webnovel

Bab 20 - Janji Makan Malam

"Kamu sudah sarapan?"

Sekedar memecah keheningan, Callista mengajukan pertanyaan. Sebab selama perjalanan tak ada niat Kenzi untuk berbicara. Asal wanita itu bertanya maka pria tersebut hanya diam tanpa menjawab membuat dia kesal. Seperti dugaan bahwa Kenzi hanya membisu dan berakhir dengan Callista menghentakkan tubuh pada jok mobil.

"Kenziii! Kamu kenapa semakin pendiam sih setelah menikah?" teriak kesal Callista sambil tangannya menepuk pundak Kenzi.

Sontak mobil yang seharusnya melaju kencang harus berhenti mendadak akibat Kenzi mengerem tiba-tiba. Pria itu pun menoleh ke samping dengan tatapan nyalang lalu membanting stir mobil. "Bisa berhenti ngoceh?!"

Seketika Callista duduk mematung saat menyaksikan teriakan tajam pria di hadapannya. Bukan seperti Kenzi dulu yang hanya bersikap cuek tanpa kekerasan. Tak menyangka, Callista menggelengkan kepala lalu berkata, "K–kamu kok bentak aku?"

Tersadar dengan perbuatannya, demikian Kenzi langsung menutup muka dengan tangan seraya berhembus kasar. Tanpa basa-basi dirinya mengendarai mobil dengan ugal-ugalan tak mengindahkan teriakan wanita yang berada di sebelah.

Gedung tinggi mulai terlihat itu artinya mereka telah sampai pada tujuan, yaitu kantor Kenzi. Pengusaha brand ternama ini sering bekerjasama dengan para desainer hebat, salah satunya ialah Callista. Bila mengingat tentang perbuatan Callista yang begitu mengesalkan, mungkin saja saat ini dia akan menolak mentah-mentah. Namun, apa boleh buat? Para investor sangat menginginkan Callista, sebab nama yang besar pada kalangan publik.

"Selamat pagi Tuan dan Nona," sapa para pegawai yang melewati. Banyak bisik-bisik mengenai rumor selama ini beredar. Masih banyak teka-teki yang belum terpecahkan sebab kabar pernikahan tentang Kenzi dengan gadis lain dan bukan seorang Callista.

"Jese, tolong antarkan dua kopi susu ke ruangan tuan Kenzi, ya!" perintah Callista pada seorang pegawai berkacamata.

Sesampainya mereka di ruangan, tak banyak omong Callista langsung menduduki bangku kebanggaan milik Kenzi dan reaksi pria tersebut ialah tatapan tajam bak elang. "Siapa yang menyuruhmu duduk?" tanya Kenzi bernada datar.

Sedangkan Callista sendiri hanya menampilkan senyum lebar dan tangannya sengaja dilipat ke dada, gambaran seperti bos. "Kamu kok semakin sensi gitu? Aku gak suka banget sama nada yang kamu lontarkan!"

Sama seperti di awal, pria tersebut hanya diam datar. Namun, lebih parahnya dia malah menarik tangan Callista untuk segera bangkit dari bangku miliknya. "Mengganggu!"

Terkejut! Callista terkejut dikatakan sebagai pengganggu membuat emosinya naik, namun buru-buru dia menarik napas agar dapat meredam kemarahan. Lantas, wanita itu berujar dengan nada penuh penekanan, "Lebih baik bahas pekerjaan saja! Aku lelah berdebat dengan pria kasar sepertimu!" Dirinya berjalan menuju bangku yang ada di depan, seperti wanita angkuh dia menduduki lalu berujar kembali, "Aku sudah menyiapkan rancangan pakaian yang akan tampil di acara nanti. Namun, kutak yakin apa kalian dapat memproduksi dengan jumlah banyak dalam waktu kurang lebih dua minggu saja?"

"Dirimu meragukan perusahaanku?" tanya Kenzi karena merasa tersinggung atas ucapan yang baru saja terdengar. Sedangkan wanita itu hanya tersenyum miring seraya memajukan badan. "Hanya bercanda! Lagian, mana mungkin De'Corp Universal mengecewakan kliennya sendiri," ujar Callista, lebih tepatnya seperti sedang meledek atau menyindir.

Aura panas yang terpancar dalam ruangan seketika terurai saat suara ketukan pintu terdengar dari luar. Sontak Callista berujar, "Masuk!"

Pihak pegawai pun memberanikan diri untuk masuk walau sebenarnya jantung sedang berdebar kencang. Biasalah, aura ruangan seorang atasan itu berbeda rasanya. Pria berkacamata itu pun meletakkan cangkir kopi tepat di atas meja. Sebelum keluar, dia lebih dulu membungkuk sebagai salam hormat dan berkata, "Saya izin mengundurkan diri, Tuan dan Nona."

Saat Callista mengangguk, barulah pegawai itu keluar ruangan. Kini fokus Callista lagi-lagi mengarah pada Kenzi yang sedang fokus pada komputer, menampilkan skema rangkaian kegiatan akhir tahun pada perusahaan De'Corp Universal.

Hingga dering ponsel menggelar dalam ruangan hening, sontak Callista izin untuk keluar sebentar sebab ada panggilan penting. Tak hirau, Kenzi malah lebih fokus pada kerja yang menumpuk saat ini. Ngomong-ngomong soal telepon-menelepon, Kenzi jadi teringat istrinya yang berada di rumah. Entah mengapa ada perasaan aneh yang ingin sekali tangannya mengirimkan pesan mengenai kabar dia. Namun, biasalah, namanya seorang pria pasti akan merasakan gengsi dan kali ini Kenzi mengalaminya.

Dengan mengambil ponsel, tangannya sibuk mengotak-atik nomor yang ingin ditelepon. Saat sudah benar-benar di depan layar, tangannya mendadak kaku. Hilang sudah keberaniannya selama ini. Pikiran pun ikut berputar hanya untuk mencari sebuah alibi yang pas dalam memberi pesan.

Akibat terlalu gugup dicampur dengan panik, saat pintu ruangan terbuka saja tangannya tak sengaja menelpon tombol memanggil. Ekspresinya saat ini adalah cengo dan itu membuat Callista bertanya-tanya. Saat tangannya ingin memencet tombol berwarna merah yang bertujuan untuk mengakhiri panggilan, eh keberuntungan ternyata tak berpihak padanya. Suara lembut seorang wanita membuat dua orang yang berada dalam satu ruangan kaget dengan ekspresi yang berbeda-beda. "H–halo?"

Tanpa sepengetahuan Callista, tangan Kenzi yang berada di bawa meja kantor turut menggaruk-garuk paha, bukti dia memang betul-betul nervous. Setelah beberapa menit ia pun memberanikan diri untuk menjawab. "W–widya, bagaimana k–keadaanmu?"

Pertanyaan konyol yang ditanya oleh Kenzi membuat Callista ikut membelakkan mata, begitu juga dengan Widya. Dia malah berkata, "Hah?"

Mendapat respon yang sedikit mengesalkan membuat raut wajah Kenzi ikut muram. Ia pun mencoba memutar otak agar alasan yang tepat di dapat. Hingga tanpa angin maupun badai, mulutnya dengan spontan mengatakan, "Nanti malam pukul 8 datang ke kafe Lily, suruh pak supir untuk mengantarmu"

"O–oke," balas Widya di seberang sana. Sesudah mengatakan barulah Kenzi tersadar akan mulut konyolnya, namun tetap saja dia tak menyesali perbuatan tersebut. Matanya pun menangkap raut Callista seperti sedang kebakaran, ia tak terlalu ambil pusing dan lebih memilih profesional dalam bekerja.

Mereka pun akhirnya kembali bekerja dengan serius, membicarakan desain yang telah wanita itu siapkan memang bukanlah suatu hal yang gampang. Belum lagi dirinya harus menyiapkan lima puluh ribu stok dalam waktu dua minggu. Benar-benar proyek besar dan tak terasa waktu terus berjalan. Langit yang seharusnya menampilkan warna biru seperti air laut, kini tampak menggelap dan hanya bantuan dari cahaya bangunan serta jalanan yang menjadikannya terang.

Seorang gadis telah mempersiapkan diri dengan gaun polos berwarna navy medel leher lebih ke sabrina dipadukan dengan kerah yang besar sehingga semakin mempercantik. Dipadukan juga dengan kalung emas putih yang bermotif bunga-bunga disatukan serta tengahnya tampak berlian biru menambah aura mahal dari sang pemakai. Widya dirias oleh salah satu pelayan yang berada di rumah, tadi sudah ditelepon Kenzi hingga ia bisa membantu Widya.

Tak lupa ditambah ikat pinggang berwarna emas serta putih dan ditengahnya juga ada berlian biru. Memerlukan waktu sekitar tiga jam untuk bersiap-siap dan kini Widya tinggal berangkat. Lihatlah wanita ini! Semakin elok rupawan dan mungkin saja akan memikat hati para pria. Model rambut wanita itu ditata menjadi ikat tengah, namun biar lebih menarik digelombangkan bagian bawahnya saja.

"Nona, silakan masuk," kata sang sopir membukakan pintu. Lantas saja Widya segera masuk dan mengucapkan, "Terima kasih." Dengan lembut seraya tersenyum.

Mobil pun mulai melaju. Dari balik kaca mobil Widya melihat jalan raya yang begitu ramai bahkan seperti tak ada henti-hentinya untuk berkendara. Sangat berbeda dengan di kampung, bila di tempat ia tinggal mungkin saja pukul segini jalanan akan sepi bak kuburan. Belum lagi lampu jalanan di sana hanya sedikit bahkan untuk berjalan kaki harus memiliki keberanian tingkat tinggi.

Namun, ia tetap bersyukur sebab pemerintahan sekarang sudah lebih berkembang dibandingkan dulu. Saat ini jalanan di kampung telah beraspal bahkan untuk menuju kota saja sudah lebih cepat dibandingkan masa lampau, sebab adanya jalan tol.

Tak terasa, saat melamun ternyata mobil telah berhenti. Itu menandakan bahwa mereka telah sampai. Pintu mobil terbuka dan tertampil wajah sang sopir yang menunduk seperti memberi hormat. Sedikit sungkan sebenarnya karena belum terbiasa, namun dia hanya bisa berucap, "Terima kasih."

Kemudian sang sopir hanya mengangguk lalu berpamitan, "Kalau begitu saya pulang terlebih dahulu, ya, Nona. Sebab tuan mengatakan saat pulang akan bareng dengan nona, untuk itu saya pamit undur diri."

"O–oh, iya. Terima kasih sekali l–lagi aku ucapkan," ujar Widya sedikit keras karena takut sang sopir tak mendengar.

Kepergian mobil membuat kaki Widya melangkah menuju ke dalam restoran. Terlihat lampu-lampu remang serta alunan musik instrumen yang membuat suasana hati menjadi tenang. Saat baru melangkah masuk, seorang wanita mendekatinya dan berkata, "Nona, apakah anda Nona Widya?"

Mendengar namanya disebut Widya pun mengangguk. Lantas pegawai restoran tersebut tersenyum lalu bersuara dengan badan menunduk serta tangan tampak seperti sedang mempersilakan masuk. "Wah! Nona sangat cantik, mari ikut dengan saya."