webnovel

Membekuk Tukang Santet

Meskipun Jakarta sebuah kota metropolitan tetapi masih banyak pasar tradisional. Keberadaan pasar tradisional di ibu kota seakan tak terpengaruh dengan dibangunnya pusat-pusat perbelanjaan seperti mal dan supermarket. Mengapa pasar tradisional bisa bertahan? Karena masyarakat masih sangat membutuhkannya. Pasar tradisional menjual kebutuhan sehari-hari, terutama kebutuhan dapur, dengan harga murah. Yang diperdagangkan mulai dari beras, sayur, daging, ayam, buah, bumbu dapur, dan sebagainya. Ada juga kios-kios pakaian dan emas. Pasar tradisional hanya ramai di pagi hari, selebihnya sepi. Kunci belanja di pasar tradisional adalah kepandaian menawar. Hanya saja pasar tradisional biasa kumuh, apalagi saat musim hujan. Selain itu masih ada preman yang suka memalak pedagang, dengan alasan uang keamanan atau uang jago. Padahal yang dimaksud uang keamanan itu bukannya si preman mengamankan dari gangguan pihak luar, tetapi gangguan dari mereka sendiri. Dasar preman!

Demikian juga dengan Pasar Palmeriam yang tidak jauh dengan rel kereta api. Preman pasar itu dipimpin Kodet, lelaki krempeng yang tubuhnya penuh tato. Bahkan ada tato bergambar kecoa. Kodet memiliki empat anak buah, yaitu Blengur, Sidik, Jongki, dan Kondor. Katanya, Kodet itu anak orang kaya yang salah asuh sehingga menjadi seperti itu. Bersama anak buahnya mereka selalu pesta minuman keras di rumah Blengur yang dijadikan markas. Sebelumnya pedagang Pasar Palmerah tidak begitu ambil pusing dengan keberadaan mereka, karena dengan memberi uang recehan gerombolan Kodet tidak mengganggu. Belum lama beredar berita kalau Kodet belajar ilmu santet. "Jangan menanggapi Kodet. Bairkan saja dia berulah asal tidak menyakiti orang," kata Pak Haji Tiro, tetua pasar. "Paling dia memiliki maksud-maksud tertentu."

Apa yang dikatakan Pak Haji Tiro terbukti. Karena akhir-akhir ini, dengan beralasan dampak dari kenaikan BBM, Kodet cs hendak menaikkan uang jago. Mereka sudah tidak menerima uang receh lagi, harus uang kertas. "Bukankah markas kalian dekat sehingga tidak perlu bensin untuk datang ke pasar?" protes Bang Sinaga, pedagang buah tomat.

Blengur mengancam, "Bang Naga pingin disantet, ya! Oke, akan kulaporkan pada Bos Kodet!"

Tampaknya bukan hanya ngibul saja. Ketika Bang Sinaga memotong kambing, untuk aqeqah anaknya, di dalam perut ada sebuah radio kecil. "Orang yang memotong kambing itu menemukan radio dua band di dalam perutnya," seru Kondor. Oleh anak buah Kodet perihal radio di perut kambing disebarkan ke mana-mana. Kadi dan Tirto menceritakan kehebatan si Kodet kepada Snot dan Agib. Kadi memang tinggal tidak jauh dari Pasar Palmeriam, demikian juga Tirto. Mengapa mereka sekolah di SD Negeri 13? Karena sekolahan mereka adalah sekolah percontohan. Mendengar cerita itu Snot tertawa. Baginya itu lucu sekali dan sangat menggelitik untuk diselidiki. Iseng-iseng Snot mendatangi tetangganya, yaitu Pak Bejo yang selama nyambi sebagai paranormal. Padahal Pak Bejo sendiri guru fisika di sebuah SMP. "Apakah santet itu betul ada, Pak?" tanya Snot.

Pak Bejo tidak membantah keberadaan santet. "Sebetulnya santet itu peristiwa alam yang dibesar-besarkan. Santet hanyalah sebuah perubahan fisika. Hanya saja santet lakukan olah orang-orang jahat untuk mencelakai orang lain."

"Apakah dibantu setan?" tanya Snot.

"Berniat menyakiti orang lain sudah menadi temannya setan. Untuk kejahatan setan akan senang membantu," jawab Pak Bejo. "Dulu para ahli nujum atau tukang sihir memiliki cermin atau kristal untuk melihat kejadian di tempat lain. Bandingkan sekarang dengan televisi. Jadi ahli nujum itu sudah menguasai gelombang elektromagnetik yang selanjutnya ditransfer ke cermin ajaib atau kristalnya."

Lalu Pak Bejo menerangkan tentang santet. "Santet adalah mengubah benda materi menjadi non-materi, setelah yang non-materi itu dimasukkan ke dalam tubuh orang lalu diubah lagi menjadi benda materi." Snot menyeringai mendengar penjelasan yang sulit itu. Pak Bejo tertawa, lalu menerangkan dengan contoh, "Pinsil adalah benda padat. Oleh dukun santet pinsil itu diubah menjadi udara. Lalu, udara itu dimasukkan ke dalam paru-paru orang yang diserang. Setelah masuk ke paru-paru maka pinsil itu diubah lagi menjadi pinsil. Dengan begitu di paru-paru ada pinsilnya."

****

Dengan bantuan Tirto dan Kadi, Snot mencari orang yang pertama kali menyebarkan isu santet Kodet. "Radio dua band di perut kambing bukanlah isu. Tetapi betul-betul nyata," kata Cemlo.

"Apakah Bang Cemlo melihat dengan mata sendiri radio itu dikeluarkan dari lambung kambing Bang Sinanaga?" tanya Tirto.

Cemlo tidak langsung menjawab, berpikir sejenak lalu berkata, "Aku melihat radio itu masih belepotan intil." Intil adalah tahi kambing, bentuknya bulat-bulat sebesar kacang atom. Hanya kambing dan kelinci yang kotorannya berbentuk seperti itu. Kotoran kerbau, sapi, dan kuda yang juga pemakan rumput, kotorannya tidak bulat-bulat kecil. Apakah di dalam perut kambing ada cetakannya?

"Siapa yang memotong kambing Bang Sinaga?" tanya Snot.

Cemlo menjawab, "Pak Singgar!" Menurut keterangan Kadi dan Tirto, Cemlo sedang mengadakan pendekatan kepada Kodet. Cemlo tipe seorang penjilat dan ingin diambil anak buah oleh Kodet. Bila sudah menjadi anak buah Kodet maka akan ketularan sangar sehingga ditakuti orang. "Teman Kodet, lho, jangan diganggu!" kira-kira begitu pikiran Cemlo.

Snot menanyakan si pemotong kambing, "Bagaimana dengan Pak Singgar? Apakah dia anak buah Kodet?" Snot curiga, jangan-jangan Pak Singgar yang menyembunyikan radio di lambung kambing. Setelah itu dia berteriak-teriak menemukan radio dalam tubuh kambing itu. Pak Singgar ternyata bukan orang Kodet. Bila begitu bagaimana radio bisa masuk ke dalam perut kambing itu? Apa benar kata Pak Bejo tentang santet? Cipo sampai susah tidur memikirkannya.

Beberapa waktu kemudian Snot mendapat laporan dari Tirto, telah terjadi perkelahian antara Kodet dan Sinyong. Gara-gara Sinyong tidak mau memberi upeti. Kodet dihajar sampai mukanya lebam-lebam. Seperti dulu, Kodet mengancam akan menyantet Sinyong. Di hari berikutnya kucing Sinyong mati dan ditemukan Kandar. Oleh Kandar perut kucing itu dibelah dan ditemukan batu baterai di dalamnya. Orang pun heboh lagi. "Yang diancam Sinyong, tetapi kenapa yang mati malah kucingnya?" tanya Snot.

Tirto yang suka cerita misteri menjawab, "Mungkin Bang Sinyong terlalu sakti. Tidak mempan disantet lalu kena keluarganya."

"Kamu pikir kucing itu adik kandungnya?"

"Tapi kucing itu milik Bang Sinyong, jadi sudah menjadi anggota keluarganya," kata Kadi ikut-ikutan. Agib sampai bengong-bengong mendengar keterangan Kadi.

Meskipun Kandar bukan anak buah Kodet, Snot curigai kalau dia disuruh Kodet. Snot menemui Kandar dan menanyakan keberadaan batu baterai yang ada di perut kucing, "Bang Kandar, mana batu baterai santet itu?"

"Sudah kubuang," kata Kandar.

Snot bertanya lagi, "Kira-kira batu baterai bekas atau baru?"

"Baru, eh, bekas!" jawab Kandar.

Dia tidak sadar kalau pertanyaan Snot hanya memancing. Mengapa tahu bahwa itu batu baterai baru kalau bukan Kandar yang meletakkan di perut kucing? "Mengapa batu baterai itu dibuang?"

"Mana aku tidak jijik melihat batu baterai itu, belepotan kotoran kucing," jawab Kandar.

"Tapi mengapa Bang Kandar tidak jijik membelah perut kucing? Itu tidak lazim," kata Snot.

Kandar menjawab sambil mendelik matanya, "Aku hendak membuktikan ancaman Kodet pada Sinyong. Bukankah dulu dia mengirim santet radio kepada kambing Bang Sinaga?" Wah, Kandar pintar berkelit juga.

Mayor Dud sempat memprotes Snot yang ngurusi santet. "Untuk apa menggubris santet! Kurang pekerjaan saja!" kata Mayor Dud. "Bisa-bisa Detektif Topi Merah jadi tim pemburu hantu!"

Snot tertawa dan menjawab, "Sekali-sekali mengurusi yang aneh-aneh, boleh dong! Saya curiga santet itu hanya akal-akalan Kodet saja. Dengan demikian begitu Kodet akan semakin berpengaruh sebagai preman pasar."

Ketika di sekolah Tirto bercerita Pak Ponijan perutnya kembung setelah bertengkar hebat dengan Kodet. Tentu saja orang-orang pasar menganggap itu ulah Kodet. Orang semakin takut saja kepada Kodet dan gengnya, sehingga pedagang memberi upeti sesuai permintaan mereka. Tetapi beberapa hari kemudian Pak Ponijan sudah sehat.

"Perut Pak Ponijan sudah sembuh!" kata Kadi. "Santet Kodet sudah diambil lagi."

"Kamu jangan mengada-ada," kata Snot, lalu minta diantar menemui Pak Ponijan.

Pak Ponijan tertawa ketika ditanya tentang santet di perutnya. "Siapa bilang aku kena santet? Perut saya kembung itu benar, karena masuk angin dan beberapa hari tidak bisa kentut! Setelah dibawa ke dokter dan diberi obat sembuh."

Hanya saja tidak lama kemudian ada kehebohan lagi. Ada ayam mati tapi bukan karena flu burung melainkan kena santet. Karena di dalam tubuh ayam tersebut ditemukan sebuah batu bata yang masih utuh. Sebelumnya, dua hari sebelum kematian ayam itu, Bang Klobot pemilik ayam itu berkelahi dengan Kodet. Bagi Snot berita ayam kena santet inilah yang paling menggelikan dan paling tidak masuk akal. Mana mungkin batu bata utuh bisa masuk ke tubuh ayam? "Kalau cuwilan atau pecahan batu bata, sih, masih mending," kata Snot. "Bagaimana bentuk ayam itu ketika ada batu bata di tubuhnya."

"Tapi katanya batu bata itu berlumuran darah ayam," kata Tirto, si pembawa berita. .

"Mudah saja melumuri batu bata itu dengan darah ayam. Siapa yang memotong ayam itu?" tanya Snot.

Tirto menjawab, "Karsono Gareng."

Karsono Gareng pun bukan anak buah Kodet. Bisa jadi Karsono Gareng hanya iseng belaka. Atau dia punya tujuan lain, memprovokasi warga untuk menghajar Kodet. Tetapi Pak Haji Tiro mencegah warga yang hendak bermain hakim sendiri. "Tetapi awas kalau sampai ada yang mati kena santetnya. Kodet pun harus mati!" ancam warga.

****

Bila Snot sibuk dengan santet maka Vista dan Rivo sedang menyelidiki raibnya halte di pinggir jalan bypass Tanjung Priok – Cawang. Tepatnya di Jl. Ahmad Yani. Halte itu bagian atapnya sudah hilang sehingga penunggu bus atau kendaraaan umum lain tidak bisa berteduh dari hujan atau panas. Letak halte iu memang sepi, apalagi kalau malam hari karena tidak ada pemukiman di dekatnya. Belakang halte itu tembok tinggi Lapangan Golf Rawamangun. Halte itu juga tidak jauh dari Pintu Tol Rawamangun. "Lihatlah, tinggal tiang-tiangnya saja!" ucap Rivo.

"Mungkin sengaja dibongkar," ujar Vista. Halte itu tinggal dua tiang besinya.

Rivo berkata, "Kalau sengaja dibongkar pasti sekalian dengan tiang besinya. Tapi yang ini hanya atapnya." Vista memikirkan kata-kata Rivo. Benar juga, kalau halte itu sengaja dibongkar pasti bukan hanya atapnya yang diambil

"Kira-kira siapa pencurinya, ya?" desis Vista. Ketika persoalan halte disampaikan kepada Snot, saudara kembarnya itu tidak tertarik.

"Itu bukan persoalan misterius, saya tidak tertarik," ujar Snot, sombong. Malah Snot menantang untuk berlomba membongkar kasus masing-masing. "Kamu menyelidiki halte itu, saya ngurusi santet Kodet!" Vista hendak mengajak Mayor Dud untuk memecahkan teka-teki pencurian halte. Tapi dicegah Snot, "Jangan ganggu dulu. Biar Om Dud mengurusi perusahaan mienya!"

Vista menahan jengkel kepada Snot. "Huh! Tahu begitu saya tidak akan menceritakannya padamu," sungut Vista. "Saya bisa menyelidiki sendiri."

Ketika bertemu Rivo, Vista bertanya, "Kamu mencurigai siapa?"

"Pemulung!" jawab Rivo.

"Saya juga berpikiran sama," kata Vista. Mengapa mencurigai pemulung? Karena pemulung sering mengincar besi-besi tua. Harga besi paling mahal dibanding benda-benda bekas ainnya. "Tapi kalau itu ulah pemulung maka tiang besi itu juga akan diambilnya." Vista jadi ragu-ragu dengan kesimpulan mereka.

Rivo menyahut, "Dengan mengambil sebagian maka lebih mudah. Apalagi atap dan tiang halte hanya disambung dengan mur. Bukan las. Sedangkan tiangnya dicor semen sehingga lebih susah diambil." Beberapa hari kemudian Rivo membawa berita baru tentang halte itu. "Tiang halte itu kini tinggal sejengkal! Tiang itu dipotong!"

"Jadi tiang itu tinggal satu?" tanya Vista.

Rivo menjawab, "Bukan! Kedua tiangnya dipotong. Saya lihat ada bekas gergajian," kata Rivo.

Siangnya sepulang sekolah mereka melihat keadaan halte itu. Memang ada bekas luka gergaji. "Ditilik dari luka gergajian tampaknya tidak dilakukan sekali waktu, tetapi dilakukan berkali-kali," kata Vista. Luka lama ketahuan karena sudah mulai ada karat.

"Tidak bisa sekali potong. Tiang ini lumayan besar. Untuk memotong pipa besi kecil saja papa saya butu waktu berjam-jam. Jadi diperlukan waktu berhari-hari untuk memotong tiang ini."

"Bukan berhari-hari. Tetapi bermalam-malam. Karena dilakukan di malam hari," tukas Vista.

"Terserah kamu, Vis!" seru Rivo. "Tampaknya kita tidak bisa menangkap pencuri halte itu."

Vista menimpali, "Mau menangkap bagaimana? Bukankah mereka bekerja malam hari, sementara kita mana berani malam-malam keluyuran ke sini untuk mengintai? Bisa-bisa kita sendiri yang dintai kuntilanak. Saya rasa ini ulah pemulung."

Rivo mengangguk, "Saya kira juga begitu."

****

Bagaimana perkembangan penyelidikan Snot tentang santet Kodet? Dari awal Snot sudah tidak percaya kalau radio, batu baterai, dan batu bata itu dilakukan Kodet dengan sihirnya. Tetapi itu hanya trik saja oleh kelompok Kodet. Snot mengajak Agib untuk membongkar rahasia itu. "Saya yakin itu hanya sandiwara saja," kata Snot.

"Rencanamu bagaimana?" tanya Agib.

"Menjadikanmu tukang santet," jawab Snot.

"Menjadikan saya tukang santet? Bagaimana caranya?" tanya Agib, penasaran.

Snot menerangkan, "Kamu yang jadi dukunnya. Kamu pura-pura berantem dengan Tirto dan Kadi. Kamu kalah dan mengancam menyantet mereka berdua."

"Setelah itu?" tanya Agib.

"Setelah itu terserah saya," bisik Snot.

Agib bengong mendengar rencana Snot. "Bagaimana kalau saya nanti dikejar-kejar orang karena dianggap tukang santet beneran?"

"Mana mungkin? Orang paling berpikir kita bermain sandiwara. Dengan sandiwara ini orang-orang pasar akan sadar kalau Kodet hanya bersandiwara. Seperti kita," kata Snot. Rencana itu juga disampaikan kepada Tirto dan Kadi. Malah Snot menitipkan ayam dan bebek kepada mereka berdua. Sesuai rencana Agib berkelahi dengan Tirto dan Kadi. Itu dilakukan di dekat Pasar Palmeriam. Begitu lewat di jalan yang biasa dipakai nongkrong orang-orang pasar, tiga teman Snot itu berantem cukup seru. Agib dikerubut oleh Tirto dan Kadi. Perkelahian mereka dipisah oleh orang-orang yang berada di tempat itu.

"Awas! Akan kusantet kalian berdua. Saya tidak main-main!" ancam Agib kepada Tirto dan Kadi. Tetapi gara-gara main sandiwara itu jidat Agib menjadi memar betulan. Pukulan Tirto terlalu keras mengenainya.

"Santet? Mana mungkin kamu bisa menyantet!" ejek Tirto. "Memangnya kamu Bang Kodet!" Tapi berkali-kali Agib mengancam akan menyantet mereka.

Sehari setelah perkelahian palsu itu Snot mendatangi rumah Kadi. Bersama Kadi memotong ayam kampungnya. Ketika membersihkan isi perut ayam itulah Snot berteriak-teriak, "Ada pisau berkarat di perut ayam!"

Kadi ikut berteriak-teriak, "Ada pisau berkarat di perut ayam yang dipotong! Ada pisau berkarat di perut ayam! Saya dikirim santet oleh Agib!"

Orang-orang segera mengerumuni mereka. Snot menunjukkan sebilah pisau berkarat yang belepotan kotoran ayam. "Pisau ini kutemukan di usus ayam!" kata Snot. "Ketika membersihkan usus ayam dari kotorannya saya temukan pisau ini."

Gemparlah orang-orang akan penemuan itu. "Gila, kecil-kecil Agib sudah bisa menyantet!" seru beberapa orang, kagum campur heran. Kegemparan semakin bertambah ketika hari berikutnya ditemukan batu kali sebesar kepalan tangan orang dewasa perut bebek Tirto. Lagi-lagi Snot yang menemukannya. Orang-orang jadi heran atas kejadian-kejadian aneh itu.

Tetapi Agib, Tirto, Kadi, dan Snot dipanggil Pak Haji Tiro. Ditanyai perihal santet itu. "Itu hanya sandiwara kami, Pak Haji. Menirukan Kodet," kata Snot.

"Menirukan Kodet?" tanya Pak Haji Tiro, yang menahan tawa.

"Ya!" jawab Snot. "Saya curiga apa yang diancamkan Kodet hanyalah bohong belaka. Sama seperti yang kami lakukan ini. Kalau Pak Haji tidak percaya panggil saja Pak Singgar yang membersihkan isi perut kambing Bang Sinaga, Bang Kandar yang menemukan batu baterai di perut kucing Bang Sinyong."

Pak Haji Tiro tersenyum, "Lalu kamu minta juga agar Karsono Gareng diperiksa karena menemukan batu bata di perut ayam?" Snot mengangguk. Pak Haji Tiro tertawa, "Dari awal saya berpendapat Kodet itu bersandiwara. Orang-orang yang kamu sebut itu hanya disuruh Kodet dengan ancaman. Saya hanya menunggu saat yang tepat untuk membongkar sandiwaranyanya. Tidak tahunya kalian malah bergerak lebih dulu."

Saat itu juga Pak Singgar, Kandar, dan Karsono Gareng dipanggil Pak Haji Tiro. Kodet dan anak buahnya juga dipanggil. Mereka ditanyai satu persatu perihal santet Kodet. Awalnya mereka tidak mau mengaku. Tetapi begitu disuruh bersumpah atas nama Allah dengan memegang kitab suci al-Qur'an, mereka bungkam seribu bahasa. Anehnya, Karsono Gareng malah menangis sesenggukan. Akhirnya, mereka mengaku kalau disuruh Kodet. Selain diberi uang mereka juga diancam akan disakiti. Kodet tidak bisa berkutik dengan pengakuan mereka.

Pak Haji Tiro menasehati Kodet, "Mulai hari ini kamu harus bertobat. Bila kamu masih berbuat onar dan memalak orang maka kamu akan kami usir dari wilayah ini. Kemarin kami masih bersabar, tetapi mulai detik ini kesabaran kami sudah habis."

Kodet yang sangar itu tertunduk mendengar kata-kata Pak Haji Tiro. "Tetapi aku tidak punya pekerjaan, Pak Haji," kata Kodet, lirih.

Pak Haji Tiro berkata, "Mulai sekarang kamu bekerja kepada saya. Saya tahu kamu dulu pandai menyopir."

"Tetapi SIM-ku hilang, Pak Haji."

"Nanti saya carikan SIM baru," kata Pak Haji Tiro. Kadet mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Sejak hari itu Kodet bekerja pada pak Haji Tiro. Menjadi sopir pribadinya menggantikan sopir lama yang pindah ke Surabaya. Bagaimana anak buah Kodet? Mereka pun mengikuti jejak bosnya, tobat juga, tak lagi jadi preman. Pada suatu hari Snot bertemu dengan Kodet. Snot dicengkeram pundaknya lumayan keras. Tetapi bibir Kodet tersenyum ramah.

"Apakah kamu ingin jadi dukun santet?" tanya Kodet sambil tertawa. Snot menggeleng. "Kenapa kamu tahu kalau aku hanya bersandiwara?"

Snot tertawa, "Saya tidak percaya santet. Tapi yang paling mustahil ketika ada batu-bata utuh di tubuh ayam itu."

Kodet garuk-garuk kepala. "Itu karena kebodohan Karsono Gareng, yang bekerja tanpa logika," kata Kodet sambil tertawa. Setelah kasus santet Kodet terbongkar Snot menemui Pak Bejo. Snot menyarankan kepada Pak Bejo agar membuka usaha pengiriman barang, semacam perusahaan ekspedisi.

"Wah bagaimana dengan modalnya?" kata Pak Bejo, ketika mendengar usulan Snot.

"Dengan modal santet," jawab Snot, mantap. "Bukankah santet bisa mengubah benda padat menjadi udara. Lalu udara itu dikirim kepada korban. Setelah masuk lalu dijadikan benda padat lagi. Begitu kata Pak Bejo dulu." Pak Bejo mengangguk. Nah, perangkap Snot sudah masuk. "Pak Bejo bisa mengumpulkan tukang santet lalu mendirikan perusahaan jasa pengiriman. Paket atau surat yang dikirim disantet dulu agar menjadi udara, lalu dikirim ke alamat. Bila suah sampai ke tujuan maka dijadikan paket atau surat itu lagi. Pak Bejo tidak usah membayar kapal atau kapal terbang. Bagaimana, asyik kan?"

Pak Bejo baru sadar bila dijebak Snot, "Lantas berapa ton kemenyan yang harus dihabiskan dukun santet untuk mengirim satu kontainer ke Amerika Serikat?"

****

"Bagaimana dengan kasus haltemu?" tanya Snot kepada Vista.

Vista angkat bahu dan menjawab, "Sudah selesai. Pertama-tama saya dan Rivo beranggapan kalau pencurian halte itu dilakukan pemulung. Tetapi kami harus meralatnya. Karena tempat halte itu kini terkena pelebaran jalan."

"Jadi?"

Vista cemberut dengan pertanyaan itu, "Jadi halte itu sengaja diambil oleh pengelola jalan."

Snot tertawa dan berkata, "Kalau begitu kamu dan Rivo harus minta maaf kepada pemulung, karena telah memfitnahnya."

Vista tercekat, "Tapi..., tapi kami tidak tahu pemulung mana yang kami tuduh. Karena kami hanya mengatakan itu ulah pemulung. Bukan menunjuk orang yang itu atau yang ini."

"Bila demikian kalian harus minta maaf kepada semua pemulung di dunia. Karena di negara-negara lain juga ada pemulung!" seru Snot, menggoda. Vista tidak tahan dengan ledekan Snot. Diambilnya koran dan digulungnya, lalu diserbunya Snot dengan pukulan-pukulan koran. "Ampun! Ampuuun!" teriak Snot. (*)

Creation is hard, cheer me up!

setiawansasongkocreators' thoughts