webnovel

Bab 21 - Lumatan yang Menyakitkan

"Bahan baku pakaian tampaknya besok harus dicari sebab hanya tersisa sepuluh ribu saja, sedangkan kita membutuhkan lima puluh ribu."

Suasana serius tercipta di ruang kantor milik Kenzi. Dua insan sejak tadi pagi sama sekali belum pulang padahal malam telah larut, mereka adalah Kenzi serta Callista. Sudah pukul sebelas malam dan belum ada salah satu dari mereka memberi tanda ingin pulang.

"Bahan pakaian yang dirimu gunakan cukup susah dicari, bahkan telah kulihat melalui internet dan selalu saja habis. Bagaimana bila tak mendapatkan secukupnya?" tanya Kenzi terlihat frustasi. Sedangkan Callista dia tersenyum tampak seperti menenangkan, tak lupa tangannya sengaja menepuk pundak pria tersebut.

"Gunakan bahan yang mirip dengan bahan ini saja."

Lantas pria itu langsung menggelengkan kepala sambil menjambak rambut karena terlalu kesal. "Tak boleh! Brand milikku tak sembarangan, kualitas nomor 1," ungkap Kenzi.

"Daripada tidak ada, bagaimana dirimu harus berbuat?"

"Itu urusanku," ungkap Kenzi seraya meminum kopinya. Tak sengaja saat sedang meneguk secangkir, matanya mengarah pada jarum jam yang sudah menunjukkan pukul hampir setengah dua belas malam. Sontak saja dia hampir menyemburkan kopi yang berada dalam mulut.

"Astaga! Kenzi apa yang sedang dirimu lakukan?"

Namun, tak ada gubrisan dari pria itu malah ditinggal pergi. Callista hanya dapat menatap cengo, namun teringat pada kejadian siang tadi. "Oh, mau ke istrinya."

Sedangkan Kenzi, diperjalanan dia terus mempercepat laju mobil yang dikendarai. Baru teringat akan janji bersama Widya, seharusnya pukul 8, namun tak mengira bahwa urusannya begitu banyak hingga buat dia lupa akan janji. Sekarang sudah pukul setengah dua belas, antara bingung pada lokasi istrinya berada. Tak mungkinkah wanita itu tidak pulang, bodoh banget berarti. Ia pun mengendarai mobil menuju apartemen, saat semakin dekat laju kendaraan turur diperkencang.

"Tuan, bukankah nona berada di kafe seperti yang tuan katakan dengan kami?" Para pelayang menjawab saat Kenzi bertanya dengan napas ngos-ngosan. Jawaban mereka membuat Kenzi mengutuk diri sendiri, bahkan tangannya sudah memijit pelipis akibat pusing.

"Berarti dia belum pulang," ungkapnya dengan bernapas kecewa.

Buru-buru Kenzi berlari menuju mobil, banyak pertanyaan dari para karyawan rumah yang melihat bos-nya terlihat sangat panik. Selama mengendarai, matanya selalu melihat ke kanan-kiri jalanan, takut wanita itu sudah berjalan pulang dan dapat menumpangkan.

Antara melihat jalan raya serta ponsel yang terus memanggil, Kenzi lakukan semua. Namun, sialnya dia karena ponsel seperti tidak tersambung. Membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai dan restoran tampak sudah sangat sepi.

Memutuskan untuk turun, Kenzi juga mencari ke sekeliling wilayah resto. Hampir saja berteriak frustasi sebelum matanya melihat sosok wanita bergaun biru tengah duduk meringkuk di atas rerumputan dan bawah pohon rindang. Dari gestur tubuh, ia yakini bahwa itu adalah istrinya. Sesegera mungkin ia berlari dan berteriak memanggil, "Widyaaa!"

Teriakan itu tak mengubris sosok wanita tersebut, dia malah meringkuk dengan badan yang gemetaran. Saat sampai, ia langsung memegan pundak sang istri. Betapa terkejutnya saat merasakan suhu yang sangat dingin pada tubuh Widya, belum lagi baju yang dapat dikatakan tipis, pasti terasa menusuk kulit.

"Hei, W–widya …." katanya seraya memasangkan jas yang harusnya dia pakai dan disampirkan pada tubuh dingin milik Widya.

Namun, saat memasangnya secara mendadak, Widya memeluk Kenzi dengan erat. Bahkan terasa pergerakan seperti mencari kehangatan. "D–dingin …."

Walau ragu, namun Kenzi mulai membalas pelukan erat sang istri. Bahkan dia mengelus-elus rambut Widya agar dapat lebih tenang. "Stttt … ada aku di sini."

Dalam pelukan mulai hilang rasa seperti pergerakan, sontak dengan pelan-pelan Kenzi mengintip dari sebelah dan ternyata istrinya telah tertidur. Tak ingin membangunkan, dalam diam mulai mengangkat tubuh mungil istrinya menuju mobil. Masih dalam pelukan seperti tadi, tetapi saat ini kaki Widya dikalungkan pada pinggang milik Kenzi.

"Tenanglah, ada aku," ujar Kenzi merapikan rambut berantakan istrinya. Semakin dipandangi, semakin ada bisikan aneh yang terdengar membuatnya geleng kepala agar tak melakukan hal yang di luar batas.

Kemudian dia berjalan menuju tempat yang digunakan untuk menyetir. Sang istri yang berada di samping, ia pun menarik tangan Widya lalu digenggamnya pula. Hanya dengan satu tangan ia berkendara, untung saja jalanan sepi membuat sedikit bebas memandang antata jalan serta wajah tenang milik istrinya.

••••

"Eunghhh …." Suara lenguhan panjang dari mulut Widya. Ia juga menggerakkan tubuhnya akibat terasa seperti ada sesuatu yang menahan tubuh untuk bergerak. Akibat mata yang masih mengantuk, samar-samar terlihat seperti ada seorang pria mengukung tubuhnya dan saat itu juga dia ingin berteriak, "Aaaaaaaaumppp!" Buru-buru dia menaham mulut karena mengetahui yang ada di sampingnya ternyata Kenzi.

Pria itu tidur dengan kemeja kantor, tampak seperti belum berganti pakaian. Dengan ragu, dia mulai menepis tangan Kenzi perlahan, siapa sangka? Ternyata semakin ditepis pelukan itu semakin mengerat. Hanya dapat pasrah serta kembali mencoba untuk tidur, tak ingin ada kecanggungan bila suaminya bangun.

Seiring berjalan waktu, tubuh itu mulai menggeliat ke sana kemari. Merasa tidurnya terasa nyenyak Kenzi menoleh ke samping dan benar saja sang istri masih berada dalam dunia mimpi. Memandangi lekat, tak sadar tarikan kecil di bibir tampil menghiasi raut wajah. Diarahkan tangan pada kening bermaksud untuk memeriksa suhu sang istri takutnya demam akibat berada di udara dingin yang begitu lama.

"Eunghhh …." Lagi-lagi Widya melenguh panjang, kali ini sambil memiringkan badan seraya memeluk Kenzi layaknya bantal guling.

Perlakuan yang tak ada dalam bayangan, rasanya ada gejolak aneh timbul dari dalam diri. Dalam senyuman tak sengaja menatap pada jam yang sudah menunjukkan pukul 07.15 lantas dirinya membelakkan mata. Sebagai atasan yang tak pernah menyia-nyiakan waktu, dia langsung saja memindahkan letak tangan istrinya untuk bisa bangkit dan segera mandi.

Dengan hati-hati takut terbangun. Setelah semua terlepas ia pun buru-buru masuk ke dalam mandi, berpasrah sebab sudah telat masuk kantor. Meski sebagai atasan, dia paling malas bila dirinya sendiri telat. Ini kali kedua merasakannya, saat pertama kali momen bersama dengan sang ibu.

Tak berselang lama, sinar matahari masuk ke dalam kamar menembus tirai tipis yang menutupi jendela. Ia pun terbangun dan hanya tersisa dirinya serta suara gemericik air menandakan Kenzi masih ada dalam kamar mandi. Ia mulai merapikan tempat tidur, sedikit bersenandung. Saat selesai, kakinya melangkah ke arah tirai. Menyibakkan dan matanya disungguhi oleh pemandangan kota dari atas. Terasa sangat menyenangkan dapat melihat kota yang indah, memang kasih Tuhan tak pernah gagal.

Suara pintu terbuka, Widya menoleh saat itu juga keluar lah Kenzi dengan kaos putih tipis beserta celana panjang hitam. Penampilan yang membuat mata Widya terus menatap tanpa berkedip, Kenzi refleks mengikuti arah pandang wanita itu ternyata ke arahnya.

"Dirimu begitu terpesona dengan tubuhku?" goda Kenzi seraya berjalan ke arah Widya. Lantas perempuan itu berkedip berulang kali juga mundur ke belakang. "Mengapa mundur? Dirimu menginginkan ini, bukan?" Kenzi membuka kaos putih miliknya, seketika Widya menutup mata rapat-rapat.

"B–bukan begitu …."

"Lalu apa?" tanya Kenzi dengan nada seperti memancing.

"T–tuan tidak bekerja?" Widya malah mengalihkan topik sayangnya Kenzi mengetahui sehingga ia menyunggingkan senyum miring.

"Aku bisa meminta libur untuk memenuhi keinginanmu, Widya …."

"J–jangan kumohon, aaaa …." Akibat betrabakan dengan kasur hampir membuatnya jatuh sedangkan mulutnya terbungkam oleh bibir Kenzi yang melumat dengan ganas. Dipukul-pukul dada bidang pria itu karena meronta untuk dilepaskan. Namun, apa daya bertenaga lemah? Sekuat apapun tak akan bisa menyudahi. Saat napas mulai menipis semakin kencanglah dia memukuli dan saat itu lumatan berhenti. Dengan lembut membelai wajah merah milik Widya bak merahnya kacang merah, mungkin kehabisan napas. Mulutnya pun mendekati telinga Widya lalu berkata dengan nada seksi, "Aku masih memberikanmu kesempatan untuk belajar menerima pernikahan ini. Akan tetapi, ingatlah! Dirimu mempunyai hutang keturunan padaku!"

Setelahnya Kenzi melepaskan rangkulan dari pinggang wanita itu lalu berjalan mengambil pakaian sebelum keluar dari kamar. Berbeda dengan Widya, malahan mematung seakan tak percaya. Ada rasa takut juga mengingatnya, bahkan tak terasa air mata mulai menetes ke bawah.

"K–kenapa takdirku begitu," cicitnya sambil menangis. Air mata tumpah layaknya air terjun mengalir deras. Serta pandangan mata yang begitu kosong, sekosong jiwanya. Biarlah dikata lebay, namun memang begini sifatnya yang begitu lugu. Walau hanya sebuah ciuman namun ciuman ini ingin dia jaga untuk suaminya kelak dan menjunjung tinggi harga diri.