"Mau ke mana, Kak? Tumben hari libur rapih gini." Sapaan pertama dari Bunda saat aku baru saja bergabung di meja makan untuk sarapan pagi.
"Ke sebelah, Bun," jawabku sambil mencomot kuning telur dari piring adikku.
"Ngapain?" suara Ayah menyahuti.
"Gak tahu, Yah. Disuruh Mama Eka ke sana," kataku.
Aku menyendokkan sedikit demi sedikit nasi goreng buatan Bunda ke dalam mulut. Masih terngiang jelas perkataan Mama Eka saat di toko kue kemarin.
Aish. Yang benar saja aku di sandingkan dengan Dewa. Pria terdingin yang pernah ada. Gak kebayang bagaimana kalau aku sama Dewa bener jadian. Ah, tidak.
Aku menggelengkan kepalaku. Mengeyahkan pikiran tentang si Dewa-Dewa itu.
"Gak enak, Kak?" pertanyaan Bunda membuatku menatapnya bingung.
"Itu loh, Kak, nasi gorengnya Bunda gak enak?" tanya Alan -adikku- menjawab kebingunganku.
"Oh, ini, enak kok. Kenapa, Bun?"
"Enak, tapi makannya kok begitu, Kak? Sambil geleng-geleng kepala segala. Bunda kira Kakak gak suka," ujar Bunda terdengar sedih.
Aku hanya terkekeh kaku. Astaga. Bisa-bisanya aku tidak tahu tempat begini.
***
Aku memasuki rumah tetangga, ehm maksudku rumahnya Mama Eka.
"Non Nindi langsung ke dapur aja, Ibu yang suruh," ujar Bi Imah, asisten rumah tangga yang membukakan pintu untukku.
Aku mengangguk kemudian melangkahkan kaki ke dapur yang terletak di sebelah kiri sudut dari rumah ini. Aku melihat Mama Eka sedang asyik berkutat dengan alat tempurnya di dapur.
"Ma," sapaku.
Aku berjalan menghampiri Mama Eka. Ia tersenyum menyambutku. "Cindy udah berangkat ke toko?" tanyaku saat aku berdiri di sebelahnya.
"Udah, baru aja dia pergi. Telat beberapa menit doang kamu, Nin."
Aku hanya mengangguk-angguk saja. "Bubur buat siapa? Papa sakit?" tanyaku lagi saat melihat Mama Eka sedang menyendokkan bubur ke dalam mangkuk.
"Bukan Papa yang sakit, tapi Dewa. Mungkin efek perubahan cuaca kali ya?"
Oh, Dewa.
Ya, mungkin saja dia sakit karena itu. Mengingat dia baru kembali ke rumah ini kemarin sore.
"Iya, Ma. Efek pergantian musim dari Jepang ke Indonesia begitu," sahutku.
Mama Eka mengangguk membenarkan ucapanku. "Tiap pulang selalu aja jatuh sakit," keluhnya. Aku tersenyum.
"Bu, ada telepon dari Non Cindy, suruh telepon balik. Katanya di telepon ke ponsel Ibu gak di angkat." Kehadiran Bi Imah menghentikan langkahku dan Mama Eka saat beranjak dari dapur.
"Oh, iya ponsel saya ada di kamar."
"Nin, tolongin Mama anterin buburnya ke kamar Dewa ya. Mama mau telepon Cindy sebentar. Paksa Dewa makan ya, Nin. Dia belum makan dari tadi malam." Nampan yang tadinya berada di tangan Mama Eka dipindahkan ke tanganku.
Dengan berat hati aku menaiki tangga menuju kamarnya Dewa. Pasti akan canggung rasanya. Mengingat hampir empat tahun aku dan Dewa tidak pernah bertemu karena ia kuliah di Jepang. Dan kalaupun ia pulang ke Indonesia juga kami tidak pernah bertemu. Karena tidak ada alasan untuk itu.
Aku mengetuk pintu kamar Dewa. Setelah mendengar sahutan dari dalam yang mengatakan 'masuk', aku membuka pintunya perlahan, takut nampan yang sedang kubawa oleng dan terjatuh.
Pandangan pertama yang aku lihat adalah tubuh lelaki yang sedang terbaring di atas ranjang. Matanya ia tutupi dengan lengan kekarnya.
Ah, sialan.
Ternyata dia tidak memakai atasan apapun. Pakai singlet atau apa kek. Biar mata polos ini tidak ternoda.