Kirana menuju tempat parkir dan segera masuk ke dalam mobilnya, tangisnya pecah. Ucapan Adrian yang telah meragukan anaknya sendiri terasa lebih sakit di bandingkan dengan melihat Adrian di pelaminan ketika itu.
Dia harus pergi dari sana sebelum Adrian dan Sintia melihatnya masih berada di tempat itu sedang menangis.
Dia memutuskan pergi ke pantai di pinggiran kota, sepanjang jalan tangisnya tidak juga surut, sudah tidak terhitung berapa air mata yang ia tumpahkan hari ini.
Ayah dan ibunya tak henti menelponnya mereka sangat khawatir takut terjadi sesuatu dengan putri mereka. Setelah sampai Kirana memutuskan memberi pesan kepada ibunya agar tidak khawatir, dia mengabarkan hanya ingin menenangkan diri sebentar.
Dia duduk di tepi pantai memandang lautan yang tidak bertepi, dengan di saksikan senja yang berwarna jingga. Semilir angin menerpa tubuhnya beberapa kali dia menghembuskan napasnya untuk menghilangkan sebak di dadanya. Tiba-tiba pandangannya tertuju kepada sepasang kekasih yang tidak jauh darinya, mereka sedang tertawa bercanda terpancar kebahagiaan pada keduanya, Kirana tersenyum melihatnya. Dia pun dulu merasakan apa yang mereka rasakan, pernah sebahagia itu, pernah menjadi yang paling diutamakan, disayangi, hingga percaya bahwa Adrian adalah jodoh yang memang ditakdirkan untuknya.
Tapi kini semua sudah berubah hanya dalam sekejap, tak pernah terbayangkan sebelumnya semua berkahir dengan luka. Pengkhianat itu sudah bersandiwara di depannya selama ini, begitu juga dengan keluarganya. Kirana menangis lagi, "Aku harus kuat, aku pasti bisa!" batinnya mencoba tegar.
Sementara itu Adrian dan Sintia sudah kembali ke rumah mereka, Adrian langsung menuju kamar mandi untuk mandi. Dia malas jika harus membahas Kirana lagi dengan Sintia yang sejak tadi terus saja berbicara dan menyudutkan Kirana.
Sebenarnya Adrian tidak bermaksud mengatakan pertanyaan bodoh itu kepada Kirana, tidak sedikitpun ia meragukan anak yang ada dalam kandungan Kirana. Ia sangat yakin Kirana sangat setia padanya dan begitu mencintainya sehingga wanita itu meyerahkan sesuatu yang berharga itu padanya. Dia ingin bicara baik-baik dengan Kirana dan akan bertanggung jawab atas anak yang ada dalam kandungannya meskipun tidak dengan menikahinya. Situasinya menjadi runyam ketika Sintia tiba-tiba datang, dia bingung harus mengatakan apa untuk membela diri di hadapan istrinya.
Sintia tentu merasa puas dengan apa yang ia saksikan tadi, dia sangat yakin Adrian sudah benar-benar tidak peduli lagi dengan Kirana, itu artinya kini Adrian hanya akan menjadi miliknya seorang.
Karena malam sudah larut Kirana memutuskan untuk pulang, ia kembali mengendarai mobilnya, namun baru saja dia mengemudikan mobilnya selama sepuluh menit tiba-tiba mobilnya berhenti begitu saja.
"Astaga, aku sampai lupa mengisi bensin!" gumamnya. Dia melihat ke sekelilingnya sudah tampak sepi hal yang wajar karena dia sedang berada di pinggiran kota, yang dia ingat jarak pom bensin terdekat berjarak sekitar dua puluh Kilo Meter. Dia kebingungan di pinggir jalan, dia mencoba memberhentikan mobil yang lewat namun dari tiga mobil yang lewat tidak ada satu pun yang berhenti untuk menolongnya.
Tiba-tiba sebuah motor besar berhenti di depannya, pengendara itu turun dari motornya lalu bertanya, "Apa kau membutuhkan bantuan Nona?"
Laki-laki itu memiliki suara yang berat, postur tubuhnya proporsional sekitar 180 cm hanya itu yang dilihat Kirana.
"I-iya mobilku kehabisan bensin," jawab Kirana dengan sedikit rasa takut pada orang asing di depannya.
"Jarak tempat pengisian bahan bakar lumayan jauh dari sini, tapi aku bisa membantumu, bagaimana jika kau menunggu? Aku akan membelikannya untukmu," ucap pengendara itu.
"Benarkah anda mau membelikannya untukku? Terima kasih sebelumnya tapi ku rasa jaraknya sangat jauh," ucap Kirana. Ia lalu merogoh uang di sakunya untuk memberikan kepada orang asing itu dan menyodorkannya.
"Tidak usah, kau bisa ganti jika sudah selesai," tolak orang itu.
Kirana melongo kepada orang itu, orang itu tidak membuka helmnya sehingga Kirana sulit melihat wajah pengendara motor itu.
"Baiklah aku akan menunggu," ucap Kirana.
Laki-laki itu lalu pergi, akan tetapi kemudian berbalik dan bertanya, "Apa sebaiknya kau ikut saja denganku? Berbahaya bagimu jika sendirian di jalan sepi seperti ini sendiri."
Kirana ragu untuk mengikuti saran laki-laki asing itu namun alasan yang dia katakan benar, lagipula ia takut jika berlama-lama sendirian di jalan yang sepi.
"Baiklah aku akan ikut saja," ucap Kirana pada akhirnya.
Kirana lalu naik ke atas motor itu dengan sedikit canggung dan berusaha untuk tidak menyentuh ataupun berpegangan ke tubuh laki-laki itu.
"Berpegangan! Aku akan mengendarai motor ini sedikit lebih cepat," ucap orang asing itu.
"Eh apa?" tanya Kirana bingung, Kirana benar-benar merasa malu dan canggung jika harus bersentuhan dengan orang asing.
Tanpa di duga laki-laki itu memegang kedua tangan Kirana dan meletakan tangan Kirana melingkar di pinggang lak-laki itu. Kirana tidak mampu menolak, apalagi setelah motor itu melaju dengan kecepatan cukup tinggi.
Namun aneh yang di rasakan Kirana, berada di atas motor dengan kecepatan cukup tinggi dan memeluk orang asing seakan semua beban yang menghimpit di dadanya terasa lapang terbang terlepas bersama laju motor itu. Ini nyaman! Sangat nyaman, batinnya.
Tidak lama mereka tiba di sebuah pom bensin, Kirana lalu turun dari motor itu. Rambutnya yang tadi tergerai indah nampak kusut. Laki-laki itu pun melihatnya, ia tersenyum melihat Kirana yang sedang berusaha merapihkan rambutnya.
Selesai membeli bahan bakar dan hendak kembali menuju tempat mobil Kirana, laki-laki itu membuka jaket yang ia kenakan dan memberikannya kepada Kirana.
"Pakailah agar kau tidak kedinginan!" ujarnya.
"Tapi kamu bagaimana, kamu juga pasti kedinginan," jawab Kirana ragu.
"Tidak apa-apa bajuku cukup tebal," jawab laki-laki itu.
Kirana menerima jaket itu dan memakainya, memang ia merasa kedinginan saat di perjalanan tadi dan jaket itu cukup membuatnya merasa hangat.
Setelah sampai laki-laki itu langsung mengisikan bahan bakar pada mobil Kirana, ketika selesai Kirana hendak memberikan uang kepada orang yang sudah menolongnya, namun orang itu menolak.
"Tidak apa-apa, sekarang kau bisa pergi," ucapnya setelah menolak uang yang Kirana berikan.
"Terima kasih banyak," ucap Kirana, ia lalu masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan orang asing itu.
Selama di perjalanan ia terus melihat ke belakangnya, pengemudi motor itu masih terus mengukutinya seolah menjaga dan memastikan Kirana sampai dengan aman.
Ketika Kirana hendak membelokan mobil di depan rumahnya, laki-laki itu sudah tidak mengikutinya lagi. Siapapun orang itu Kirana sangat bersyukur dan berterimkasih di pertemukan dengan orang itu. Sayang dia tidak melihat wajahnya dengan jelas bahkan menanyakan namanya saja Kirana lupa, dia baru sadar setelah orang itu pergi.
Kirana masuk ke dalam rumahnya, tampak ayah dan ibunya sedang menunggunya di ruang depan.
"Kamu kemana saja? Ibu khawatir Nak," tanya Ratih ketika melihat putrinya.
"Aku sudah bilang, Ibu tidak usah khawatir aku baik-baik saja." jawab Kirana.
"Sudahlah Bu, Kirana capek tidak usah banyak bertanya!" ucap Hermawan kepada istrinya sembari mengedipkan matanya, memberi isyarat.
"Ya sudah istrirahat saja ya! Apa kamu lapar?" tanya Ratih.
"Aku tidak lapar Bu, mau istirahat saja," jawab Kirana. Ratih hanya mengangguk dan tidak berkata apa-apa lagi.
Kirana lalu menuju kamarnya pergi membersihkan diri, dan dia baru tersadar jika jaket yang dia gunakan tidak sempat ia kembalikan kepada pemiliknya. Dia membolak-balik jaket berwarna cokelat itu, tampaknya itu jaket bermerk yang cukup mahal. Tercium aroma parfum citrus yang segar dan maskulin. Dalam jaket itu ia menemukan tulisan kecil yang tersulam rapih, Zayn!
Apakah itu nama laki-laki asing tadi?