webnovel

03 • [Contract]

Valerie menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam, sedikit mengerutkan dahi ketika secarik kertas bermaterai diulurkan ke arahnya.

"Baiklah, Nona Kim, bisa kau menandatangani ini?" kata Daniel, suaranya datar, seolah kalimat itu tak mengandung makna apapun.

Valerie menatap kertas itu dengan perasaan campur aduk. Di bagian atas tertulis "Surat Perjanjian." Hatinya terasa semakin muak. Semua ini hanyalah bagian dari skenario yang membuatnya semakin terperosok dalam hubungan yang tak ia inginkan.

"Seperti yang sudah kau baca, aku tidak akan mencampuri urusanmu, dan begitu juga kau," lanjut Daniel, tatapannya dingin dan tajam. Valerie menunduk, membaca ulang perjanjian itu. Namun bagian terakhir yang membuatnya tercekat-"Kedua belah pihak tidak boleh jatuh cinta sampai kontrak ini selesai maupun tidak berlaku lagi."

Valerie tersenyum kecut. Begitulah akhirnya. Pernikahan mereka hanyalah kesepakatan bisnis tanpa cinta, dan kini tertulis dengan jelas bahwa cinta tidak boleh hadir di antara mereka.

"Aturan terakhir itu berlaku untuk kita berdua," tambah Daniel, matanya masih tertuju pada berkas-berkas di mejanya. "Aku berjanji tidak akan menyentuhmu. Setelah tiga tahun, aku akan menceraikanmu."

Perasaan Valerie campur aduk, antara kecewa, marah, dan sedih. Mengapa Daniel menerima perjodohan ini jika sejak awal dia tidak menginginkannya? Valerie mencoba menahan diri. Dia mendesah panjang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat.

"Apakah ada lagi yang ingin kau katakan, Tuan Kang?" tanyanya dengan senyum tipis, berusaha keras menutupi rasa sakit yang berkecamuk dalam hatinya.

"Tidak," jawab Daniel tanpa mengangkat pandangannya dari berkas di depannya.

Valerie bangkit, mengambil tasnya yang tergeletak di samping kursi. "Aku pulang dulu," ucapnya, melangkah menuju pintu. Namun sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, dia berhenti dan menoleh, ada sesuatu yang masih ingin dia tanyakan.

"Tuan Kang," suaranya terdengar sedikit bergetar. "Apa aku boleh memiliki seorang pacar?"

Pertanyaan itu membuat Daniel mendongak, menatap Valerie dengan tatapan yang sulit ditebak. "Tentu saja," jawabnya datar.

Valerie merasakan air mata mendesak di sudut matanya, tetapi ia tidak ingin menangis di depan Daniel. "Terima kasih," gumamnya pelan sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan Daniel dalam keheningan.

Di luar, Valerie tak lagi mampu menahan tangisnya. Langkah-langkahnya terasa berat, setiap tetes air mata mencerminkan rasa sakit yang terpendam dalam hatinya. Pernikahan ini hanyalah perjanjian tanpa emosi, sebuah ikatan tanpa kehangatan. Dia tahu, tiga tahun ke depan akan sangat sulit, namun dia bertekad untuk tetap menjalani semuanya. Ia tidak bisa mengecewakan keluarganya, terutama ayahnya yang sangat berharap banyak dari pernikahan ini.

Setibanya di rumah, Valerie berusaha menyibukkan diri di dapur. Tanpa sadar, pisau yang ia gunakan untuk mengupas kentang melukai jarinya. Darah mulai mengalir, menetes di atas meja.

"Kak Valey, tanganmu!" seru Diana, gadis kecil yang baru saja pulang dari sekolah, berlari dengan cemas ke arah Valerie.

Valerie terkejut, baru menyadari lukanya. Meringis kecil karena rasa sakit yang tiba-tiba menyengat, dia tersenyum tipis melihat kekhawatiran di wajah Diana. Gadis kecil itu segera mengambil saputangan dari sakunya dan memberikan kepada Valerie.

"Terima kasih, Diana," ucap Valerie sambil tersenyum lemah. Diana bergegas mengambil kotak obat dari lemari dapur dan mulai membalut luka Valerie dengan hati-hati.

"Kak Valey harus lebih hati-hati!" Diana memprotes dengan nada cemas, wajahnya terlihat marah kecil, membuat Valerie tersenyum melihat kepedulian gadis kecil itu.

Valerie mengelus kepala Diana dengan lembut. "Maaf, Kakak tidak sengaja."

"Kakak tidak perlu memasak," ujar Diana sambil mengeluarkan ponselnya. "Aku sudah meminta Daddy untuk makan di luar."

Valerie tersenyum masam. Daniel mungkin sudah berjanji pada Diana, tapi Valerie tahu, janji itu tak selalu ditepati. Namun, dia tidak ingin merusak harapan Diana. Meski begitu, jauh di dalam hatinya, Valerie hanya berharap suatu hari hidupnya tidak lagi diisi dengan kesepakatan dan janji-janji kosong.

-

--

Sementara itu, di kantornya, Daniel memandangi secarik kertas dengan nama yang tertera di sana-Valerie Kim. Nama itu mengusik pikirannya sejak awal. Valerie bukan orang asing baginya. Dia mengenalnya sejak kecil, dan meskipun dia menarik, Daniel tahu bahwa dia tidak benar-benar menginginkannya dalam hidupnya.

Lamunan Daniel terhenti oleh suara Seongwoo yang tiba-tiba memecah keheningan. "Hei, Daniel, seharusnya kau tidak melakukan hal seperti ini."

"Diamlah! Aku sedang berpikir," balas Daniel, suaranya terdengar kesal. Dia memijat pangkal hidungnya, mencoba menyingkirkan perasaan frustrasi yang terus menghantuinya.

Seongwoo, yang merupakan salah satu teman terdekatnya, tak mau kalah. "Apa kau masih berharap Somi kembali?" tanya Seongwoo, tanpa ragu menyebut nama wanita dari masa lalu Daniel-Somi, seseorang yang sudah tak lagi ada dalam hidupnya.

Mendengar nama itu, amarah Daniel langsung tersulut. "Jangan sebut nama itu lagi!" bentaknya, matanya menyiratkan kilatan kemarahan. Seongwoo hanya tersenyum tipis, seolah-olah sudah memperkirakan reaksi itu. Dia meletakkan dokumen yang dibawanya kembali ke meja, lalu menatap Daniel dengan tatapan yang lebih tenang.

"Semoga kau tidak menelan ludahmu sendiri, Daniel," ucap Seongwoo penuh makna sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan Daniel sendirian dengan pikirannya.

Daniel menarik napas panjang, mengambil sebatang rokok dari sakunya, lalu menghisapnya dalam-dalam. Dia menatap layar ponselnya yang tiba-tiba berdering. Nama putrinya, Diana, muncul di layar.

"Daddy... uhuk uhuk... Nana ingin makan di luar," terdengar suara Diana yang diselingi batuk kecil di seberang telepon. Kegelisahan langsung menyelimuti hati Daniel. Tanpa berpikir dua kali, dia segera bergegas pulang, meninggalkan segala urusan kantor yang tak penting lagi di kepalanya.

Setibanya di rumah, Daniel langsung mencari putrinya dengan cemas. "Diana!" panggilnya panik, matanya menjelajahi setiap sudut rumah.

Tak lama, dia menemukan Diana di ruang tamu. Gadis kecil itu berlari ke arahnya, wajahnya penuh senyum.

"Daddy!" seru Diana, memeluk ayahnya dengan erat. Daniel berjongkok, memeriksa kening putrinya dengan lembut.

"Kamu sakit, sayang?" tanyanya penuh kekhawatiran, memastikan putrinya baik-baik saja.

Diana menggeleng dengan senyum lebar. "Tidak, Daddy. Aku cuma ingin makan di luar!" jawabnya riang.

Daniel mengerutkan kening, sedikit bingung dengan permintaan mendadak itu. "Kenapa tiba-tiba ingin makan di luar?" tanyanya heran.

"Tangan Kak Valey terluka, jadi dia tidak bisa masak," jelas Diana polos sambil menunjuk jari Valerie yang tampak dibalut perban.

Valerie, yang berdiri tak jauh dari mereka, langsung tersentak, tergagap menjelaskan, "Maaf, Tuan Kang. Aku sudah mengatakan pada Diana bahwa aku baik-baik saja."

Daniel menatap Valerie sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Tak apa. Ayo, kita makan di luar," ujarnya tiba-tiba, membuat Valerie terkejut.

Diana bersorak kegirangan mendengar keputusan ayahnya. Dia melompat ke arah Daniel dan mencium pipinya dengan penuh semangat. "Terima kasih, Daddy!" teriaknya gembira, sebelum berlari kecil menghampiri Valerie dengan senyum cerah di wajahnya.

Hati Valerie sedikit lega meskipun masih ada perasaan canggung di dalam dirinya. Malam itu, mereka bertiga pergi keluar untuk makan malam bersama. Momen kebersamaan yang langka ini membuat Valerie sedikit lupa akan beban yang terus menghantui pikirannya. Melihat Diana tertawa dan Daniel sesekali tersenyum, Valerie berusaha menikmati momen ini sepenuhnya, seolah-olah kontrak perjanjian yang mengatur pernikahannya tak pernah ada.

Namun, meski dia mencoba menikmati momen itu, Valerie tahu di lubuk hatinya bahwa semua ini bersifat sementara. Dia menatap Daniel dari waktu ke waktu, bertanya-tanya apakah tiga tahun yang mereka miliki akan mengubah sesuatu di antara mereka. Tapi satu hal yang pasti-ketika saatnya tiba, Valerie akan pergi dengan damai, meninggalkan semua ini di belakangnya tanpa penyesalan.

---- To Be Continued ---