "Boleh kenalan nggak?" Sekali lagi Marvin mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Laura. "Laura, maaf tadi aku buru-buru. Aku nggak sempat jawab." Laura meraih tangan Marvin keduanya berjabat tangan bersamaan dengan Evan yang langsung mengguyurkan air ke arah keduanya. Membuat baik Laura maupun Marvin basah seketika. "Evan, resek banget sih lo." Bentak Marvin berusaha mengeringkan baju Laura yang basah. Laura yang pada saat itu menggunakan baju putih pun khawatir jika lekuk tubuhnya akan tembus pandang. Melihat Laura yang kebingungan, Marvin pun berinisiatif untuk melepaskan hoodienya dan memberikannya pada gadis itu.
"Kamu, pakai itu dulu ya. Maaf, gara-gara ulah temenku yang sialan itu kamu jadi basah." Tanpa perintah Marvin menyelimutkan hoodienya pada Laura. Pipi gadis itu memerah terbakar ketika Marvin nyaris saja memeluknya. Bahkan begitu dekatnya hingga hidung keduanya nyaris bersentuhan.
"Nah, kalau gini. Kamu bisa balik kuliah lagi. Walaupun hoodieku agak sedikit basah, tapi nggak sebasah bajumu kok. Mungkin bisa membantu." Marvin tersenyum syarat akan persahabatan. "Makasih, vin. Oh ya, aku balikin ini besok ya." Marvin langsung memotong "Okay.".
"Ya udah, kalau gitu aku ke kelas dulu." Laura pergi meninggalkan Marvin yang langsung memburu keberadaan Evan. "Widihhh ada yang mulai pensiun jadi PlayBoy nih." Langkah Marvin berhenti, menoleh ke sela-sela mobil yang terparkir. Dengan geramnya Marvin memukul bahu Evan sedikit agak keras hingga cowok itu mengernyit kesakitan. "Sindirr teroooss." Ketus Marvin. "Ye, lah emang iya kan. Itu tadi apa?" Evan makin mencibir "Baru kali ini loh, gwe lihat seorang Marvin yang terkenal F*ckboy tiba-tiba minjemin hoodie ke seorang cewek.".
"Ya kan dia tadi basah. Lagian dia baik kok." Evan terkesiap "Maksud lo baik, Vin.". Marvin menaikkan salah satu alisnya melihat Evan yang bereaksi seolah mendengar bisikan setan "Idih, kayak sakral banget ya kata baik terucap dari mulut gwe.". "Emang." Marvin langsung menabok mulut Evan seketika "Gwe serius, Evan. Dia baik. Dia yang tadi balikin buku merah gwe yang jatuh.". Evan hanya mengangguk lengkap dengan kata khas berupa huruf o yang selalu keluar setelah sebuah pernyataan terlontar.
"Tapi itu cewek tadi kenapa takut banget ya basah." Marvin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Yaelah, vin. Itu cewek kan pakek baju putih. Ya wajarlah pani. Entar dalemannya tembus pandang kan malu. Geblek banget sih jadi orang." Belum sempat mulut Evan mengatup, Marvin telah lebih dulu menghujaninya dengan jitakan dikepala. Evan tak melawan, hanya mengerang kesakitan.
"Vin, besok minggu nih, Lo pergi ke gereja nggak?" Evan mengalihkan pembicaraan. "Menurut Lo?" Marvin memicingkan matanya dengan sewotnya berjalan menuju mobil. Belum sempat cowok itu membuka pintu, matanya teralihkan ke arah Laura yang nampak membaca sebuah buku yang asing bagi Marvin. Cowok itu berniat menghampirinya, namun urung dan lebih memilih untuk memperhatikan gadis itu dari kejauhan.
Satu detik dua detik berlalu, Marvin tak kunjung memalingkan pandangannya, sekilas terbesit kata kagum yang entah dari mana asalnya dalam diri Marvin. "Vin, Marvin Marvin Marvin, wey. Kalo kesambet jangan di siang bolong dong, woy." Evan menepukkan tangannya di depan mata Marvin, membuat pria itu kontan tekejut mengatupkan matanya dan membukanya lagi sepersekian detik setelahnya. "Ciee, ada yang lagi diem-diem suka, nih." Cibir Evan. "Nggak, idih ngaco Lo. Seorang Marvin menjatuhkan hati orang bukannya jatuh hati." Marvin lanjut masuk ke dalam mobilnya "Vin, Lo bilang kayak gitu, kena karma aja mampus Lo." Ucap Evan sembari ngibrit mengikuti Marvin masuk ke dalam mobil.
"Van, makan siang dulu yuk. Apa nongkrong kek." Serupa aba-aba, Marvin menepikan mobilnya di salah satu cafe yang agak jauh dari kampus. Kebetulan cafe itu dekat dengan gereja, sedikit aneh tapi gereja itu berseberangan dengan Masjid. "Van, gwe ke gereja dulu ya. Mau ikut nggak." Evan melirik heran pada Marvin "Ngapain Lo ke gereja, perasaan minggu masih besok deh.". "Ye, emangnya kalo ke gereja harus minggu. Lagian ya wajarlah gwe ke gereja yang aneh itu kalo gwe ke masjid." Evan malah meraih daftar menu dan mengabaikan ujaran sewot Marvin. "Yaelah, malah dikacangin lagi gwe. Van, woy." Cowok itu menarik nafas dalam menghadapi kelakuan sahabatnya yang malah fokus membaca "Awas aja ya lo, ntar minta gwe bayarin makanan lo." Marvin berujar sewot dan melangkah ketus menuju ke gereja. Cowok itu tak mempedulikan Evan sama sekali ketika dia meminta Levin untuk mentraktirnya.
Marvin mulai menelusuri setiap sisi gereja itu. Tak banyak orang yang berada disana, sehingga Marvin dapat dengan leluasa menyusuri unsur-unsur bangunan itu. Matanya mulai mengelilingi atap-atapnya hingga di satu titik matanya bertemu pada sebuah simbol bulan dan bintang diatas kubah masjid. "Nak, jika mau berdoa, maka silahkan. Jangan hanya berkeliling seperti itu." Seorang kakek tua membuat Marvin terkejut dengan tegurannya. "B-Baik kek." Marvin merogoh sakunya, mengeluarkan seutas benang berisi manik-manik putih melingkar dengan liontin yang biasa disebut dengan salib. Benda yang biasa disebut rosario itu pun di genggamnya sembari duduk merapalkan bait-bait doa.
"Hi, Adit. Udah nunggu lama." Ditengah khusyuknya Marvin berdoa, samar dia mendengar suara yang tidak asing baginya. Marvin terburu-buru menyelsaikan doanya dan kemudian menoleh ke belakang mencari sumber suara yang tadi didengarnya. Sekilas bayangan Laura bersama dengan seorang pria melintas terlihat melalui pintu gereja yang tidak tertutup. Marvin bergegas berlari menyusul gadis itu. Namun sayangnya Laura tak terkejar, gadis telah sepenuhnya menghilang begitu Marvin sampai di halaman gereja. "Vin, Lo lama banget sih." Evan berteriak dari kejauhan "Gwe udah pesenin Lo gelato mocha, keburu leleh lagi ntar.". Marvin diam sejenak, hanya matanya yang melotot lalu balas menjawab Evan "Maksudlo. Enak aja sih Lo. Main mesen-mesenin orang tanpa izin. Parah." Marvin langsung ngibrit mengejar Evan begitu cowok itu melengos tanpa sepatah katapun.
Marvin dan Evan menghabiskan harinya di cafe itu hingga senja mulai menampakkan diri, barulah Marvin mengantarkan Evan pulang ke rumahnya. Pulang dari rumah Evan, Marvin tak langsung pulang. Cowok itu menyempatkan diri mampir ke toko alat musik untuk membeli sebuah gitar baru. Marvin memang belum terlalu mahir dalam bermain gitar namun itu adalah hobinya. Cowok itu sudah memiliki 2 gitar dirumahnya, namun entah kenapa dia ingin membeli gitar baru sore ini.
Hampir satu jam cowok itu habiskan untuk memilih gitar yang ingin dia beli. Setelah begitu lamanya memilih, Marvin pun memutuskan untuk membeli sebuah gitar akustik berwarna krem. Selesai membayarnya, Marvin bergegas menuju mobilnya dengan sedikit perasaan riang. Namun entah takdir atau kebetulan apa, disaat Marvin menginjakkan kakinya keluar pintu toko, dia berpapasan lagi dengan Laura. "Hi, Marvin." Sapa Laura begitu melihat Marvin.
"Hi, Kamu kok bisa ada disini?" Marvin menjawab canggung. "Ini tempat umum Marvin, wajar kalo aku kesini. Kebetulan aku mau beli starbucks yang ada di depan itu." Mata Marvin mengekori arah telunjuk Laura yang bermuara pada sebuah gedung tak bertingkat yang dipenuhi cahaya lampu terang. "Kamu baru beli gitar?" Marvin terkekeh sebelum menjawab "Iya nih. Lagi pengen.".
"Oh wahh, kamu bisa main gitar?" Mata Laura sedikit berbinar kagum. "Ahah nggak kok, masih amatir. Btw, kamu suka dengerin orang main gitar?" Marvin balas bertanya. Laura tersenyum tipis lengkap dengan lengkung matanya yang menambah senyumnya makin manis di mata Marvin "Iya, aku juga pengen bisa main. Tapi, sayangnya gak ada yang bisa ngajarin aku main gitar.". "Aku bisa mainin sedikit lagu, kalau kamu mau." Ucapan Marvin berbalas anggukan dari Laura. Keduanya pun akhirnya memutuskan mengobrol sembari berjalan menuju ke kedai starbucks yang tadi ingin Laura tuju.
Laura dan Marvin mulai akrab satu sama lain, namun sayangnya pembicaraan mereka harus terhenti. Laura menerima panggilan ibunya yang memintanya untuk segera pulang. Gadis itu menurut, berpamitan pada Marvin berlari menembus dinginnya malam. Marvin memperhatikannya dari jauh, berusaha menggerakkan badannya untuk membuntuti gadis itu. Namun tubuh Marvin beku, niatnya itu pun terinterupsi. Malam itu adalah malam pertama bagi Marvin, tertidur berteman bayangan gadis cuek namun memiliki hati selembut salju yang dia kenal sebagai Laura.