Happy reading!
Enjoy!
***
"PHILLLL! BERIKAN SENJATA ITU!" Miler berteriak menggema. Pria itu sudah sigap untuk menangkap senjata pistol andalannya yang dipegang Phill.
Sejam yang lalu mereka sudah berada di Prancis. Tepatnya disalah satu pusat ibu kota yang terdapat salah satu musuh yang menghuni disana.
Phill yang mendengar teriakan itu tersentak. Namun tak urung baginya untuk melemparkan senjata yang dimaksud Miler. Miler menangkapnya dan segera berlari. Tepat disalah satu perusahaan yang berdiri tinggi. Real estate yang dipimpin oleh seorang pria paruh baya dengan nama Josh Anderson itu, kini tengah dihampirinya untuk sebuah penyelesaian misi. Pria yang juga terlibat atas tragedi belasan tahun lalu.
Miler semakin mengencangkan langkahnya. Ia berusaha menyusul langkah kaki yang kini berlari menjauhinya.
"Sial! Dia melarikan diri!" pekik Miler. Kakinya menendang angin keras.
"Mil! Kita akan membuat jebakan disetiap perusahaan ini. Penyekapan akan segera dilakukan! Dan kau-----fokuslah mencari keberadaannya!" saran Petter. Gerak geriknya cekatan dan langsung mengambil komando. Phill mengikuti langkahnya. Sementara Miler terus berlari mengelilingi setiap lorong dan mengecek setiap ruangan di perusahaan itu.
"Fucking!" lagi pekik Miler bersamaan dengan ruangan terakhir yang di bukanya. Pintu itu ditutupnya kembali dengan membantingnya keras. Suara decitan serta tembakan yang dihembuskan ke udara sudah nyaring pertanda perang akan dimulai. Miler kembali meninggalkan tempat itu dan hendak menuju rooftop.
Kini tawa pria itu merekah lebar. Sang musuh seorang pria tua itu sudah berdiri tepat ditebing rooftop. Yang jika mundur selangkah saja maka tamatlah riwatnya.
Miler maju perlahan dengan tangan yang bertepuk tangan berulang. Bibirnya tersenyum miring menakutkan.
"Aku terbiasa membunuh di bagian rooftop. Dan kau-----kau datang sendiri menghampiri mautmu. Sebosan itukah kau dengan hidup?" Miler berdecak. Ludahnya sengaja dibuang asal ke samping. Kini rahang tegas itu mulai mengencang kuat. Gemelutuk giginya mulai terdengar nyaring. Langkah besarnya terus mendekati sang musuh.
"Dengar! Aku tak punya urusan denganmu!" perkataan itu mampu membuat langkah Miler membeku. Pria itu semakin murka dan melempar keras balok kayu yang dtemukannya disana.
"Beraninya kau mengatakan itu padaku! Masalahmu memang bukan denganku! Namun segala yang berhubungan dengan keluargaku! Aku-lah yang akan membalasnya! Akan ku ulangi kejadian tragis yang menimpa keluargaku dulu! AKAN KU BUAT KAU MATI DITANGANKU!!!"
DOR!
Satu tembakan melesat di udara. Kini tangannya mengarahkan benda mematikan itu tepat ke arah jantung pria itu. Wajah Josh langsung memerah cemas. Tubuhnya yang semuala santai kini terus memundur dan berlindung. Namun tepi tembok pendek itu membuat pergerakannya terhenti. Josh sudah terkepung antara kematian. Ntah itu karena tembakan Miler atau jatuh dari bangunan tinggi itu.
"MILLL!" suara Phill menggema. Pria itu berpaling dan berdecak.
"KAU MENGGANGGUKU, PHILL!!" amuk Miler melantang. Tatapan tajamnya kini menuju ke arah Phill.
"Aku hanya ingin memberitahu! Kenapa kau sangat marah?!" tukas Phill. Ludahnya kembali dibuang malas.
"Kami sudah menyekap dan mengumpulkan semua karyawan perusahaan ini. Semua aman. Kau bisa melakukannya sekarang, Mil!!" tambah Petter. Miler kembali menoleh dan menatap tajam wajah Josh. Tembakan kembali disodorkannya kuat ke arah depan. Miler sudah lihai dalam menembak dari jarak jauh. Jadi tidak perlu baginya untuk mendekat ke arah pria itu.
Satu tembakan berhasil melesat kembali memenuhi setiap penjuru ruangan itu. Garis bibir Miler tertarik dan merekahkan senyuman kemenangan.
Seketika pria bernama Josh itu tersenyum kecut. Miler mengernyit kenapa pria itu belum mati ketika tembakan telah menghujam tepat ke arah jantungnya.
"Tembakan mu melesat! Ada apa, Bung?! Ini bukan dirimu!" Phill memprotes. Terdengar hembusan nafas jengah dari Miler.
"Pelurunya tidak melesat! Kau harus mendengar kembali suara tembakan yang dihujam Mil tadi. Sepertinya pria itu memakai pengaman semacan baju besi!" tutur Petter. Miler menatapnya serius. Lalu kembali ia menelik pada Josh. Wajah pria itu masih tersenyum kecut. Mencibir.
"MILLLLLL!" Petter mencegah. Miler kembali menghentikan langkahnya yang hendak mendekat pada Josh.
"Tidak sembarangan kau bisa mendekatinya, Mil! Bisa jadi ini konpirasi. Dia tau kita akan datang kesini untuk membunuhnya. Dia sudah menyiapkan segalanya dengan matang. Jika kau mendekat, kau sendiri yang akan mati!" peringat Petter. Miler kembali berdecak. Ia melangkah mundur dengan gusar.
"Kita akan menyusun strategi dari awal. Untuk sekarang, berwaspadalah!" tegas Petter. Miler tak merespon dan semakin murka. Ini pertama kali musuhnya mempermainkannya.
"FUCK! FUCK! FUCKING!" lagi kakinya menendang kuat angin dengan ludah yang kembali dibuangnya.
"Kau tau aku tidak ingin membuang waktu?!" lantang Mil.
"Ini bukan hal sepele, Mil! Untuk menghabisi musuh, kau tidak bisa mengorbankan dirimu!" balas Petter.
"Aku rasa Pette benar! Ini terlalu berbahaya!" sambung Phill.
"Phill! Aku benar-benar tidak ingin membuang waktu!" gertak Miler menajam. Phill hanya tersenyum kecut dan menggeleng.
"kalau begitu lakukan sekarang! Dekati dia dan lepas pakaian besinya! Bukan musuh, tapi kau yang akan mati!" Phill menyorot tajam. Ia tau jelas tatapan tajam itu hanya akan reda dengan tatapan tajam kembali. Seketika Miler melemas dan terdiam. Semuanya benar. Resikonya terlalu besar jika ia harus membunuhnya sekarang. Masih ada waktu dan Miler bisa kembali menyiapkan strategi baru.
"Apa yang akan dilakukan sekarang?" tanya Miler. Tatapannya kembali menormal.
"Membunuh salah satu keluarganya! Anggap ini sebagai ancaman untuknya!" saran Phill. Petter terlihat menggelengkan kepala.
"Itu tidak benar. Kita hanya akan mengancam anggota keluarganya! Tidak untuk membunuh!" tambah Petter. Miler hanya terdiam dan tak lama ikut mengangguk samar.
"Lalu bagaimana dengan dia? Kita akan melepaskannya begitu saja?" lagi tanya Miler. Phill menggeleng dan tersenyum smirk.
"Tentu tidak! Untuk apa melepaskannya?! Itu sebuah kebodohan! Kita akan mencari keberadaan keluarganya! Lalu menyekapnya disini! Pria tua bangka itu akan menyaksikan bagaimana satu per satu anggota keluargannya terancam karenanya!" Miler mengangguk dan tersenyum kecut. Tatapan licik itu kembali nampak.
***
Bella berjalan lesu memutari setiap penjuru mansion. Langakahnya terus melaju tanpa sebuah penghentian. Ntah mau apa dan kemana tujuannya. Mansion yang seluas lapangan sepak bola ini serasa membuatnya tersesat di dalam satu bangunan.
"Permisi, nona?" Bella menghentikan langkahnya dan menoleh. Mendapati keberadaan Western yang berdiri membungkuk di belakangnya.
Kepala Bella sedikit memiring penuh tanya. "Ya?"
"Nona! Ini sudah malam. Kau mau kemana? Butuh sesuatu? Aku bisa membantumu." tawar Western tersenyum ramah. Bella hanya menggeleng lemas.
"Aku-----hanya ingin mengitari seisi mansion ini. Ini begitu luas. Aku hanya bosan dikamar dan ingin berjalan-jalan." beralasan. Meski jauh dalam benaknya gadis itu tengah mencari jalan keluar. Berada sehari saja di mansion seluas ini membuatnya tak tenang.
Western mengangguk dan tersneyum. "Mari saya antar, nona!" tangannya terlentang ke depan. Mempersilahkan. Bella seketika menggeleng cepat.
"Boleh aku mengelilinginya sendiri?" tanya Bella. Suaranya memelan penuh kehati-hatian. Maniknya yang teduh terlihat takut-takut.
"Tidak bisa nona. Maaf. Tuan tidak mengizinkan untuk itu." berucap tak enak.
"Kenapa? Aku tidak akan mencuri apapun di mansion ini." cepat Bella merespon. Tatapannya serius. Seketika Western mengembangkan senyumnya lebar.
"Bukan itu nona. Tuan hanya tidak ingin anda sendirian. Jadi mari saya antar!" kembali mempersilahkan. Bella berdecak dan tetap mematung.
"Aku tidak akan melarikan diri!" suara itu sedikit meninggi. Namun masih terdengar lembut dan ramah. Namun bagi wanita setulus dan selugu Bella, orang akan mengira suara itu menandakan kemarahan.
Westers menatapnya lembut dan menggeleng. "Saya tau itu nona. Karena tidak ada yang bisa lolos dari cengkraman tuan. Sekali ia mendapat sesuatu, maka selamanya akan menjadi miliknya. Tuan tidak pernah peduli sesuatu itu takdirnya atau bukan." papar Western. Bella tercengang ngeri. Ludahnya mendadak pahit dan sulit ditelan. Sungguh, suaranya sekarang sudah benar-benar menghilang.
Gadis itu menggigit bibir bawahnya kuat. "Antar saja kau ke kamar. Aku sudah tidak ingin berkeliling." lesu Bella menunduk. Western tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah! Mari!" Bella melangkah mengikuti arah yang dipandu western. Langkahnya melemas dan tak teratur. Kepalanya mendakak pening dan serasa berat.
"Sesulit itu untuk keluar dari sini?" bergumam.
"Nona mengatakan sesuatu?" Western menoleh cepat. Seketika gadis itu tersenyum awkward dan gelagapan.
"Tidak!" tegas Bella.
***To Be Continued***