webnovel

delete 8416

"Truth ... or dare?" kali ini ujung botol itu mengarah pada Raja. "Dare!" jawabnya tanpa pikir panjang. Kira-kira tantangan apa yang diberikan pada Raja yang akhirnya merubah hidupnya? Menyeret kelima nama lain, menjebak mereka dalam hidup penuh kegilaan. *** Selamat membaca buku ke empatku. Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon maaf jika terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, dan situasi. Beberapa chapter akan mengandung adegan dewasa. Terima kasih. - Happy reading my fourth book. Thank You

Qiy_van_Wilery · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
5 Chs

Pagi Gia : Kehidupan Kota

Satu persatu kancing atas pakaiannya ia lepas, lalu Gia melepas shoulder jumpsuitnya hingga pakaian pinjaman Teya itu turun ke bawah. Gia membebatkan handuk melingkupi tubuhnya lalu berjalan gontai menuju kamar mandi.

Tanpa kacamata, pandangan Gia sedikit kabur dan tak jelas seperti umumnya. Beruntung dia hanya mengalami rabun jauh sehingga untuk jarak dekat, dia pikir tak perlu kacamata hanya untuk sekedar mandi.

Gegas Gia mempercepat langkahnya menuju kamar mandi. Dia berpegangan pada tembok halus yang dipoles sempurna dengan cat kualitas mahal. "Ini luar biasa," batinnya.

Saat tengah mengagumi keindahan interior ruangan, Gia tak sengaja menoleh pada sofa yang ditempatkan tepat di dekat pintu ruang wardrobe. Dia kontan menutup mulut, berganti menutup matanya, berganti memegangi handuknya, dia panik.

Gia meraba-raba dinding belakangnya, berjalan mundur menjauh, demi menghindari pemandangan tak biasa pagi itu.

"What theee ...! Itu Raja dan Teya kenapa bisa em-el disini coba. Gila!" pekik tertahan Gia pada dirinya sendiri, mulutnya dibungkam erat dengan tangan kanannya.

Gia melongok, mencoba mengintip dari balik pintu. Rupanya sejoli itu tak menyadari kedatangan Gia karena terlalu sibuk dan Teya sangat berisik saat mendesah.

"Shit! Mana kebelet pipis. Gimana, masak aku ngompol di sini, aduh mampus!" ujaran kesal Gia memegangi bagian bawahnya untuk menahan hasrat ingin buang air kecil.

Di luar kamar, Raja dan Teya semakin mempercepat lajunya. Dalam posisi mereka sekarang, Teya mendominasi pergerakan dan itu membuat dia tak dapat memelankan desahannya. Raja semakin bersemangat, dia memeluk pinggang Teya erat, sesekali mencium bibirnya lembut.

Tak berapa lama, Teya ambruk dalam pelukan Raja. Keduanya menyelesaikan permainan di menit ke lima belas. Pakaian atas Teya terbuka setengah sedangkan Raja sudah tak mengenakan apapun.

Gia berjongkok, sembunyi dalam balutan handuk, menunggu permainan selesai. Tadinya dia sampai harus berjalan pelan mondar-mandir dalam kamar untuk mengalihkan sejenak keinginan buang air kecilnya, "semoga habis ni, gak kena batu ginjal deh, huhuu ... mereka lama amat dah."

Tiba-tiba sepi. Gia mengintip sekali lagi perlahan dari balik pintu. Tampak olehnya, Raja sedang mengaitkan resleting celana lalu meraih kemeja biru muda yang dilemparnya begitu saja tadi sebelum memulai permainan. Dia juga melihat Teya terkulai lemas di sofa hanya dengan celana dalam dan kemeja yang menampakkan belahan dadanya.

"Tahaann.. bentar lagi mereka juga pergi," pikir Gia.

Dia kembali membalikkan badannya agar tak ketauan oleh si empunya rumah karena sudah menjadi saksi pertarungan gulat pagi itu.

Tak disangka, Raja justru berjalan menemuinya di kamar karena masih penasaran dengan tamu asingnya. Dia tak tahu bahwa Gia yang berbalut handuk, sedang menanti dengan resah untuk menuju kamar mandi.

Saat Raja berada di ambang pintu, Gia memekik kaget karena tiba-tiba saja, pandangan matanya beradu dengan sosok pria yang menatapnya keheranan.

"Kyaa!! Tidak! Tidak! Aku tidak tahu, aku tidak lihat!" Gia gelagapan sebab ketakutan melihat Raja yang mematung di hadapannya.

"Kamu siapa .. mana pakaianmu?" tanya Raja heran.

"A- aku, aa.. aku, Gia," jawabnya sambil mencengkeram erat ikatan handuknya -khawatir melorot saking takutnya.

"Gia? ... Gia, pacar Bram?" tanya Raja dengan alis yang menyatu.

Gia mengangguk cepat, dia seperti mendengar nama Bram disebut. Anggukannya dirubah cepat, dia menggeleng kini, "bu- bukan, cuma temen," ralatnya.

"Kamu nginep sini dari semalam? Kamu yang ngantar Bram semalam kan?" Raja mengedarkan pandangannya mengintip dari sela leher Gia, dia kira Bram juga ada di kamar tersebut.

"Iya, ka- kata kak Teya, aku boleh nginap sini. Ma- maaf.." Gia menunduk segan menatap Raja yang luar biasa tampan dari jarak dekat dan dia sedang tidak rabun.

"Kamu kenapa gelagepan gitu sih daritadi? Kamu gagap, ha?"

"E- Emm.. tidak.. anu, uum.."

"Kamu mau ke kamar mandi?"

Gia mengangguk cepat kini, "boleh permisi?"

"Silahkan saja, keburu ngompol kamu!" tawa Raja melihat raut konyol Gia.

Dengan enteng, Raja kemudian menghampiri Teya yang masih merapatkan matanya di sofa. Dia memakaikan rok mini jeans yang dilepasnya tadi. Tak peduli apakah Gia sempat melihat, Raja memilih untuk tidak memikirkan hal tersebut. Dia lah pemilik rumah ini. Dia lah Raja di rumah ini. Dia bebas berbuat semaunya. Dan Teya, akan dia puja selamanya.

"Beb ... jangan pura-pura tidur deh, haha.. ayo turun."

"Huum.. capekk! Gendooongg..." rengek Teya

Raja pun berlutut membelakangi Teya tanpa membantah. Dia menepuk pelan punggungnya, disusul Teya yang memeluknya dari belakang. Raja berdiri setelah dirasa Teya sudah berpegangan erat pada dada bidangnya.

"Hopla! Kita tidur di bawah, kasian tamunya jadi tidak leluasa."

"Humm.." Teya tak mampu berkata, dia menjatuhkan kepalanya di ceruk leher sang Raja.

***

Bram bangun dan mendapati dirinya telah berada di kamarnya yang serba hijau. Dia melirik sekilas pada jam dering di nakas, lalu menggeliat kuat meregangkan otot-ototnya. Rasanya seperti tidur seribu tahun lamanya, dia merasa haus.

"Kayaknya Gia yang nyetir semalam. Dimana dia?" tanya Bram pada dirinya sendiri. Diraihnya ponsel lalu cepat menelepon Gia menanyakan keberadaannya.

Tak ada jawaban, Gia masih berlama-lama di kamar mandi. Dia ragu untuk keluar dan melintasi sofa itu lagi. Meski di luar sudah sepi dari suara, melihat Teya tertidur tadi membuatnya berpikir bahwa pasangan itu masih di sana.

Setelah cukup kedinginan, Gia memutuskan untuk membuka pintu sedikit dan mengintip ke luar. Dia tak mungkin berlama-lama lagi di kamar mandi, bibirnya membiru, badannya menggigil.

"Sudah gak ada siapa-siapa," monolognya lagi.

Gia melenggang bebas kini masih berbalut handuk, kembali ke kamar tidur untuk berpakaian. Dia kembali menggunakan bajunya semalam, rok selutut dengan tanktop dan jaket jins murah yang ia beli di pasar.

Setelah berpakaian, dia melipat lagi baju Teya lalu meletakkannya di meja rias. Diraihnya ponsel tanpa mengeceknya terlebih dahulu, lalu ia segera berjalan menuju lift dengan menenteng tas bertali pendek miliknya yang dibeli di pasar juga.

Lift terbuka. Pemandangan di depannya sungguh luar biasa indah. Jalan raya dengan hiruk pikuk kendaraan yang nampak kecil dari tingkat atas apartemen Raja. Rumah-rumah dan pertokoan yang hanya terlihat bagian atasnya. Taman kota dan deretan pohon penghijauan yang membuatnya berdecak kagum.

Jendela kaca di depannya hanyalah pembatas agar Gia sadar bahwa dia sudah terlalu banyak melangkah. Dia belum pernah melihat hal seperti itu sebelumnya. Desa tempatnya tinggal adalah desa kumuh dengan ayam dan kucing dimana-mana lengkap dengan kotoran hewannya juga. Dia sudah meninggalkan desanya itu beberapa bulan lalu untuk berkuliah di kota dan memilih tinggal di kos sederhana.

Suara selentingan piring terdengar, kebetulan Gia juga telah lapar. Nalurinya mengarah pada sumber suara. Dia sebenarnya berharap dapat segera pergi dari kediaman Raja. Dia masih teringat pergulatan pagi yang ia saksikan tadi. Namun, dia ragu, apakah uangnya cukup untuk membayar taksi pulang.

"Gi," sapa Raja menoleh, yang ternyata sedang menikmati nasi goreng buatannya sendiri. "Sudah mandinya? Sarapan, Gi!" ajaknya kemudian.

***