webnovel

#4 Lamaran Ditolak

Begitu rombongan pengantar lamaran berangkat, aku tak berkutik untuk pindah dari teras. Hatiku was-was untuk mendengar seperti apa nanti hasilnya. Aku khawatir keluargaku dipermalukan. Ya meskipun aku tahu, keluarga Pak Lurah dan juga Ayuk sendiri adalah orang yang baik hati. Tapi sesopan apapun penolakan tetap saja menyakitkan, apalagi telah melibatkan keluarga besar.

Detik demi detik kulalui dengan gelisah. Duduk, berdiri, duduk lagi dan berdiri lagi. Aku merutuki kenapa Kang Sugi tidak meminta pertimbangan padaku dulu ketika memutuskan ini. Padahal, dia selalu bercerita tentang perasaannya pada Ayuk hanya padaku. Kalau aku sudah tahu terlebih dahulu rencana ini, sudah pasti akan kugagalkan dan menyusun rencana lain jika memang target menikahi Ayuk. Bukan langsung tembak seperti ini. Apalagi nembaknya beramai-ramai. Ibuku ikut pula.

Aku sudah mencoba mengirim pesan pada Afifah, adik sepupu lain yang juga ikut acara lamaran ini. Tapi pesanku tidak respon. Aku memang sengaja tidak bertanya pada Kang Sugi secara langsung, handphone nya saja menurut aplikasi WhatsApp terakhir di buka kemarin. Mungkin dari kemarin dia sudah tidak mood melihat handphone.

Pukul dua belas siang, saat bedug masjid dekat rumah sudah ditabuh, adzan sudah berkumandang. Kulihat mobil kijang milik Pak Dhe Ramlan memasuki gawangan rumah kami. Aku langsung berdiri menyambut mereka. Begitu mobil berhenti tepat di depan rumah. Aku berlarian menemui mereka. Aku ingin segera tahu hasil lamaran itu.

Aku berdiri di dekat pintu mobil. Tapi mereka yang turut sama sekali acuh tak acuh padaku. Semua tampak bermuka datar, tidak ada yang tersenyum. Aku lihat ibuku turun. Dia menatapku sejenak, lalu berjalan melalui ku. Seperti tidak ada yang ingin membahas acara tadi. Aku juga jadi enggan untuk bertanya. Apakah lamaran itu ditolak?

Lalu aku beralih pada Kang Sugi. Dia tak kunjung turun. Masih saja duduk tertegun di bangku mobil paling depan. Wajahnya datar, tatapannya seperti kosong, atau menerawang. Tidak ada lagi senyum seperti saat hendak berangkat tadi. Saat semua orang sudah turun dan masuk ke rumah Mamak Mun. Aku mendekat pada Kakanganku itu.

"Kang, apa yang terjadi?" Tanyaku hati-hati. Dia menggeleng. "Lamaran diterima atau ditolak?" Tanyaku lagi. Lagi-lagi Kang Sugi menggeleng. Entah maksudnya apa aku tidak mengerti.

"Apakah ditolak?" Kini aku bertanya lebih to the point. Kang Sugi mengangguk. Dia lalu bergerak membuka pintu mobil yang sedari tadi jendelanya terbuka. Dia berdiri di depanku.

"Kayak gini ya, Dhil. Rasanya sakit hati."

Aku hanya diam, tertegun dengan apa yang dikatakan Kang Sugi. Dia nampak sekali terpukul hatinya. Wajahny kusut, tidak ada keceriaan sama sekali. Bahkan wajah itu, seperti lampu yang padam, sama sekali tidak bercahaya. Kuletakkan tanganku di pundaknya.

"Banyak gadis cantik dan baik hati lainnya, Kang. Tidak hanya Ayuk. Nanti Dhila kenalkan teman Dhila yang lain." Kataku mencoba menghiburnya. Kang Sugi tersenyum getir. Dia lalu berjalan masuk rumah dengan gontai. Aku membuntutinya dari belakang, kasihan sekali melihatnya.

Di dalam rumah, tampak kasak kusuk keluarga besarku berkumpul di ruang tamu rumah Mamak Mun. Semuanya langsung diam dan hening begitu kami masuk. Kang Sugi berdiri di depan pintu, menatap satu persatu wajah semua kemenakan kami yang kebanyakan tak berani menatap balik pada Kang Sugi. Setelah itu, tanpa berucap apapun, dia berjalan mantap ke kamarnya. Semua isi ruangan itu saling menoleh dan mengangkat bahu, mungkin bingung harus berbuat apa.

Akhirnya, Pak Dhe Ramlan menyuruh kami bubar. "Sugi butuh waktu menenangkan diri." Kami semua otomatis langsung bubar tanpa dikomando dua kali.

Aku berjalan pulang ke rumah beriringan dengan ibuku. Rumah ibuku dengan rumah Mamak Mun bersebelahan, sebelahnya lagi rumah saudara yang lain. Berkumpul dalam satu lingkungan karena memang di bangun dari tanah hasil pembagian warisan.

"Bu, apa yang terjadi tadi di sana?" Tanyaku sambil menyejajar langkah dengan ibu.

"Shhhht, nanti saja." Jawab beliau, lalu segera cepat-cepat melangkah. Aku diam saja terus membuntuti beliau.

Sampainya di dalam rumah, kami duduk di kursi ruang tamu. Begitu duduk, ibu langsung menghela nafas panjang.

"Ada apa, Bu?" Tanyaku lagi. Aku sangat penasaran, apalagi dengan tingkah laku ibu yang tidak seperti biasanya. Ibu masih diam saja. Aku curiga, ibu sengaja membuatku penasaran.

"Apakah kalian dipermalukan?" Kini kuganti pertanyaan ku, ibu menggeleng. "Lalu?" Tanyaku lagi.

"Keluarga Pak Lurah sangat baik, Sri Rahayu juga sangat sopan. Mereka menerima kami dengan baik. Kami dijamu dengan hidangan yang enak. Itu, bahkan masing-masing kami dibawakan oleh-oleh satu botol beras kencur dan sebungkus biskuit." Jawab ibu kemudian.

"Lalu apa yang membuat ibu bertingkah laku seperti itu?"

"Penolakan, Dhil. Penolakan! Di desa ini, hampir tidak ada acara-acara lamaran yang berakhir penolakan. Semua acara lamaran diterima karena sudah dibicarakan terlebih dahulu antara pihak laki-laki dan perempuan. Dan kami, para sesepuh tidak tahu kalau Si Sugiarto itu belum pernah membicarakan ini pada Sri Rahayu. Keluarga Sri Rahayu saja kaget dengan kedatangan kami.

Muka orangtuamu ini, Dhil. Seperti dicoreng moreng pakai arang. Malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi Pak Dhe mu yang berbicara. Si Sugi itu hanya berasumsi sendiri, kalau lamarannya bakal diterima. Dia belum pernah menanyakan secara langsung bagaimana perasaan Ayuk. Sepertinya dia memang meniatkan untuk mempermalukan para orangtuanya.

Apalagi, sebagian dari Pak Dhe, Bu Dhe dan bulekmu, sudah terlanjur cerita kepada kawan-kawan kami. Keluarga besar ini akan berbesan dengan Pak Lurah. Nyatanya semua kandas. Sekarang, tersisa rasa malunya saja. Kelewatan memang Si Sugiarto itu."

Ibu berkata dengan nada sedikit geram. Aku sudah menduga semua ini di awal. Aku tahu betul sejauh mana hubungan Kang Sugi dengan Ayuk. Jangankan menanyakan perihal perasaan, Kang Sugi pun malu secara terus terang titip salam pada Ayuk. Kakanganku yang gagah berani itu klepek-klepek hatinya, berkutik tak berdaya di depan Sri Rahayu. Dia hanya dimenangkan asumsinya sendiri, benar kata ibuku.

Tapi, melihat ibuku geram membicarakan itu, aku juga jadi kasihan dengan Kang Sugi. Dia tidak mungkin dengan sengaja meniatkan mempermalukan para sesepuh keluarga ini. Dia hanya bingung dengan perasaannya.

"Bu, tidak mungkin Kang Sugi berniat seperti itu. Dia hanya tidak tahu cara menyampaikan dengan baik."

"Sudah dewasa kok gitu saja tidak paham."

"Dia hanya dikuasai perasaan, Bu."

"Sudah, terusin saja kamu bela Kakanganmu itu." Ibu berkata dengan geram lalu meninggalkanku sendirian di ruang tamu.

Hatiku rasanya ikut tidak enak. Kasihan dengan Kang Sugi. Sudah dia ditolak gadis pujaan hatinya, dia juga jadi bulan-bulanan para sesepuh keluarga kami. Aku tahu betul, pasti Kang Sugi tidak pernah bermaksud mempermalukan keluarga ini. Dia, dia memang hanya bingung harus berbuat apa dengan perasaannya yang semakin mendesak itu.