webnovel

Dendam Rana

Warning!!! Terdapat content 21+ harap bijak! Kirana harus menelan kepahitan saat cintanya dikhianati oleh Adrian, tunangannya. Adrian menikahi wanita lain saat dirinya sedang hamil. Bukan hanya Adrian yang telah mengkhianatinya, keluarga Adrian bahkan menipu dan merebut perusahaan milik keluarga Kirana. Ayah Kirana bahkan sampai meninggal karena tidak bisa menerima kenyataan itu.Tidak cukup sampai di situ, sang ibu bahkan mengalami depresi. Kirana putus asa, dunianya terasa runtuh. Hingga seseorang datang menuntunnya untuk kembali bangkit dan bersiap menuntut balas. Namun, mampukah Kirana menuntaskan dendamnya? Saat rasa cinta kembali mengusik, bahkan tumbuh semakin liar. *Cerita inti Dendam Rana selesai di Bab 279. *Bab selanjutnya menceritakan para tokoh pendamping yang belum diceritakan di cerita pokok. *Maaf banyak Typo, sedang proses revisi sedikit-sedikit.

Yuanda9 · perkotaan
Peringkat tidak cukup
341 Chs

Bab 23. Rencana Kedua

Adrian menatap serius lawan bicaranya, tidak ada sedikit pun keraguan dari ucapan yang keluar dari mulut Riko.

"Anda baru saja mengenal Kirana, dan tidak perlu melakukan apa pun padanya. Aku bisa bertanggung jawab atas Kirana dan anak kami," ucap Adrian.

"Anda tidak mungkin menikahi Kirana karena kau sudah beristri."

"Seperti yang sudah aku bilang tadi ini adalah urusan pribadiku dengannya. Tolong berikan saya informasi di mana dia tinggal sekarang!" pinta Adrian, dengan tidak sabar.

"Maaf aku tidak bisa memberitahukanmu, Pak Adrian. Seperti yang kamu katakan, itu urusan pribadimu. Jadi itu bukan urusanku," balas Riko, lalu pergi meninggalkan Adrian.

Kini Adrian bingung harus mencari Kirana ke mana lagi. Beberapa kali ia mengusap karena merasa frustasi.

Riko bersenandung di dalam mobil terlihat menunggu seseorang, sambil memutar lagu favorit untuk mengusir rasa bosan. Ia teringat kembali percakapannya dengan Adrian.

"Aah .. laki-laki serakah!" gumamnya.

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya dia tersenyum ketika melihat sosok yang ia tunggu, sedang berjalan ke arahnya.

Kirana berjalan menuju rumah kontrakan dengan langkah lunglai. Matanya sembab karena seharian terus menerus menangis. Dia tidak menyadari seseorang sedang memperhatikan dan mengikutinya. Dia merogoh kunci pintu di tas, ketika itu dia bisa melihat bayangan lain melalui ekor matanya, kemudian ia berbalik melihat ke belakang.

"Kamu! Mau apa kemari?" Kirana bertanya dengan ketus.

"Kamu tampak sedih, apa karena aku memecatmu tadi? Kamu bisa bekerja lagi besok jika kau mau," tawar Riko, sambil menyender di dinding teras rumah.

"Tidak!" tolak Kirana dengan tegas. "Aku tidak mau setiap hari bertemu dengan atasan mesum sepertimu," lanjutnya.

"Karena kau begitu menggodaku," timpal Riko, tersenyum dengan menyeringai.

Kirana kesal melihat seringai dan ucapan Riko "Silahkan pergi! aku tidak ingin melihatmu."

Kirana membuka pintu rumah dan cepat-cepat masuk. Namun, sebelum pintu itu tertutup, Riko menahan dengan tangannya, seperti kejadian di lift tadi pagi.

"Lepaskan! Atau aku akan berteriak biar semua warga mengusirmu," ancam Kirana. Dia sangat takut jika Riko akan berbuat hal aneh lagi padanya.

Dengan tersenyum Riko menjawab, "Aku akan pergi sekarang, tapi aku pasti akan datang kembali lain kali." Riko melepaskan pintu itu dan menyaksikan Kirana menutup pintu dengan kasar.

Adrian menegak segelas minuman yang disajikan oleh seorang pramutama bar, dia hanya duduk sendiri. Tatapannya kosong ke depan, seolah sedang memandangi sekumpulan wanita yang sedang duduk di sana. Tentu bukan itu yang menjadi fokus Adrain, pikirannya berada di tempat lain.

Salah satu dari wanita itu menghampiri Adrian. Dia cukup cantik dengan riasan tebal, gaun hitam di atas lutut dan potongan rendah pada bagian dadanya. Sehingga menampakan sebagian bulatan kembar miliknya.

"Hallo, boleh aku bergabung denganmu? Kamu terlihat sendirian saja," sapanya dengan tersenyum. Tangannya masih menenteng minuman yang dia bawa dari meja tadi.

"Aku sedang ingin sendiri," jawab Adrian. Dia hanya memandang wanita itu dengan sekilas.

Namun, wanita itu tidak menyerah dengan penolakkan Adrian, dia mengambil kursi di samping Adrian dengan mengibaskan rambutnya yang tergerai sebahu. Kemudian dia berkata, "Siapa tahu kau butuh seseorang untuk mendengarkan masalahmu."

Adrian menoleh ke wanita itu, "Saat ini aku tidak butuh untuk didengar, jadi pergilah! Aku tidak ingin diganggu."

"Baiklah, aku tidak akan mengganggumu. Hanya ingin duduk di sini," jawab wanita itu, masih dengan keyakinan dapat melunakkan Adrian.

Gelas di minumannya sudah kosong, Adrian memberi isyarat kepada pelayan di sana untuk meminta kembali minuman. Tidak lama, pelayan itu datang melakukan apa yang diminta Adrian. Ketika Adrian akan mengangkat gelas untuk meneguk minumnya, tangan wanita itu menahan Adrian.

"Aku punya sesuatu yang akan lebih memabukkan dari ini," ucap wanita itu, ditambah senyum menggoda yang tidak pernah lepas.

Adrian yang merasa kesal langsung menepiskan tangan wanita itu, dan melempar gelas ke lantai. Sontak saja perbuatannya itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di sana.

"Aku sudah bilang untuk tidak ingin diganggu. Kamu ingin apa dariku? Uang?" hardik Adrian dengan rahang yang mengatup.

Dia lalu membuka dompetnya, mengeluarkan semua uang yang ada di dompet dan melemparkan ke wajah wanita itu. Si wanita tampak terkejut dan ketakutan.

"Bawa uang itu dan enyahlah dari hadapanku!" bentak Adrian, wajahnya memerah. Wanita tadi pergi meninggalkan Adrian, tanpa mengambil uang yang dilemparkan ke wajahnya.

"Kakak? Kamu kenapa marah-marah?" tanya Angel tiba-tiba, entah sejak kapan dia berada di sana.

"Sedang apa kamu di sini? Ini sudah malam seharusnya kau langsung pulang," sembur Adrian.

"Aku hanya nongkrong sama teman sebentar," jawab Angel.

Adrian melihat seorang laki-laki yang berdiri di samping Angel, melihatnya dari atas sampai bawah. Dipandangi seperti itu oleh Adrian, laki-laki itu tampak gamang.

"Apa dia pacarmu?" tanya Adrian, menunjuk dengan dagunya.

"I-iya eh maksudku dia hanya tem ...." belum sempat meyelesaikan jawabannya, Angel sudah ditarik oleh Adrian.

"kamu harus pulang sekarang adiknya itu!" Adrian menyeret adiknya itu, tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang masih tertuju padanya.

"Kakak lepaskan! Apa yang kau lakukan? Aku bisa berjalan sendiri." Angel meminta Adrian melepaskan tangannya.

Adrian memasukkan Angel ke dalam mobil. Angel tentu merenggut dan kesal dengan sikap Adrian yang telah mempermalukannya di hadapan pacar dan orang banyak.

"Apa yang kakak lakukan? Bikin malu saja," gerutu Angel.

"Untuk apa kamu datang ke tempat itu berdua dengan laki-laki yang tidak jelas?" Adrian bertanya dengan pandangan tetap mengemudi.

"Kita cuma mau ngobrol saja. Kakak juga untuk apa ke sana?"

"Cuma ngobrol katamu? Aku ini seorang laki-laki, tahu betul niat dan akal busuk seorang laki-laki seperti dia. Kamu mengobrol, minum-minum dengannya, kemudian kamu bangun tidur dalam keadaan mabuk dengannya," ucap Adrian.

"Kakak pikir semua laki-laki di dunia ini sama sepertimu, menghamili wanita sesukamu!" sergah Angel dengan marah.

Seketika wajah Adrian merah padam mendengar ucapan adiknya, "Tutup mulutmu!"

Melihat ekspresi Adrian, Angel memilih menutup mulutnya karena dia tahu temperamen Adrian bila sedang marah.

Ketika mereka tiba di rumah, Angel langsung menuju kamarnya dengan wajah cemberut.

"Lho kamu kenapa cemberut begitu? Kenapa kalian bisa pulang bersama?" tanya Julia, kepada Angel. Akan tetapi putrinya itu tidak menjawab dan terus berlalu meninggalkannya. Jukio tampak kebingungan.

"Aku menyuruh dia pulang ketika sedang berada di bar," Adrian yang menjawab pertanyaan ibunya.

"Memangnya kenapa kalau adikmu di sana? Hanya sekedar bersenang-senang," balas Julia. Perhatiannya beralih ke wajah Adrian yang nampak lebam. "Kenapa dengan wajahmu itu?"

"Berantem," jawab Adrian singkat. Dia pun meninggalkan Julia menuju kamar.

Julia menggeleng-gelengkan kepala dan berpikir sejenak, kemudian dia menelpon Sintia.

"Hallo Sintia, Adrian ada di sini, kamu tidak usah khawatir!"

"Apa dia tidak akan pulang lagi ke rumah, Ma?" tanya Sintia.

"Nanti aku akan membujuknya untuk pulang ke rumah kalian, tapi ngomong-ngomong apa yang terjadi dengan wajahnya? Dia berantem dengan siapa?" tanya Julia penasaran.

"Dia berkelahi dengan Zayn, laki-laki yang bersama Kirana waktu itu," jawab Sintia.

"Kirana lagi!"

"Benar. Adrian membawa Kirana ke puncak Bogor, kemudian Zayn datang untuk membawa Kirana, akhirnya mereka berkelahi" tutur Sintia dengan nada kesal.

"Kirana lagi. Kamu tidak usah khawatir! Aku akan bicara dengan Adrian," pungkas Julia, kemudian dia menutup sambungan telpon.

Julia masuk ke dalam kamar Adrian. Putranya itu tampak selesai mandi dan tengah merapihkan rambutnya.

"Kamu tidak akan pulang ke rumahmu malam ini? Kasihan Sintia sendirian," tanya Julia.

"Dia tidak sendiri, ada dua pembantu di rumah itu," sahut Adrian

"Kamu jangan sering meninggalkan istrimu! Kalian masih pengantin baru dan kalian menikah atas kehendakmu juga. Apalagi sekarang istrimu sedang hamil, jadi bersikaplah baik padanya!" ujar Julia.

"Aku hanya sedang malas bertemu dengannya, dia pasti akan marah dan selalu bertanya dengan curiga," Adrian menjawab, sambil menaiki tempat tidur kemudian melanjutkan, "Aku capek Ma, mau tidur."

"Untuk apa kamu membawa Kirana ke pincak Bogor segala? Kamu sungguh membuatku khawatir. Untung saja istrimu itu masih mau memaafkan kesalahanmu. Apa yang masih kamu harapkan dari Kirana, Adrian?"

"Aku ingin bertanggung jawab dengan anak yang sedang dikandung Kirana, Ma," ucap Adrian, berharap ibunya mengerti.

"Tapi kamu juga akan mempunyai anak dari istrimu, yang jelas itu anakmu sendiri Adrian," Julia berkata dengan sedikit menaikan nada bicaranya.

"Sudahlah Ma, tidak ada yang bisa meruntuhkan niat aku untuk bertanggung jawab kepada anak Kirana. Aku yakin betul itu anakku," balas Adrian. Dia merebahkan tubuhnya dan dengan selimut, agar Julia tidak berbicara lebih banyak lagi.

Julia merasa kesal, dia pun keluar dari kamar Adrian.

"Aku harus secepatnya menjalankan rencanaku."