webnovel

Bab 23 - Pertama Kali Dimasakin

"Neng geulis, cabenya masih seger-seger nih!"

"Ikannya, Dek!"

"Dibeli sayurnya, masih segar tanpa bahan kimia!"

"Tiga lima ribu! Tiga lima ribu!"

Suasana ramai pasar di kota ternyata tak jauh berbeda dengan di kampung asalnya. Hanya pembeda seperti beberapa pedagang memiliki kios dan juga ada terpal, menghindari panasnya matahari serta rintik hujan. Tak sengaja, dia menatap ke arah pedagang di ujung pasar, seorang anak kecil bersama dengan ibunya.

"Permisi, Bu. Ayamnya sekilo berapa?" tanya Widya pada sang ibu yang terlihat sangat antusias atas kedatangannya.

"Lho, Neng kok bisa ke sini?"

Pertanyaan ambigu dari sang penjualan mendapati kerutan di area kening Widya. Lantas, ia pun bertanya, "Memangnya Ibu tidak berjualan?"

Sang ibu penjual pun tertawa sedikit, tak berselang lama raut kesedihan tertampil jelas pada wajah si penjual membuat Widya langsung khawatir.

"Lho, Bu?"

"Adek, mau berapa kilo? Jujur saja, saya sangat terharu karena adek bisa beli jualanan saya. Sebab kios kecil ini berada di ujung pasar dan sangat sulit diakses bila tak memperhatikannya dengan seksama."

Barulah Widya paham, ternyata itu alasan sang ibu. Senyum kecil terbit di ujung bibir, lalu melihat anak kecil yang ikut membantu sang ibu dengan lihai. Jadi teringat akan masa lalu, saat berjualan sejak kecil bersama sang ibu tanpa ada campur tangan seorang ayah.

Lamunannya pecah saat si ibu berbicara kepadanya. "Ini, Dek. Ayam sekilo hanya dua puluh ribu saja."

Widya mengambil uang yang ada di dalam tasnya. Saat merogoh, ternyata ada selembar uang merah, ia pun tersenyum dan berinisiatif untuk memberi tanpa mengharapkan kembalian.

"Lho, Dek! Terima kasih banyak! Akan tetapi, tidak mungkin kalau gak dikembalikan uang kembaliannya."

"Tidak masalah, Bu. Aku ikhlas dan belilah susu buat si adek itu," ujar Widya sambil melambaikan tangan pada anak kecil yang mengintip bersembunyi di balik punggung sang ibu penjual.

"Eh, Icha sini, Nak. Ucapkan terima kasih pada kakak ini!" suruh sang Ibu menarik tangan anaknya untuk tak bersembunyi lagi.

Sedangkan anak itu terlihat malu-malu bahkan suara yang disampaikannya terdengar kecil, seperti suara semut. "T–terima kasih, K–kak."

Segara anak itu berlari masuk ke dalam kios, bersembunyi di balik meja tempat ayam-ayam potong berada. Widya tersenyum tipis saat menyaksikan, begitu lucu anak kecil itu.

"Kalau begitu, saya pamit dulu, ya, Bu."

"Terima kasih karena telah membelinya, Dek!"

Usai sudah dia berbelanja daging dan tersisalah bahan masakan lain yang harus dibeli. Ia pun berkeliling untuk mencari bahan-bahan tersebut, apalagi dia ingin membuat empat menu spesial. Bagaimanapun, saat ini dirinya bukanlah seorang gadis lajang, telah menikah dan itu artinya harus bisa mengurus suami. Walaupun hanya sekedar kontrak, tapi pernikahan mereka sakral di hadapan Tuhan maupun manusia.

Menghabiskan waktu beberapa menit, kini ia telah menyelesaikan seluruh belanjaannya dan sudah waktunya untuk pulang. Mata terus memandang sekitar jalanan, mencari transportasi umum yang dapat dia gunakan. Saat bertemu becak, rasanya ingin memanggil. Namun, harus terhenti sebab mengingat peristiwa saat dia datang kemari.

"Tampaknya aku harus berjalan daripada ketipu seperti tadi. Bisa-bisa uang ini habis dalam sehari," ujarnya sendiri sambil melangkah dan tak segan-segan bersenandung kecil.

Dalam langkah nya, tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di hadapannya membuat Widya menaikkan sebelah alis mata. Tak hanya sampai di situ kekagetan hari ini, lagi-lagi seorang pria berpakaian formal dengan jas hitam datang mendekati.

"Nona Widya?"

Begitu terkejutlah Widya saat pria itu menyebut namanya. Sebab dia saja merasa asing, namun siapakah pria itu hingga dapat mengetahui nama sederhana tersebut.

"Maaf, apa Tuan salah orang? Benar saya Widya, tetapi apa kita saling mengenal?" jelasnya daripada menimbulkan salah paham.

Lain dengan sang pria berjas hitam yang malah tertawa kecil lalu menyodorkan telapak tangan layaknya seperti ingin bersalaman. "Nona, anda ternyata sangat lucu berbeda dari fotomu di rumah."

"Foto?" tanyanya bingung dan pria itu menarik tangan Widya yang tak kunjung membalas jabatan tangannya.

"Perkenalkan nama saya Edward Smith Morgan, pengacara keluarga Gideon."

"K–keluarga G–gideon?" Widya mengulang ucapan yang Edward katakan sebab merasa familiar.

Tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana serta kepala mengangguk-angguk tegas dan sedikit tersenyum. Tak lama, ia pun berkata, "Lebih tepatnya keluarga Kenzi, suamimu."

Sontak, Widya menundukkan kepalanya karena merasa malu. Bila berhubungan dengan pria bernama Kenzi, reaksi spontan seperti ini yang dilakukannya. Sedangkan Edward melihat seluruh gerakan yang dilakukan wanita itu membuatnya berdehem lalu mengajak Widya untuk naik ke mobil.

"Tidak perlu repot-repot, Tuan. Dulu, di kampung sudah terbiasa berjalan."

"Apa? Nona cantik ini berjalan kaki?" kaget Edward dan mendapati anggukkan. "Apa Kenzi tak memberimu fasilitas supir? Minimal uang untuk naik angkutan umum," lanjutnya lagi dan Widya bereaksi senyum.

"Ada, Tuan Kenzi sangat baik memberikanku uang. Akan tetapi, aku merasa tak enak bila memakainya terlalu banyak."

Terbelak atas jawaban Widya yang begitu lugunya bahkan Edward sampai menggeleng-gelengkan kepala.

"Suamimu kaya, tak perlu merasa tidak enak kan. Lagian, bila dirimu mengambil satu ikat uang di brankasnya, kuyakin dia tak akan merasa kehilangan."

Widya pun terkekeh mendengar lontaran Edward. Setelah reda barulah dia kembali bersuara, "Ada-ada saja."

"Kalau begitu, ikutlah! Aku akan mengantarmu pulang."

"Akan tetapi—"

"Tidak ada tapi-tapi, anda tahu bagaimana Kenzi bila marah, bukan? Tak ada salahnya ikut denganku, lebih cepat sampai."

Widya berpikir sejenak. Memang benar, tak salah bila menumpang. Lagian hari sudah sangat siang dan takutnya tidak keburu untuk masak. Ia pun menyetujui tawaran yang Edward berikan, kemudian berjalan mengikuti pria tersebut menuju mobil.

••••

"Kenzi, dirimu mau ke mana?" Suara Callista menghentikan tangan Kenzi yang ingin masuk ke dalam mobil. Namun hanya sebentar saja sebelum ia masuk tanpa suara. "Kenzi, ayolah dijawab!"

Mesin mobil telah dihidupkan dan pada saat itu juga pria tersebut mengendarai dengan laju kencang, tak memperdulikan pertanyaan yang tadi terdengar. Terlebih lagi suasana hati sedang buruk, benar-benar ingin pulang dan berendam. Harinya begitu kacau, mimpi apa dia kemarin sehingga mendapatkan kesialan seperti saat ini.

Di tengah kemacetan yang terjadi, dirinya membanting setir sambil menjambak rambut. "Arghhh!" teriaknya kesal.

Ia pun melihat jam di tangan yang telah menunjukkan pukul 15.45 dan berarti pulang lebih cepat. Lampu lalu lintas telah berganti jadi hijau warnanya, dengan brutal ia mengklakson pada pengguna kendaraan yang masih menghalangi jalannya.

"Sabar woi!"

"Mentang-mentang orang kaya, dikira seenaknya gitu?"

"Gilaaa!"

Makian dari pengguna jalan terlontar akibat brutalnya klakson yang dilakukan Kenzi. Memang, akibat macet semua jadi terhambat dan tak bisa buru-buru. Namun, karena lagi penuh emosi, Kenzi melakukannya.

Butuh sekitar dua puluh menit untuk sampai ke apartemen, ia pun berjalan dengan tegas tanpa menghiraukan tatapan beberapa wanita yang terpesona akan pesonanya. Di dalam lift, juga terdengar bisikan-bisikan tentang dirinya yang membuat Kenzi memejamkan mata lalu berkata, "Berisik!"

Saat itu juga, semua mulut langsung tertutup rapat dan tak ada yang berani berkomentar. Sampailah dia di lantai 13 dan segera pula untuk keluar. Tepat di depan pintu apartemen, hidungnya seperti mencium suatu aroma yang menggiurkan. Aroma ini sama sekali tak pernah dia rasakan namun kali ini seperti menggugah selera. Buru-buru ia masuk dan sama-sama terkejut dua orang itu. Kenzi yang kaget akibat melihat istrinya dengan celemek telah menyajikan masakan yang lumayan banyak, sedangkan Widya terkejut sebab seseorang telah masuk tanpa suara.

"Dirimu bisa memasak?" Pertanyaan konyol Kenzi hanya dibalas anggukan kepala Widya. Segera ia duduk dan mengambil piring, matanya sedikit menyipit untuk memperjelas makanan yang ada di hadapan. "Ini apa? Benar-benar bisa dimakan?" tanyanya lagi, sebab ragu.

Berbeda dengan Widya, dia sudah ketakutan sebab tak mengetahui bahwa Kenzi belum pernah melihat masakan yang dia buat. Padahal masakan ini adalah makanan khas Indonesia. Ia pun menjelaskan satu-persatu.

"I–ini adalah rendang, masakan Indonesia lebih tepatnya khas daerah Sumatera Barat," jelas Widya sambil menunjuk ke arah rendang.

"Terlihat aneh, tapi bisa dimakan?"

Widya mengangguk sambil menyendokkan sesendok rendang dan saat ingin menaruh ke piring, sudah lebih dulu mulut Kenzi mengambil suapan pertama. Ia pun mengunyah seperti sedang mencoba menikmati rasa yang ada. Setelah habis tertelan Kenzi pun bersuara, "Enak!"

Tanpa sadar, seutas garis melengkung di bibir Widya. Sedikit lebih berani dari sebelumnya, ia pun menjelaskan kembali. "Kalau yang ini namanya sambal kentang goreng, rasanya lumayan enak bila dicampur dengan rendang."

Mata Kenzi terbelak saat mendengarnya, ia pun sedikit ragu. "K–kentang? Dicabein?"

Sembari mengangguk Widya pun menjawab, "Iya dan rasanya enak, mau coba?"

Walau ada keraguan, namun Kenzi pun mengangguk layaknya anak kecil. Segera Widya mengambil sesuap kentang dan disuapkannya ke mulut sang suami.

"Rasanya ternyata nikmat." Kenzi berujar saat makanan masih dikunyah dalam mulutnya. Ia pun sudah lebih yakin untuk memakan menu tersaji dan saat tangannya mengambil setiap lauk yang terhidang, tak luput dari perhatian Widya.

Wanita itu merasa senang karena makanan yang dia masak dapat diterima dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri.

"Kamu mau ke mana?" tanya Kenzi saat melihat istrinya berjalan menjauh.

Widya pun menoleh lalu menunjukkan teko yang ada di tangan seperti menunjukkan sesuatu yang akan dilakukan. Lantas Kenzi mengangguk-angguk layaknya anak kecil dibarengi dengan kedua pipi menggelembung akibat penuh makanan.