"Pertemanan awet, jangan pernah ada rasa cinta diantara kita, Fab. Karena, pacaran itu kalau putus malah bikin hubungan antara kita jauh. Ingat, aku hanya mempunyai perasaan sebagai teman tidak lebih."
-Khadijah-
*
Di kantin terlihat Khadijah sedang menikmati mie ramen. Dia sangat menyukai sekali mie ramen dengan topping daging sapi. Kemudian Dia meminum orange.
"Assalamualaikum, cantik?"
Khadijah sambil menatap wajah Fabian yang terlihat senyum senyum sendiri. Dia terlihat sangat aneh sekali Tidak seperti biasanya. "Kamu kesambet setan apa? tumben kamu benar manggil aku cantik?" kedua matanya mulai memicing ke arah Fabian. "Sepertinya aku mengendus ada sesuatu yang tersembunyi. Lihat saja gaya bicaramu serta senyumanmu menimbulkan aroma yang tidak sedap sama sekali. Ini pasti ada udang dibalik otakmu? " selidik nya sekali lagi sambil terkekeh kecil.
"Idih, aku salam malah nggak dijawab, dosa loch!" protes Fabian.
"Iya, iya mohon maaf, Dijah lupa. Walaikumsalam, jelek," balas Khadijah sambil melengkungkan senyuman.
Astaga kenapa kamu bilang kalau aku itu jelek?. Masa wajahku setampan aktor papan atas kamu bilang jelek?" protes Fabian.
Khadijah hanya meringis menunjukkan deretan gigi-gigi putihnya, "Adanya papan seluncur atau nampan, Fab!" ledek Khadijah.
"Yaelah, Dijah. Sungguh teganya dirimu terhadapku," balas Fabian.
"Budu amat, Fab! Itu cewek menye-menyemu gimana? apa masih lanjut pakai lampu ijo?" ujar Khadijah.
"Yailah, Kiena itu cantik dan hitz, kalau aku lepasin dia ntar nggak ketularan hitz," balas Fabian.
"Oh, pengen banget kamu jadi anak hitz, kalau aku mending jadi anak baygon," canda Khadijah.
"Abisnya kamu selalu friendzone in aku mulu, Dijah. Kapan aku bisa masuk ke hatimu?" ujar Fabian sedikit nyengir.
"Nggak akan pernah, Fab. Ini sudah jadi prinsip dan kontrak pertemanan di antara kita semua dari dulu,"ujar Khadijah.
"Kenapa? apa kurangnya aku di mata kamu, Dijah?" tanya Fabian.
"Duh, kamu kok ngeyel banget sich!" umpat Khadijah.
"Iya, kenapa? jelasin alasannya, Dijah?" desak Fabian.
"Pertemanan awet itu, sebaiknya jangan pernah ada rasa cinta di antara kita, Fab. Karena, pacaran itu kalau putus malah bikin hubungan antara kita jauh. Ingat aku hanya mempunyai perasaan sebagai teman tidak lebih," ucap Khadijah sambil tersenyum.
"Jadi, aku nggak ada harapan buat lebih gitu sama kamu, Dijah?" tanya Fabian.
Khadijah mengelengkan kepalanya.
"Yaudah, dech. Aku ntar ngelobi sama Allah biar bolak-balikin hatimu buat aku," kata Fabian.
"Maksa banget kamu, bro!" Suho menimpali ucapan dari Fabian. Dia baru saja datang dan hadir diantara Fabian dan Khadijah yang sedang beradu mulut.
"Fab, aku ada kelas Pak Lee. Duluan yaaa," pamit Khadijah.
Fabian sedikit nyengir,"Dasar bocah kebiasaan." Dia mendengus sambil menggelengkan kepalanya ketika melihat kelakuan dari Khadijah. Dia sudah hafal tentang Khadijah.
"Emang cuman dikasih harapan palsu bersemester-semester,"ledek Suho sambil tersenyum kecut.
"Sialan kamu, bro!" umpat Fabian kesal.
"Cih, emang kenyataankan, kamu kena friendzone, " ledek Suho sekali lagi.
"Sialan gak usah diperjelas juga kali! " balas Fabian dengan sedikit kesal kepada sahabatnya.
*
Di rumah sakit kondisi Rania masih belum sadarkan diri saat itu. Haqi mencoba untuk memeriksanya kembali karena sempat detak jantung dari Rania berhenti. Dia segera untuk melakukan sebuah tindakan agar Rania tetap bertahan hidup.
Sebuah keajaiban akhirnya terjadi, kondisi Rania sudah melewati masa kritis lalu dia segera untuk dipindahkan ke ruang rawat inap. Disana Haqi menunggu Rania dengan penuh posesif. Dia tidak ingin siapapun untuk menjaga Rania selain dia. Dia bahkan rela untuk tidak bertugas selama satu minggu penuh.
"Mas Haqi," suara lirih dari Rania yang mendadak Memanggil nama Haqi. Dia melihat jika Haqi sedang ada di sebelahnya namun kedua matanya begitu sangat berat sekali untuk terbuka.
Saat itu, Haqi sedang melaksanakan sholat dhuhur di sebelah Rania, ia berdoa, agar penyakit istrinya segera diangkat.
Di saat itu, Haqi merasakan bahagia, karena istrinya sudah bisa membuka kedua kelopak matanya kembali.
"Alhamdulillah, kau sudah siuman,"sujud syukur Haqi, lalu ia memeluk Rania yang masih dalam keadaan lemah tak berdaya.
Di balik pintu kamar rawat inap, Ayass menyaksikan perempuan yang pernah menjadi istrinya itu sedang berpelukan dengan Haqi.
Perasaan Ayass terasa pedih melihat kenyataan, kalau takdir telah memisahkan mereka. Dalam skenario Allah SWT.
"Waktu berjalan dengan cepat, seakan kau sudah bukan milikku lagi, tapi sudah menjadi miliknya. Aku bahagia, asalkan kau bahagia bersamanya," tatapan sedih Ayass melihat pemandangan antara Rania dan Haqi. Dia merasa begitu sangat rapuh sekali ketika melihat perempuan yang dia cintai telah bersama dengan yang lain. Dia berusaha untuk mengikhlaskan sesuatu yang pernah dia aminin.
Air mata Ayass hampir saja turun, ia merasa tak bisa membendungnya. Sorot matanya tak lepas dari keduanya. Ia merasakan sangat rindu dengan kehadiran perempuan yang pernah menjadi peneduh hatinya.
"Mungkin nanti, mereka masih memerlukan waktu tuk bersama,"gumam Ayass, lalu ia membalikkan badannya.
*
Drrtt.
Ponsel Khadijah berbunyi, ia melihat ternyata panggilan dari Haqi, ayahnya. Ia langsung mengeser tombol penjawabnya, ia berdoa semoga kabar baik.
"Assalamualaikum," salam Khadijah dengan nada yang begitu sangat diri sekali. Detak jantungnya berasa berdebar sangat kencang ketika dia menerima panggilan dari ayah tirinya. Dia berharap jika kabar itu adalah kabar yang baik.
"Walaikumsalam, Nak," balas Haqi.
"Sayang, ada kabar baik buat kamu," ujar Haqi dengan suara yang terbilang yang penuh dengan ekspresi bahagia.
"Apa?" tanya Khadijah dengan bersemangat.
"Ibu kamu sudah sadarkan diri dan kondisinya sudah mulai membaik. Jadi kamu tidak usah khawatir dengan kondisi ibumu lagi karena ayahmu ini sudah menjaga ibumu," ujar Haqi.
"Serius? Ayah tidak bercanda kan dengan kondisi ibu saat ini?" Khadijah berusaha untuk memastikan jika kondisinya Ibunya sudah mulai membaik.
"Serius ayah berkata sejujurnya jika ibumu sekarang kondisinya sudah mulai membaik. Tapi ibumu masih membutuhkan istirahat," ujar Haqi.
"Ya Allah, alhamdulillah,"ujar Khadijah sambil sujud syukur di lantai perpustakaan.
"Dijah, kamu kenapa?" tanya Sera menatap gajah yang mendadak bersujud di lantai perpustakaan karena terlihat sangat bahagia.
"Ibuku sudah sadarkan diri dan kondisinya sekarang sudah membaik Sera. Aku sangat bahagia sekali hari ini Bahkan aku tidak bisa untuk mewujudkan nya selain bersujud kepada Allah atas kesempatan kedua untuk ibuku bisa membuka kedua kelopak matanya kembali dan menikmati dunia bersama-sama," ujar Khadijah memeluk Sera dengan nada bahagia, ia sungguh bahagia tak ternilaikan hari ini.
Tatapan mata Khadijah begitu berbinar, ia akan segera menuju ke Rumah Sakit untuk menemui ibunya.
Khadijah berlari keluar perpustakaan, ia memancarkan sebuah sinar kebahagiaan. Tapi, di tengah langkahnya, ia terjungkal.
"Arrghhhh," jerit Khadijah yang kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Sebuah tangan berhasil menopang tubuh Khadijah, lalu ia perlahan membuka matanya. Ternyata dia adalah Rumi, lelaki idamannya yang selalu namanya ia rapal dalam setiap doanya.
"Subhanallah, apa ini mimpi bisa sedekat ini dengannya, sungguh tampan sekali,"batin Khadijah dalam tatapan sepuluh detik.
"Ehem," suara deheman yang membuat mereka sadar.
"Ini kampus, bukan tempat pacaran," cetus seseorang lelaki yang sedikit syirik, tidak lain kalau Fabian.
"Sialan, raja nyiyir mulai muncul!" umpat Khadijah dalam hati kecilnya, Rumi pun melepaskan pelukan darinya.
"Maaf," Rumi mengucapkan dengan nada yang begitu sangat lirih sekali. Tanpa sengaja kedua manik mata mereka saling menatap satu sama dengan lain.
"Iya, nggak apa-apa,"balas Khadijah, lalu tersenyum.
"Oh, so sweet," ledek Fabian.
Mata Khadijah langsung melotot ke Fabian, ia seolah memberi kode ingin menerkam lelaki itu yang membuyarkan suasana bak di drama korea.
Rumi meninggalkan Khadijah bersama Fabian.
"Hadeh kalau sama abang satu itu, kamu bisa lemah lembut, kalau sama aku aja kayak macan lapar,"sindir Fabian.
"Kalau sama kamu itu nggak perlu lembut, karena kamu itu sudah keturunan lelembut dari hutan terlarang,"umpat Khadijah.
"Anjir, kamu pikir aku setan?" cetus Fabian.
"Kenyataannya kamu kan begitu, keturunan lelembut, lihat rambut kamu aja hampir saingan dengan genderuwo," kata Khadijah.
"Ya, kamu juga suara kamu mirip nenek lampir," balas Fabian.
"Sialan, kamu Fab. Udah, ah kamu sebuah ketidak pentingan yang tak perlu, minggir sana," usir Khadijah kembali melangkah.
Fabian mencekal tangan Khadijah,"Kamu buru-buru amat kayak di kejar setan aja, emang ada apa sich?"
" Udah lepasin aku Febian Karena ada urusan yang lebih penting daripada kamu!" Khadijah terlihat sangat jutek sekali terhadap Fabian.
"Aku antar ya?" tawar Fabian.
"Ehmmmm," Khadijah masih berpikir.
"Sayang!" teriak Kiena.
Fabian menoleh ke sumber suara itu.
"Fab, aku bisa pulang sendiri. Kasihan Kiena udah nungguin kamu."
"Dijah, tapi.... "
"Udah aku nggak apa-apa. Nanti bisa minta jemput Hasan kalau enggak ya naik bus."
Khadijah pergi meninggalkan mereka karena dia tidak ada waktu sama sekali. Dia ingin segera bertemu dengan ibunya yang sudah sadarkan diri di rumah sakit.