webnovel

Inner wounds

Kematian kedua kakaknya telah meninggalkan luka yang dalam di hati William Julius. Dia terperangkap dalam gelombang kesedihan yang tak terbendung, meratapi kehilangan yang begitu besar dalam hidupnya. Setiap hari terasa seperti ujian yang berat baginya, dan dia sering mengurung diri di dalam kamarnya, menolak untuk berinteraksi dengan dunia luar.

Ibu dan ayahnya, Raja Paul Albert II dan Ratu Alice Cooper, merasakan kesedihan yang sama, tetapi mereka juga merasa perlu untuk mendukung putra mereka yang tersesat ini. Mereka mencoba untuk mendekatinya, berbicara dengannya, dan memberinya dukungan yang dia butuhkan, meskipun seringkali William menolak untuk menerima bantuan atau kenyamanan dari siapapun.

"Mama, ayah," ucap William dengan suara gemetar, "aku merindukan mereka. Aku merindukan Graham dan Troy."

Ratu Alice mendekatinya, mencoba menyentuh pundaknya untuk memberikan kehangatan, tetapi William menarik diri. "William, kita semua merindukan mereka," kata Raja Paul dengan lembut. "Tetapi kita harus tetap kuat. Mereka tidak akan ingin melihat kita hancur seperti ini."

William hanya mengangguk, tetapi ekspresi kesedihan dalam matanya tidak bisa disembunyikan. Dia merasa terasing, terpisah dari dunia yang dulu dikenalnya, dan tidak tahu bagaimana cara melangkah maju dari sini.

Malam itu, dalam keheningan istana yang hening, William duduk sendirian di kamarnya, memandangi jendela yang memperlihatkan pemandangan malam yang gelap. Ia terduduk, tenggelam dalam lamunan yang gelap dan menyedihkan.

Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka perlahan, dan Ratu Alice masuk dengan langkah yang ringan. Dia duduk di samping William, menatap keluar jendela bersamanya.

"Apa yang kau pikirkan, William?" tanya Ratu Alice dengan lembut.

William menghela nafas. "Aku merindukan mereka, Mama. Aku merindukan Graham dan Troy. Mengapa mereka harus pergi begitu cepat?"

Ratu Alice memeluknya erat. "Kita tidak selalu bisa memahami mengapa hal-hal buruk terjadi, sayang. Tapi yang bisa kita lakukan sekarang adalah mengenang kenangan indah bersama mereka dan tetap bersama-sama sebagai keluarga."

William mengangguk, tetapi air matanya sudah mulai mengalir. Ratu Alice menyeka air matanya dengan lembut.

Sementara itu, di ruang sebelah, Raja Paul sedang duduk di meja kerjanya, melihat peta strategis Kerajaan Veldrome. Dia merasa bertanggung jawab atas nasib kerajaannya dan putranya yang sedang berduka.

Beberapa minggu berlalu, tetapi William masih terjebak dalam kesedihan yang mendalam. Dia mencoba untuk melanjutkan hidupnya, tetapi bayangan kedua kakaknya selalu menghantuinya.

Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di taman istana, William bertemu dengan seorang tukang kebun yang sedang merawat bunga-bunga di sana. Pria tua itu tersenyum ramah kepadanya.

"Hai, Pangeran William," sapa tukang kebun itu.

"Halo," jawab William dengan lembut.

"Tidak baik untuk terus-terusan sendirian, Pangeran. Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membuatmu merasa lebih baik?" tanya tukang kebun itu.

William berpikir sejenak, lalu berkata, "Mungkin kamu bisa memberi saya beberapa bunga untuk diletakkan di makam kakak-kakak saya."

Tukang kebun itu mengangguk mengerti. "Tentu, Pangeran. Ayo, kita pilihkan bunga yang indah untuk mereka."

Mereka berdua berjalan menuju makam Graham dan Troy, dan William memilih beberapa bunga yang cantik. Saat meletakkan bunga-bunga itu di makam, dia merasa sedikit lega, seolah-olah memberikan penghormatan terakhir kepada kedua kakaknya.

Dari sinilah, langkah pertama William menuju pemulihan dimulai. Meskipun rasa sedihnya tidak akan pernah hilang, dia mulai belajar.

Suatu hari, seorang wanita muda yang sangat cantik tiba-tiba dipekerjakan di istana. Namanya adalah Elara, dan dia ditugaskan untuk membantu dalam berbagai tugas istana. Elara memiliki senyum yang menawan dan sikap yang ramah, yang membuatnya disukai oleh banyak orang di istana, termasuk William.

Meskipun William masih tenggelam dalam kesedihan, kehadiran Elara membawa sedikit sinar harapan dalam hidupnya. Dia terpesona oleh kecantikan dan kecerdasan Elara, dan secara tidak sadar mulai merasakan perubahan dalam dirinya sendiri. Gadis itu, bagaimanapun, juga tampak tertarik pada William, meskipun tidak terlalu jelas.

Dengan kedatangan Elara, hubungan William dengan dunia luar mulai membaik sedikit demi sedikit. Meskipun masih terluka oleh kehilangan kedua kakaknya, William mulai melihat adanya harapan dan kemungkinan untuk masa depan yang lebih baik.

Sementara itu, Elara juga merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Dia merasa tertarik pada pangeran muda yang tengah berduka itu, dan dalam hatinya, dia berharap bisa membantu William keluar dari kesedihannya.

Dengan pertemuan tak terduga ini, Bab keempat dari "Destinies Reborn: The Chronicles of William Julius" berakhir dengan misteri dan ketidakpastian. Bagaimana hubungan antara William dan Elara akan berkembang? Dan apa yang menunggu mereka di masa depan? Semua pertanyaan ini akan terjawab dalam babak selanjutnya dari kisah yang menakjubkan ini