Sinar mentari pagi menyirami ribuan rumput di tengah halaman, patung seorang dewi memegang kendi menjadi ikon air mancur. Lalu lalang mahasiswa di depan perpustakaan utama tampaknya tak pernah surut. Namun, kelas pagi tidak selalu dijadikan alasan untuk bersemangat. Sebab bisa kulihat beberapa wajah masih tampak merindukan kasur dan bantal mereka. Ya, pekerjaan mahasiswa bukanlah sekedar pulang-pergi kampus dan nongkrong di kafe. Banyak hal yang perlu dilakukan untuk sekedar mengejar dan memenuhi tugas dosen. Aku sendiri awalnya kewalahan menyadari kehidupan kuliah yang tidak ramah. Bebas, akan tetapi perlu membentengi diri agar tidak larut-larut dari hal yang merugikan.
Sudah beberapa kali aku menelepon kontak Flo - perempuan yang sempat kukirimi pesan sejak kemarin. Namun, hingga pagi saat kelas dibatalkan secara mendadak pesan itu masih belum terbaca. Aku penasaran bagaimana keadaan Flo sebenarnya, apa dia terlanjur mabuk atau bagaimana. Oh iya soal kelas yang dibatalkan datang secara mendadak. Tepat saat aku memasuki gerbang kampus, pesan singkat masuk di grup chat.
'kelas pagi dibatalkan, diganti pukul 2 siang' - Mrs Bianca
Seketika aku langsung merutuki wanita yang sengaja mengecat rambutnya memakai warna silver itu. Sudah beberapa kali dosen seperti Mrs Bianca mengganti jadwal kuliah, seharusnya aku sudah terbiasa, namun ternyata masih sama saja.
Tak ada tempat lain di kampus yang biasa kukunjungi selain kelas dan perpustakaan. Aku bukan tergolong mahasiswa aktif, jadi lingkaran pertemanan pun sangat sempit. Kurasa ini bawaan masa SMA dulu, aku jadi malas berorganisasi. Sungguh kesan yang amat kelam lagi menyayat hati. Satu kelas kami diwajibkan mengikuti ekstrakurikuler baru untuk percobaan, bisa dibayangkan bagaimana menjadi kelinci percobaan sekolah. Aku sudah terbiasa. Kami diminta menjadi peneliti abal-abal dan menuliskan karya ilmiah tak sesuai standar. Tak ada yang bisa sekelas protes sebab biaya sekolah kami sudah ditopang sepenuhnya asal menjalankan program dadakan tersebut. Entah untuk tujuan apa yang jelas kami menurutinya.
Pelatihan demi pelatihan kami lahap dengan paksa, kajian teori yang tak sampai di kepala, metodologi ilmiah yang membingungkan, semua kami lalui di tahun pertama dan kedua. Meski setiap prosesnya membuat gunung berapi dalam otak ingin meledak, namun aku mengakui aku menikmati. Sedikit demi sedikit aku mulai tertarik dengan dunia penelitian, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencapai sesuatu. Bulir-bulir keringat kukerahkan sepenuhnya demi suatu karya ilmiah yang sempurna. Semua aku lakukan semata-mata ingin membalas budi dan mengangkat nama sekolah. Namun, sebuah kejadian mengubur keinginan mulia itu. Kenyataan yang sangat melukai hati dan kerja kerasku, berbagai kepalsuan membuatku benar-benar muak. Dan anehnya, semua sebab itu berkaitan dengan Giny. Ya, aku memang tidak menyukainya.
Total sepuluh kali aku menelepon Flo, hanya tertera berdering yang tak kunjung diangkat. Flo membuatku kesal dan cemas seketika, kemana perginya perempuan penggemar burger cheese itu. Aku sungguh tak sabaran dan memasuki bangunan bertangga banyak sendirian. Baiklah, seperti biasa aku akan bersemedi berjam-jam penuh tanpa gangguan penting sambil menunggu kelas Mrs Bianca jam 2 nanti.
***
Empat tumpukan buku tebal di meja tak kunjung tersentuh oleh jemari tangan yang kukunya dicat merah menyala. Ada apa denganku? Tiga jam sudah aku didalam gudang penyimpanan buku yang penuh kunjungan meskipun tanggal merah, tetapi belum habis satu bab pun bacaanku. Biasanya aku sudah melahap satu bab tiap seperempat jam, sepertinya hari itu sedikit berbeda. Ditambah sentuhan tangan di pundak mengagetkan.
"Aster"
Ia hanya memanggilku pelan, namun reaksiku seperti orang jantungan.
"Elia, kau disini?" tanyaku pada perempuan berambut coklat bergelombang.
"Ya, aku sedang mencari buku sambil menunggu kelas jam 2,"
Elia sekelas denganku, bukan teman dekat, ia hanya sebatas pelengkap kelas. Bahkan kami sangat jarang menyapa.
"Kalau begitu sama, aku menunggu sejak tadi, rasanya seperti sudah berkarat,"
Elia tertawa kecil menanggapi. Tiba-tiba aku teringat soal kelas yang sengaja aku lewatkan akibat detektif sialan bernama Iqbal.
"El, apa kau mengikuti kelas sebelumnya?"
"Tentu, kau tidak mengikutinya ya? kudengar ada semacam kasus di rumah itu," Elia balik bertanya.
"Ya, sepertinya ada orang iseng yang memecahkan kaca jendelaku, tetapi polisi terlalu memandang serius, aku tidak tahu juga, pelakunya belum diumumkan," aku berakhir mengedikkan bahu.
"Wajar kalau polisi menganggap serius, bukankah itu pertama kali teror terjadi di lingkungan sana, lagian kalau tidak salah batu dilempar bersama kertas bertuliskan 'pembunuh' kan? Oh itu sungguh hal yang mengerikan, seolah pelaku ingin mengungkap kedok pembunuh di rumah Nyonya Jean, aku bahkan bisa langsung pindah jika tinggal disana," ucap Elia membuatku merasa tidak nyaman.
Aku menghembuskan nafas kuat-kuat agar Elia segera menghentikan perkataannya. Telingaku tidak punya kesabaran yang banyak untuk mendengar sindiran orang.
"Oh Ya Tuhan, bagaimana kabar bisa beredar secepat angin?" keluhku menyesali Elia. Kurasa ia sudah cukup banyak mengetahui, padahal kukira teror jendela akan jadi kasus private untuk menjaga kenyamanan lingkungan rumah. Ternyata tidak.
"Aku hanya mencuri dengar dari Jessica, ia sedang mengumbarnya dengan gratis di kantin fakultas sebelah,"
Oh tidak, beraninya anak itu, apa dia sudah meminta izin pada polisi, tidak, itu bukan urusan polisi. Apa dia sudah bertanya pada Nyonya Jean untuk membeberkannya? Kalau belum, maka wanita tua itu yang akan menanggung. Jika kasus itu tersebar luas, maka citra rumah Jean akan buruk dan tidak menutup kemungkinan rumah itu akan sepi penyewa. Bukankah akan merugikan satu pihak?
"Apa anak itu membocorkan banyak hal?" tanyaku dengan nada memaksa jawaban.
"Entahlah"
Aku buru-buru membereskan buku sambil menggerutu dalam hati.
"Sungguh, seberapa jauh si rambut jagung itu bercicit? Aku harus segera membungkamnya,"
Semua demi kenyamanan bersama, aku tidak ingin perbuatan sepele Jess menghancurkan rumah Jean. Tidak tahukan ia betapa pentingnya menyimpan informasi. Sebab beberapa berita ada yang tidak baik untuk disebar secara sembarangan. Salah satunya yang melibatkan polisi di dalamnya.
"Dasar tidak tahu diri, jika Nyonya Jean mengetahui pasti anak itu akan diusir, biarkan saja ia menginap di rumah kawannya yang suka mengupil itu, pasti akan jadi neraka," lanjutku terus menggerutu sepanjang perjalanan keluar dari perpustakaan.
Kurasa tidak jauh jaraknya untuk sampai ke kantin fakultas hukum, biarlah aku menyumbat bocornya mulut Jessi sebelum lebih banyak informasi yang tak terselamatkan. Tunggu, apa hanya Jessi yang membeberkan kasus itu, bagaimana dengan Ari? Akankah ia melakukan hal yang sama, oh betapa pusingnya aku. Jika hal itu terjadi, teror jendela akan semakin luas menyebar, dan selanjutnya tidak hanya memperburuk citra rumah Jean, tetapi juga - diriku. Sungguh betapa malangnya nasibku. Bagaimana nanti jika seisi kampus mengetahui batu dengan kertas bertuliskan 'pembunuh' itu mendarat di kamarku. Pasti mereka akan berpikir jika aku memanglah penjahat, aku yang dimaksud Elia soal kedok pembunuh di rumah Jean. Duniamu akan hancur sebentar lagi, tunggu saja itu Aster.
Langkah kakiku memberat semakin aku berpikir hal yang tidak-tidak, apa masih sempat untuk menutup mulut Jessi. Bagaimana jika informasi itu menyebar lebih cepat bahkan sangat cepat dari perkiraanku. Aku mudah sekali panik dan berpikir buruk. Aku benci keadaan seperti ini, seolah semesta sengaja menyingkirkanku dari dunia.
#bersambung#