webnovel

15. Myujin Dilema

Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali Myujin menginjakkan kakinya di lapangan kematian tersebut. Bau busuk langsung menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Myujin segera menutup hidungnya dengan telapak tangan. Banyak sekali petugas yang berdiri dengan sekop di tangannya.

"Myujin! Tangkap ini!"

Myujin hampir saja tertimpa sekop yang melayang ke arahnya. Namun berkat refleknya yang bagus, ia berhasil menangkap gagang benda tersebut. Ia sudah tidak terlalu mengingat wajah orang yang saat ini menghampirinya.

"Sepertinya kau masih tetap menjadi kekasih Ben," ujar pria tersebut.

Myujin mengernyitkan dahinya. "Siapa kau?"

Pria itu menunjuk wajahnya sendiri. "Aku? Kau lupa denganku?"

Myujin mengangguk tanpa ragu. Tentu saja responnya membuat pria itu menghela napas pelan. Ia merasa kecewa sudah dilupakan begitu saja.

"Aku Frank, petugas dari ruang sifilis. Dulu kita pernah menggali bersama," kata pria itu dengan penuh semangat.

Myujin meringis saat mendengar ucapan pria tersebut. "Nampaknya kau senang ya hidup di neraka ini."

Frank hanya menjawabnya dengan tawa. Lalu tidak lama, Ben muncul dari balik pintu. Ia meniup peluit dengan keras hingga memekakkan telinga. Semua orang yang memegang sekop langsung mulai menggali, kecuali Myujin. Ia berjalan cepat menghampiri Ben yang duduk di kursi sembari meminum kopi.

"Kau ingin memanfaatkanku?!" protes Myujin.

Ben mengerjapkan kedua matanya. "Kau benar-benar datang hanya karena anak itu?"

"Sialan kau!"

Bugh!

Tanpa mengatakan apa pun, Myujin melayangkan pukulan ke arah Ben. Semua orang yang tengah menggali langsung berhenti. Salah satu petugas yang selalu membawa pistol mulai menodongkan senjata itu pada Myujin. Namun Ben berusaha untuk menenangkan semuanya.

"Biarkan saja. Ini kesalahanku," ujar Ben.

Dokter gila itu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Lalu ia menunjukkan sebuah foto pada pria penuh amarah di hadapannya. Myujin menyambar benda itu, seketika matanya membulat sempurna.

"Ini ...."

"Ya, dia putramu." Ben tersenyum miring lalu menyambar ponsel tersebut. "Anak buahku menangkap dia di real estate yang pernah kita datangi 4 tahun lalu."

Myujin memicingkan kedua matanya sembari menggeleng pelan. Ia masih tidak yakin pria yang ada di dalam foto itu putranya. Ia tidak bisa melihat wajahnya karena gambar yang buram.

"Apa kau yakin?" tanya Myujin.

Ben mengangguk dengan tegas. "Tentu saja. Aku sangat mengenal setiap targetku."

"Apa yang dia lakukan di sana?" tanya Myujin.

Ben menepuk Myujin beberapa kali. "Mungkin mencarimu. Bagaimana jika kau bekerja denganku, lalu aku melepaskan putra dan istrimu?"

Myujin terdiam di tempatnya. Hingga sebuah tembakan ke udara meluncur dengan cepat. Ben menunjuk ke arah kumpulan orang itu sembari tersenyum.

"Silakan kerjakan tugasmu."

Langkah berat membawanya ke tengah lapangan. Ia mulai menggali selayaknya pekerja lain, namun ia terus memikirkan Gill. Putra satu-satunya itu sekarang sudah menjadi incaran dokter gila tersebut. Jika Julia mengetahui hal ini, dia pasti akan sangat khawatir.

Bagaimana jika aku menerima tawaran itu?

~~~

Gill berusaha masuk ke jendela yang semula dijadikannya untuk keluar, namun sangat sulit. Bahkan walau ia menariknya sekuat tenaga, tetap saja tidak ada perubahan. Jeremy menarik tubuh Gill ke belakang, lalu ia mengambil alih jendela tersebut.

"Anak muda sepertimu tidak akan bisa membuka ini," ujar Jeremy sembari meregangkan jemarinya.

Gill hanya bisa menghela napasnya begitu mendengar ucapan Jeremy. Anak yang lebih muda 2 tahun darinya itu selalu saja bertingkah sok tua. Ia membiarkan sahabatnya itu membuka jendela yang sepertinya sudah mati.

Jeremy menarik jendela itu sekuat tenaga hingga urat-urat di lehernya terlihat, namun tidak kunjung terbuka. Ia mundur satu langkah hingga menyamai posisi Gill. Lalu kedua sudut bibirnya tertarik hingga membentuk senyuman lebar.

"Sepertinya sudah rusak," ujar Jeremy.

"Kau yang menutup jendela itu, 'kan? Apa yang kau lakukan setelah itu?" tanya Gill.

Jeremy mengangkat bahunya. "Entahlah, mungkin orang-orang di dalam sana yang menutupnya."

Helaan napas lolos dari mulut Gill. Akhirnya mau tidak mau, mereka harus masuk lewat pintu depan. Namun besar kemungkinan mereka bertemu dengan dua rombongan orang asing tersebut. Maka dari itu keduanya harus terus merapatkan tubuh dengan dinding agar tidak terlihat, apalagi saat ini matahari sudah mulai bersinar.

Begitu tiba di depan pintu, Gill sangat terkejut mendapati rumah itu sudah rusak. Pintu yang semula terlihat kokoh kini sudah tergeletak di lantai. Lalu ia juga melihat cukup banyak bercak darah di rumah tersebut. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah itu untuk mencari Revanta dan kedua temannya.

"Kau cari ke kamar, aku ke dapur!" ujar Gill.

"Bagaimana kalau aku ke dapur dan kau ke kamar?" tawar Jeremy.

Gill mendecak kesal sembari berlari ke arah kamar. Kondisinya tidak jauh berbeda. Pintu sudah rusak dan banyak bercak darah di lantai. Tempat itu seperti bekas pembataian masal. Tentu saja itu membuat Gill semakin yakin kalau Revanta dan kedua temannya sudah tertangkap.

"Apa kau menemukan mereka?" tanya Gill sembari berlari ke arah dapur.

Begitu tiba di pintu dapur, ia melihat Jeremy yang terpaku di tempatnya. Ia memandang ke arah jendela dengan tubuh gemetar. Begitu Gill mengikuti arah pandangan sahabatnya itu, ia juga ikut terkejut.

Sebuah kepala tanpa badan tergantung di jendela. Mungkin itu ssebabnya sangat sulit untuk membuka jendela tersebut. Namun mereka tidak bisa mengenali pemilik kepala itu karena sudah berlumuran darah. Jeremy menepuk-nepuk bahunya tanpa mengalihkan pandangan. Ia menunjuk ke arah langit-langit rumah. Gill menengadahkan kepalanya dengan cepat. Seketika kedua matanya membulat sempurna. Nampak sebuah pesan tertulis di atas sana.

Halo, Gill Nath.

~~~

Revanta berlarian tanpa arah tujuan bersama dengan Bran. Usai kehilangan satu rekannya, ia merasa benar-benar terpukul. Andai saja saat itu ia lebih cepat menembak kepala orang yang masuk ke tempat persembunyian, pasti rekannya itu akan mati.

"Sebelah sini!"

Wanita itu cukup terkejut saat tangannya ditarik. Bran sudah sangat sabar melarikan diri dengan Revanta yang sedari tadi seperti orang linglung. Saat ini mereka memutuskan untuk bersembunyi di dalam mobil bekas yang tidak terkunci. Revanta menekuk bibirnya, Bran dengan cepat membekap mulut wanita itu.

"Jangan menangis," ujar Bran nyaris tidak terdengar.

Revanta mengangguk lemah. Bran menjauhkan tangannya dari wajah wanita tersebut. Tiba-tiba rombongan orang yang sedari tadi mengejarnya mulai mendekat. Revanta dan Bran merunduk agar tidak terlihat.

"Sepertinya mereka sudah pergi," kata Bran.

Revanta mengangguk pelan. Mereka bangun bersamaan hingga beradu kepala. Keduanya tertawa beberapa saat, Bran mengusap kepala wanita di dekatnya tersebut.

Cinta sepihak. Entah sudah berapa lama Bran menyimpan perasaan pada wanita itu. Selama ini ia mempertaruhkan hidupnya hanya untuk menyelamatkan Revanta. Bahkan 4 tahun lalu saat tempat tinggal mereka diporak-porandakan, Bran langsung menyelamatkan wanita itu.

"Kepalamu sakit?" tanya Bran.

Revanta menggeleng sembari tersenyum. "Tidak, bagaimana denganmu?"

Bran juga menggeleng, lalu tertawa sebentar. Untuk sesaat mereka bisa bernapas dengan santai. Namun mereka harus terus bersiap untuk berlari jika rombongan orang asing itu menemukannya. Bran menatap lekat-lekat wanita yang tengah mengikat rambut. Seulas senyum terbit di bibirnya.

Aku pasti akan melindungimu, Revanta.