Ah, rasanya lelah sekali melakukan perjalanan dari Bali ke Jakarta. Saat ini, aku hanya ingin cepat sampai di rumah dan tidur, karena besok aku harus ke kantor untuk mengurus segala sesuatu yang belum terselesaikan sebelum liburan. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00, tapi aku belum melihat Papa menjemputku, padahal sudah ku katakan padanya, kalau aku akan sampai di Bandara siang ini.
Selama di Bali aku memang menyewa mobil untuk bepergian, akan repot jika dari Jakarta ke Bali dengan menggunakan mobil pribadi. Akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga, badan juga taruhannya, karena lamanya dalam perjalanan. Barang bawaan serta oleh-oleh yang ku bawa memang sangat banyak, dan membuatku agak kerepotan juga membawanya. Sekar saja tak ada hentinya ngedumel sejak tadi, gara-gara aku membeli oleh-oleh sangat banyak dari Bali.
Sebenarnya, Papa dan Mama tak memintanya, apalagi mereka sudah sering liburan kesana berdua. Oleh-oleh ini ku beli untuk Jonathan, sebagai permintaan maaf karena membiarkan dia tidak ikut pada liburan kali ini.
"Ini gimana bawanya sih, Pa. Banyak banget beli oleh-oleh buat si Jo, ku kira cuma beli oleh-oleh yang kardus besar tadi. Gak taunya masih ada lagi, ngapain sih beli oleh-oleh segini banyaknya. Buang-buang uang saja."
"Kamu dari tadi asik ngomel aja terus, yang beli Papa kok. Gak pakek uang Mama. Kasian Jo, Papa sudah janji sama dia, bakalan bawain oleh-oleh yang banyak. Karena gak ikut liburan, dia gak ikut juga karena permintaan Mama, kan!"
"Loh, kok jadi Mama yang disalahin sih. Jonathan gak ikut liburan sudah menjadi keputusan kita kan, sebagai hukuman karena dia lalai jaga Vio. Papa gimana sih! Ngelimpahin kesalahan sama Mama, padahal jelas-jelas Papa juga setuju."
"Iya, tapi Papa setuju karena Mama sangat memaksa. Mau tak mau Papa menyetujui kemauan, Mama."
Akhinya Sekar diam, dan tak membantah lagi. Dia selalu begitu jika mengenai Jo, apakah dia tak bisa bersikap baik dan menyayangi Jonathan seperti Gavriel. Jo adalah anak yang baik, meski bukan terlahir dari rahimnya. Jo tak pernah berulah, kecuali ada kesalahan kecil yang tak sengaja ia perbuat.
Beberapa menit aku menunggu Papa menjemput, tapi tetap saja tak kunjung datang. Sebenarnya kemana saja sih Papa, mengapa lama sekali. Aku benar-benar lelah menunggu dari tadi, hampir setengah jam aku menunggu. Gavriel juga terlihat sudah tertidur saking lamanya menunggu, apa mungkin terjadi sesuatu pada Papa atau Mama? Aku jadi cemas sendiri memikirkan mereka.
"Ini jadi dijemput apa nggak sih, Pa. Kenapa lama sekali? Lenganku sudah tak kuat memegang Gavriel yang sejak tadi sudah tidur, kenapa tak coba kau hubungi Papa? Kalau memang Papa gak bisa jemput, mending pakek taxi online saja. Pras sama Ningrum saja sudah dari tadi dijemput sama supirnya."
Lagi-lagi Sekar mengomel karena Papa yang tak kunjung datang. Meski sebenarnya aku juga lelah menunggu dari tadi, mau tak mau aku turuti kemauan Sekar untuk menelvon Papa. Hingga beberapa saat aku mencoba menghubungi Papa, tapi tetap saja tak diangkat.
"Yasa, disini." Panggil seseorang dari kejauhan, aku berbalik dan menoleh pada asal suara tadi.
"Kenapa lama sekali sih, Pa?" Tanyaku pada Papa yang sudah mendekat kearah ku. Dia berjalan beriringan bersama Jonthan, yang dituntun oleh Papa.
"Papa, aku kangen." Jonathan berhambur kearahku, dan memelukku. Ku balas pelukan anak kecil berusia 8 tahun itu, sorot matanya terlihat tulus dan menggambarkan kerinduan yang sangat mendalam. Meski ia tak ku bawa berlibur, nyatanya dia tidak menyimpan dendam ataupun marah sekalipun padaku.
"Papa juga kangen sama, Jo. Gak nakal kan, selama gak ada Papa dan Mama? Gak ngerepotin Kakek sama Nenek juga kan?" Ucapku seraya berjongkok untuk mengimbangi tinggi Jonathan.
Dia menggeleng dan tersenyum. Sungguh, saat ini aku merasa bersalah padanya. Padahal, saat ingin berangkat liburan saja aku tak memberitahu dia. Tapi, dia sama sekali tak menampakan kemarahan padaku. Meski semua itu ku lakukan untuk menghukumnya.
"Sudah, sudah. Ayo! Kita cepet pulang. Aku capek tau dari tadi megang Gavriel." Sekar membuyarkan percakapanku dengan Jonathan. Papa hanya melihat sekilas, dan paham bahwa saat ini Sekar memang sedang memegang Gavriel yang sedang tertidur pulas.
"Ayo, Yasa. Biar Papa yang bawakan barang-barang kamu."
Beberapa barang sudah Papa angkut menuju mobil. Jonathan juga membantu mengangkat barang yang bebannya tidak berat, dia memang anak baik. Tak salah, jika aku tetap mempertahankan untuk mengadopsi dia.
Dua koper dan juga barang-barang yang ku beli dari Bali semuanya sudah masuk kedalam bagasi mobil, setelah semua dirasa sudah beres. Aku dan Papa masuk kedalam mobil. Sedangkan Jonathan dan Sekar sudah sejak tadi masuk kedalam mobil, karena cuaca hari ini lumayan panas.
Jonathan duduk didekat Gavriel yang dibaringkan dibangku tengah oleh Sekar, sedangkan Sekar duduk dekat dengan Gavriel, karena pahanya digunakan untuk kepala Gavriel yang sedang tidur. Aku dan Papa masuk dibagian depan mobil, ku biarkan Papa yang menyetir. Karena takut terjadi sesuatu dijalan, jika aku yang menyetir. Sebab rasa lelahku, takut mengakibatkan aku mengantuk dan bisa-bisa terjadi kecelakaan.
"Oya, Pa. Kenapa tadi lama sekali? Apa ada sesuatu yang terjadi sebelum Papa berangkat menjemputku?"
"Papa lupa ngasih tau Jo, kalau mau jemput kamu. Jadi, Papa nunggu. Jo dulu tadi buat siap-siap karena dia mau ikut katanya." Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Papa tadi tanpa merespon apapun lagi.
"Aku kira tadi Papa lama, karena terjadi sesuatu dijalan. Kami jadi khawatir, dan untuk kamu, Jo. Kalau mau kemana-mana kamu gak usah ikut saja, Mama capek tau nungguin dari tadi. Eh, ternyata penyebabnya kamu yang bikin lama!" Lagi-lagi Sekar menyalahkan Jonathan karena lama menunggu Papa.
Jonathan menunduk mendengar ucapan Sekar, yang sedikit pedas padanya. Kasian dia, selalu saja mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari ibunya. Padahal, ku lihat dia sangat menyayangi Sekar seperti Ibu kandung sendiri, meski kenyataannya dia belum tau, kalau Sekar bukanlah Ibu kandungnya.
"Maafin Jhonathan ya, Ma." Ucap Jonathan dengan tetap menundukkan kepalanya, aku yakin dia merasa bersalah saat ini. Meski tindakannya menurutku tidak salah.
"Jangan begitu, Sekar. Jonathan itu hanya rindu dengan Papa dan mamanya, makanya dia ingin ikut menjemput tadi. Bayangkan saja, seminggu ditinggal orang tua. Anak mana sih, yang gak kangen pengen cepet-cepet ketemu."
Papa membela Jonathan, dan Sekar pun tak berani menjawab. Ya, dia memang tak bisa membantah perkataan yang keluar dari mulut orang tuaku. Jika padaku, mungkin dia masih tetap akan membela diri. Tapi, jika sudah berhadapan dengan Papa atau Mama, dia tak berani mengatakan apa-apa lagi.
Papa dan mamaku memang sangat menyanyangi Jonathan sejak dulu. Bahkan mereka tak pernah membeda-bedakan antara Gavriel dan Jonathan, mereka menganggap Jonathan dan Gavriel sama saja. Papa pernah bilang, kalau kehadiran Jo merupakan berkah dari Tuhan pada keluargaku. Hingga Papa selalu berpesan, untuk tidak menyia-nyiakan Jonathan meski sudah ada Gavriel. Berkat merawat Jonathan pula, aku dan Sekar bisa memiliki buah hati. Yaitu dengan belajar menyanyangi anak yang bukan darah dagingku sendiri.