webnovel

#9 Gara-gara Pak Dhe

Pipi Mamak Mun sudah banjir air mata, sampai kerudungnya basah kuyup karena digunakan untuk mengelap. Pak Dhe Ramlan mengambil arah kiri dan melaju dengan pelan, agar kami bisa melihat-lihat, apakah ada Kang Sugi di pinggir jalan.

Tapi pada saat itu juga, aku pun ragu dengan langkah yang kami ambil. Bisa saja Kang Sugi kembali mengambil arah kanan. Dalam artian, dia kembali lagi ke arah rumah sakit tadi. Ya, itu mungkin saja ia lakukan karena untuk mengelabuhi kami.

"Bagaimana kalau ternyata Kang Sugi ke arah barat?" Kataku tiba-tiba, Pak Dhe langsung menghentikan mobilnya, lalu menepi. Semua orang menatapku, seolah meminta kejelasan. "Ya, itu bisa saja kan dilakukan Kang Sugi untuk mengelabuhi kita. Dia kembali ke arah rumah sakit tadi."

"Benar juga kau, Dhil." Pak Dhe segera bersiap memutar balik mobilnya tanpa menunggu persetujuan yang lain. Kami semua segera fokus ke tepi jalan, melihat dengan cermat barangkali Kang Sugi sedang di sana. Tapi berkilo-kilo mobil Pak Dhe berjalan, Kang Sugi tak kunjung terlihat batang hidungnya.

"Kita sudah berjalan lima kilometer, tidak mungkin Sugi sudah berjalan sejauh ini dengan berjalan kaki." Kali ini Bapakku yang bicara. Bapakku itu pendiam, kalau beliau saja sudah berkomentar, tandanya ini sudah keterlaluan.

"Sugi tidak bawa apa-apa, handphonenya pun dia tinggal di tas ini. Bagaimana kalau dia pingsan, dia belum makan apa-apa." Mamak Mun menangis lagi. Aku, Pak Dhe dan Bapak menghela nafas.

Pak Dhe lalu memutar balik lagi kemudi mobil, memutuskan untuk pulang saja. Sepanjang perjalanan pun, Kang Sugi juga tetap tak nampak. Diantara kami sudah tidak ada yang bicara, semua perasaan kami mungkin sama. Capek, bingung, khawatir, dan sebal juga jadi satu.

Mobil berbelok ke rumah Mamak Mun. Ada Ibuku duduk di teras bersama beberapa orang lain yang masih saudara kami. Mamak Mun diam mematung seperti enggan untuk turun.

"Turun dulu, Mun. Nanti kita pikirkan lagi mencari anakmu dimana, kita istirahat dulu." Kata Pak Dhe sembari turun. Aku bersyukur beliau mengatakannya dengan lembut, mungkin sudah kasihan melihat raut muka Mamak yang sudah kusut.

Aku menemani Mamak tetap di mobil, tapi kulihat dari dalam mobil, ibuku datang menghampiri kami dengan sedikit tergesa.

"Kenapa tidak turun, itu Sugi sudah di dalam." Kata ibuku dengan setengah berteriak menghampiri kami. Aku dan Mamak kompak terkaget menoleh membelalakkan mata.

"Apa, Bu??" Sahutku langsung bertanya memastikan pendengaran.

"Sugi pulang jalan kaki. Sekarang di sudah di dalam, di kamarnya."

Tanpa dikomando lagi, aku dan Mamak Mun segera turun. Bahkan Mamak turun dengan sedikit berlari, beliau pun sampai tak sempat mencari sandal jepit yang beliau lepas ketika di dalam mobil.

Aku dan Ibu segera mengikuti Mamak masuk ke dalam, langsung menuju kamar Kang Sugi. Dan benar, Kang Sugi sudah duduk di dalam kamarnya, duduk di kasur bersandar tembok. Mamak Mun langsung meraih Kang Sugi dalam dekapannya, lalu menangis sejadi-jadinya.

"Kukira kamu minggat, Le. Kukira kamu tega meninggalkan Mamakmu ini hidup seorang diri." Mamak Mun terus berkata sambil tergugu meraung-raung. Aku dan Ibu berdiri di depan pintu, menonton mereka.

Mamak Mun terus berkata-kata panjang, mengeluarkan segala isi hatinya sambil menangis. Padahal Kang Sugi yang ditangisi hanya diam saja seribu bahasa. Ibuku lama-lama tak sabar melihatnya, beliau tak lama kemudian pergi meninggalkan kami. Aku masih berdiri di tempatku, aku menunggu Mamak Mun selesai bicara. Aku juga ingin bicara pada Kang Sugi.

"Yu, suruh Sugi makan dulu. Aku tadi bikin soto ayam." Teriak ibuku dari dapur. Mamak Mun segera menoleh.

"Makan dulu ya, Le." Mamak Mun menanyai Kang Sugi, dan Kang Sugi mengangguk. Tanpa berkata apa-apa lagi, beliau segera melipir ke dapur, kali ini aku membuntuti beliau.

Aku juga mengambil semangkuk soto yang sudah diracikkan ibuku. Aku juga lapar karena sedari pagi belum makan. Mamak Mun tampak bersemangat sekali menyiapkan soto ayam untuk anaknya. Ayamnya beliau ambilkan banyak-banyak. Mungkin agar Kang Sugi merasa semakin berselera.

"Mak, biar Dhila saja yang membawa ke kamar Kakang. Biar Dhila temani makan agar Kakang semangat." Kataku meminta baki yang sudah siap diangkat lengkap dengan semangkok soto kerupuk dan teh hangat. Mamak Mun mengangguk.

Aku membawa baki menuju kamar Kang Sugi, tapi tak langsung kuturunkan ke mejanya. Aku tawari Kang Sugi untuk makan bersama di depan rumah, di bawah pohon mangga depan rumah Mamak Mun yang rindang. Di sana ada kursi terbuat dari bambu rakit dan mejanya dari kayu. Biasanya gunakan untuk nongkrong sore-sore. Sejak kecil, kami menyebutnya markas karena sering kami gunakan untuk tempat bermain.

"Kang, makan di depan, yuk. Di markas." Kataku. Kang Sugi langsung mengangguk, aku lega karena ajakanku bersambut.

Aku lalu berjalan ke depan, dan Kang Sugi membuntutiku. Entah Kang Sugi mulai pulih atau ada alasan lain, dia menurut sekali hari ini dengan orang lain.

Aku meletakkan makanan kami di meja kayu. Tepatnya meja yang terbuat dari potongan kayu utuh yang disusun begitu saja, itu buatan Bapakku untuk kami bermain. Dulu, permukaannya tidak rata, sekarang saking lamanya permukaanya jadi rata.

Tanpa ba bi bu, Kang Sugi segera melahap sesendok demi sesendok soto ayam. Aku sengaja tidak menyela dan membiarkan dia menghabiskan isi mangkoknya. Baru setelah dia selesai, bahkan sudah meneguk segelas teh hangatnya hingga separuh, aku mulai mengajaknya bicara.

"Kang, perasaannya sudah enakan?" Tanyaku membuka percakapan. Kang Sugi menolehku, menatapku sejenak. Lalu mengangguk.

"Kenapa tadi kabur dari mobil?" Tanyaku lagi, karena Kang Sugi hanya diam saja.

"Tidak nyaman di dalam mobil?" Tanyaku lagi, aku bertanya terus untuk memancingnya bicara.

"Iya, Dhil. Kakang muak dengan perkataan Pak Dhe." Jawab Kang Sugi akhirnya. Hatiku langsung tersentak, mengingat-ingat perkataan yang mana yang membuat Kang Sugi sampai murka.

"Tolong jangan terlalu dimasukkan ke hati, Kang. Watak Pak Dhe memang seperti itu. Bukan kah Kakang juga sudah tahu?" Sahutku. Kang Sugi diam saja, tanpa ekspresi. Dari raut wajahnya aku melihat ada beribu perkataan yang tertahan. Wajah Kang Sugi memang auranya sudah berbeda. Dia diam saja tidak bergeming, sepertinya tidak ingin merespon perkataanku.

"Kang, Dhila senang lihat Kakang tampak lebih segar dan mau makan sama Dhila di sini." Kataku mengalihkan pembicaraan, beberapa saat setelah kami sama-sama terdiam.

"Sugi!!!!" Katanya sakit kok makan di luar?" Dari arah jalan tampak ada sepada motor masuk halaman, Budhe Tutik lah pengendaranya. Dia sudah berteriak-teriak dari jauh. Aku langsung menoleh ke arah Kang Sugi, dan Kang Sugi pun menoleh ke arahku, tampak sekali ada raut tidak senang di wajahnya. Dia langsung bungkam, seperti tidak ingin lagi bicara. Untung saja makanan kami sudah habis. Budhe Tutik memang serasi dengan Pak Dhe Ramlan, orangnya memang baik, tapi kurang pandai berempati.