webnovel

11. Percakapan Dengan Nyonya Jean

Tak perlu secangkir teh, aku duduk di sofa turun temurun keluarga Jean - nyonya kamar sewaan paling kaya di South hills. Punggung perempuan tua di depanku menempel di sandaran sofa. Raut wajahnya tampak begitu lelah, kerutan-kerutan kulitnya menjadi semakin kontras. Nyonya periang, baik, nan berwibawa itu seperti kehilangan senyumnya. Aku yang hanya termangu tak tau harus berbuat apa.

Sepasang manik mata dengan iris biru laut memandangku lekat-lekat, seperti ada suatu hal yang amat sulit diucapkan. Nyonya Jean kentara menahan ratusan kata yang bersembunyi di dalam mulutnya. Biar kutebak, ia berusaha meringkas ratusan kata itu menjadi beberapa patah yang singkat sekali diucapkan. Baiklah, aku terus menunggu, setidaknya sampai teh panas di cangkir biru tua menurun suhunya.

Diselingi lenguhan ringan, punggung Nyonya Jean tertarik dari sandaran sofa yang empuk dan nyaman. Ya, aku sudah merasakannya. Sofa kualitas tinggi yang dipesan khusus untuk keluarga Nyonya Jean

"Aster, aku hanya ingin menanyakan beberapa hal padamu, ini benar-benar diluar sudut pandangku, aku tak mengerti harus memulai dari mana, bisakah kau memberi saran?" terang Nyonya Jean membuatku bertanya-tanya sendiri.

Apa yang sebenarnya ingin diketahui oleh perempuan berbaju kuning. Dan tak ada yang bisa kusarankan padanya selain,

"Kau bisa memulainya dengan persoalan termudah Nyonya,"

Kedua sudut bibirnya tampak terangkat meski dipaksa.

"Aster, apa kau mengenal detektif tadi?"

Aku terdiam, yang benar saja, mengapa Nyonya rumah ini bertanya soal Iqbal.

"Ya,"

"Apa hubungan dengannya?" sambung Nyonya Jean secepat kilat.

Sungguh, aku ragu-ragu untuk menjawab, bagaimana mungkin aku membuka kembali kasus yang melibatkanku di masa lalu. Aku takut jika Nyonya Jean akan mengusirku dari sana. Tapi, apa boleh buat? Kutebak Iqbal sudah membocorkan semuanya dan Nyonya hanya ingin memastikan dari mulutku sendiri.

"D-dia adalah detektif yang sama yang menangani kasus pembunuhan temanku di Manor Victoria Black, ia menginterogasiku atas kasus itu, karena aku-" terpotong.

Bibirku terkatup rapat, berat rasanya membuka kembali memori pahit yang sudah terlalu lama terpendam. Sulit untuk mengungkapkan atau lebih tepatnya mengakui kebenaran kasus yang kuanggap tak pernah terjadi itu.

"Orang terakhir yang dihubungi Giny sebelum kematiannya, detektif itu terus curiga padaku Nyonya, aku tak tau harus berbuat apa untuk membuktikannya, aku juga korban,"

Wanita itu menarik napas keras usai menyimak perkataanku, ia menurunkan sedikit kaca matanya.

"Sepertinya teror kemarin memperburuk keadaanmu,"

"Tentu, bahkan detektif itu mengecapku sebagai tersangka, tapi apa buktinya? Hanya kertas kusam dengan tulisan 'pembunuh' itu? Sungguh tak masuk akal, anak umur lima tahun pun bisa membuat lelucon semacam itu,"

Kedua mataku merasuk dalam ke pandangan Nyonya Jean, ada semacam emosi yang tak dapat kutahan saat membicarakan teror kembali.

"Nyonya, apa kau percaya jika aku yang membunuh temanku itu?" tanyaku mencari pendapat.

"Aster, aku bersumpah, jika aku menjadi detektif itu aku tidak akan percaya pada sesuatu yang tidak terjadi di depan mataku," jawab wanita tua setidaknya sedikit memberikan jiwaku ketenangan.

Nyonya Jean kembali menyesap teh hangatnya, lalu membiarkanku pergi. Aku kembali menyusuri tangga ke lantai dua, setiap pintu kamar yang kulewati tenang tanpa kegaduhan. Kemana para penghuni kamar? - tanyaku dalam hati.

***

Malam itu, aku kembali menginap di kamar Ariana. Kabar baiknya, Jessica dan Rose turut bergabung,

"Mereka ingin membantumu melupakan kekhawatiran atas teror kemarin," terang Ari saat dua perempuan berbaju putih dan merah masuk.

Kuakui, betapa niat baik mereka membuat hatiku tersentuh. Ya, aku memang sedang mengkhawatirkan diri sendiri, terlebih semenjak kedatangan Iqbal kembali dalam hidupku.

Jessica menggotong beberapa tumpukan buku dan meletakkannya di sebelah sofa. Tampaknya kedua mata Jessi bersiap maraton membaca rangkaian kalimat dari sana. Sedangkan Rose, ia datang dengan tangan kosong, tapi tenang saja, ia terlalu mahir meramaikan malam hanya dengan mulutnya.

"Nyonya Jean mengundang kita makan malam," ucap Jess ketika bergabung denganku dan Ari di lantai.

"Benarkah? Kuharap bukan pasta atau semacamnya lagi, aku benar-benar bosan," Rose menanggapi keluhan.

"Mengapa tidak makan di luar?" tanyaku tiba-tiba.

"Mustahil, pasti kau belum lihat yang terjadi di bawah sana, lihatlah!" sinis Jess menanggapiku.

Aku segera beranjak, mendekati arah jendela dan mengarahkan pandanganku ke jalanan. Tak ada apapun. Apa Jess ingin mengerjaiku?

"Kau bohong Jess," tukasku bernada menghakimi.

"Tidak, coba perhatikan lebih lama lagi," sahut suara dari balik punggung.

Aku mengedarkan pandangan lagi, dimanapun terlihat kosong tanpa kejadian aneh yang dimaksud Jessica. Ada apa sebenarnya? Langit malam terlihat sempurna untuk keluar mencari restoran atau kafe. Bukankah lebih baik menurutiku jika benar ingin membantuku?

Namun, aku menyadari sesuatu. Ada beberapa pria di luar sana dengan baju yang tidak seragam, beberapa dari mereka mondar-mandir mengawasi rumah ini. Seolah ada hal aneh yang sedang dinanti atau diselidiki. Aku benar-benar tak habis pikir, mengapa polisi melakukan penjagaan ketat seperti itu. Ya, memang baik, tetapi sedikit mengganggu.

Aku berbalik badan, bergabung lagi dengan mereka di posisi semula. Jika makan malam tetap di dalam rumah akan sangat membosankan. Apalagi dengan kehadiran satpam dadakan di luar sana akan membuatku semakin tertekan. Pasti mereka dibawah kendali Iqbal - pikirku.

"Apa tidak boleh jika meminta izin sebentar saja?"

"Kau pikir mereka akan memberikan izin begitu saja?" balas Jess ketus disela-sela fokus pada bacaannya.

"Sudahlah, diam saja disini! Itu lebih aman," sambung Ari membela Jess.

"Diam saja seperti beruang hibernasi? Kupikir itu tak lebih baik, mereka hanya berniat mengurung kita dengan alasan keamanan, ayolah! Kita sudah lama tidak keluar bersama," Rose lebih condong setuju denganku.

"Rose, ini bukanlah waktu yang tepat, kita bisa diskusikan lagi untuk lain waktu," Ariana mencoba mengalihkan perempuan berambut pirang agar mengerti.

"Aku sudah bosan, bisa-bisa kita menunggu sampai mati di rumah ini,"

Kalimat terakhir Rose membuat semua orang tercengang, tak ada jawaban selain keheningan. Aku memberanikan diri bersuara,

"Baiklah, dua lawan dua, kurasa kita butuh satu suara lagi untuk memutuskan," pandanganku beredar, "tunggu, dimana Celine?"

"Pasti di kamarnya," jawab Jess tanpa mengalihkan pandangan dari lembaran kertas.

"Aku akan menjemputnya, biar dia yang memutuskan,"

Aku berdiri, lalu beranjak ke arah pintu. Tanpa sadar, Rose membuntuti di belakang tanpa mengucap sepatah kata pun.

Kami keluar bersama, melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Seperti yang kuketahui biasanya, Celine akan berada di kamar untuk beberapa hal. Jadi, mungkin ada sedikit waktu luang untuk bisa bergabung dengan kami.

Tokk-tokk-tokk

Tak ada jawaban. Aku dan Rose saling pandang. Satu kali lagi. Tak ada respon apapun juga. Hingga untuk ketiga kalinya, muncul seorang wanita berpakaian serba hitam dari balik pintu. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang kami berdua dengan sorot mata yang tidak biasa.

"Hai Celine! kami ingin mengajakmu makan malam bersama,"

"Aku tidak tertarik," jawabnya hampir saja menutup pintu kembali.

"Bagaimana jika makan malam di luar?" tanyaku seketika, membuat Celine membatalkan niatnya.

"Bisakah kita keluar sekarang?"

Aku eagu menjawab pertanyaan Celine barusan.

"Tentu, jika kita bisa nekat melewati para penjaga di luar sana," Rose menjawab demikian.

Dan akhirnya, Celine berada di pihakku. Ia mengekor di belakang setelah Rose, kami ke kamar Ariana untuk mengajak yang lain ikut serta.

#bersambung#