webnovel

Bab 2 - Kecelakaan

"Ayah kamu kok belum pulang jam segini? Coba Widya cari ke tongkrongannya sana." Ibu Widya berujar tanpa mengalihkan pandangan dari jendela yang terus dia pantau.

Sudah pukul delapan malam dan sampai saat ini tak ada tanda mengenai kehadiran pria sejak pagi telah pergi meninggalkan rumah. Cahaya, ibunya Widya bolak balik keluar masuk rumah, mengkhawatirkan keadaan sang suami. Rasa panik karena takut terjadi bahaya di luar sana, apalagi mengingat sang suami pemabuk.

"Ya sudah, Bu. Widya cari dulu," ujarnya sambil menyalami tangan Cahaya.

Malam sunyi akibat kurangnya penerangan di kampung membuat jalan terlihat gelap dan mengerikan. Belum lagi suara hewan-hewan berbunyi aneh, menambah kesan horor. Bermodal senter kecil di tangan, Widya terus menoleh ke sana kemari. Mencari keberadaan sang ayah. Berjalan selama belasan menit, mulai terlihat sebuah gubuk-gubuk yang biasa dijadikan warga sekitar menjadi warung kopi. Namun akhir-akhir ini lebih ramai pengguna alkohol, sehingga tingkat keamanan semakin sulit didapatkan.

Tak terlalu jauh, tetapi sangat terdengar suara berisik akibat teriakan dan musik bercampur menjadi satu. Sangat ramai, bahkan banyak warga yang duduk di luar gubuk sambil bermain kartu. Sebelum melangkah, Widya berdoa terlebih dahulu dalam hatinya. Agar tetap dilindungi dan terjaga dari bahaya. Sampailah dia di depan gubuk, aroma bau menyengat di hidung membuat Widya sesak. Ingin muntah rasanya, namun lagi-lagi harus bisa bertahan.

"Duh, gadis cantik ini mau kemana?" tanya seorang pemabuk yang berada di dekat pintu masuk gubuk.

Widya tak mau menggubris, mencoba untuk masuk namun harus terhenti akibat tangan ditahan oleh seorang pria mabuk lain. Tampangnya kali ini lebih terlihat tua dari yang sebelumnya. Benar-benar menutup hidung sebab aroma begitu tajam menusuk indra penciuman.

"Kamu terlihat familiar," ucap pria mabuk itu sambil menunjuk ke arah Widya.

Sedangkan yang ditunjuk malah menaikkan sebelah alis mata, bingung. Karena tak pernah bertemu atau ingat sedikitpun dengan orang ini. Namun matanya membulat saat mendengar teriakan yang sangat tepat di depan wajahnya.

"Nah! Kamu anaknya Dhani? Bilang ke ayahmu sana! Kalau gak punya uang, jangan sok main judi! Kita rugi parah, tau!"

"K-kalau boleh tahu, ayah saya ada di dalam sini gak, Pak?" Suara yang terdengar ragu, namun seberusaha mungkin untuk bisa bertanya. Takut nanti usaha sia-sia bila sudah masuk namun tak ada orang yang dicari. Mending langsung bertanya saja.

"Ayah kamu? Di sini?" tanya pria itu sambil menunjuk ke arah dalam gubuk. "Tidak boleh! Saya sudah mengusirnya! Rugi lima juta dan itikad baik pun tak ada! Jangan pernah kamu sebut namanya lagi!" Sambung pria tersebut dengan jari yang menunjuk-nunjuk khas orang mabuk.

Widya menghela napas kasar. Kemana lagi harus dia cari? Tampaknya ini sudah sangat malam. Kemana ayahnya akan pergi selain ke warung kopi terlebih lagi sudah diusir. Mungkinkah mencari tempat lain? 

Widya izin berpamitan. Rasa ingin putus asa mencari, apalagi mengingat perlakuan buruk yang telah ayahnya lakukan. Sayang saja, ibunya begitu cinta mati. Bahkan tak rela berpisah dengan pria sadis tersebut. Cinta memang begitu buta dan membuat bodoh. Sebab itu juga, Widya tak pernah berpacaran sama siapa pun dalam hidupnya. Membuat sebuah prinsip teguh, bahwa tak ingin menikah bila memang hanya untuk menyakiti hati.

Di tengah lamunan, ada segerombolan mobil yang melaju kencang. Cahaya lampu dari mobil yang begitu menyilaukan mata, membuat menutup penglihatannya. Saat ingin berjalan ke sudut jalanan, tiba-tiba saja ada mobil menyerempet Widya, hingga jatuh tersungkur. Bau anyir mulai tercium di indra penciuman. Rasa sakit, perih, dan nyeri bercampur-campur, serta ingin menangis di tempat. Dapat Widya lihat mobil berhenti dan dua orang berpakaian mewah serba hitam keluar dan mendekatinya. 

"Tuan, tampaknya kaki nona ini mengalami luka. Apa yang harus kami lakukan?" Suara seseorang terdengar. 

Kepala Widya dimiringkan sambil mengerutkan alis mata. Tampak bingung dengan siapa orang tersebut berbicara. Sebab temannya yang satu lagi, berjalan menjauhi. Seperti sedang memeriksa sesuatu. Lalu dapat ditangkap gerakan kepala mengangguk. Pria yang Widya pikir berbicara sendiri mendekat padanya. Wajah datar serta tubuh tinggi membuat Widya terkesima. Matanya semakin membulat saat melihat sebuah amplop berwarna coklat tebal berisi uang.

"Kata tuan kami, silahkan ambil uang ini dan berobatlah. Jangan pernah memberitahukan kejadian barusan kepada siapa pun."

Benar-benar tak percaya. Namun hatinya seperti ada keraguan, mengingat uang yang begitu banyak tak mungkin bisa diambil secara cuma-cuma. Mengeluarkan senyum lebar, kepala Widya menggeleng. Membuat dua orang pria yang ada di hadapannya menatap satu sama lain.

"Aku tak menginginkan uang itu. Lagian ini tak terlalu parah. Aku harus segera mencari seseorang. Terimakasih kasih." Sambil berusaha untuk bangkit, Widya pelan-pelan tak ingin sampai terjatuh lagi dan berakibat lebih fatal.

Namun saat berhasil bangkit, Widya diherankan dengan dua pria tersebut berbicara memanggil tuan. Matanya tak melihat orang lain selain mereka bertiga. Hingga tak berapa lama, seorang pria kembali keluar dari dalam mobil. Kali ini pesona yang lebih menarik, sampai-sampai Widya melebarkan mulut. Terlalu tampan dan gagah, dengan rambut tertata rapi, menggunakan jas serta dasi, rahang tegas, serta alis mata yang tebal membuat hati kecilnya meronta-ronta.

"Tuan, nona kecil ini tak ingin menerima uangnya." Seorang pria berujar sambil menundukkan kepala.

"Ada gerangan apa sehingga nona biasa ini tak mau menerima uangku? Apakah begitu sedikit sehingga tak mengambil?" tanya pria berjas hitam, dengan cepat Widya menggeleng sambil menampilkan cengiran paksaan.

"Bukan begitu, Tuan. Akan tetapi, saya memang tak memerlukannya. Luka saya juga tak terlalu serius." Widya memperlihatkan luka kakinya. Walau ada darah yang kelihatan namun tak terlalu parah memang. 

"Anda yakin, Nona? Uang ini bisa anda pergunakan untuk hal lainnya bila mau. Atau ingin saya tambahkan?"

Lagi-lagi Widya menggeleng sambil melambaikan tangannya, tanda tak setuju. Berjalan tertatih-tatih, Widya mendekati pria tersebut. Senyuman lembut terukir di wajahnya kemudian membungkukan badan selama beberapa detik dan melakukan secara berulang kali.

"Terima kasih atas niat baiknya. Namun, uang tersebut tidak dapat diambil. Saya izin pamit, karena ada seseorang yang sedang saya cari," ujar Widya lalu berjalan menjauhi tiga pria dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Pria yang dipanggil tuan hanya memandangi punggung semakin lama semakin menjauh. Uang yang berada di tangan asistennya hanya diangguri. Pikirannya berkecamuk. Jarang sekali melihat wanita memiliki prinsip seperti tadi. Padahal uang tersebut dapat digunakan untuk keperluan lain, namun sama sekali tak diambil bahkan disentuh pun tidak. Memanggil para asistennya untuk segera kembali melakukan perjalanan.