webnovel

Bab 14 - Tak Berguna Lagi

"Istri saya hamil, Dok?"

Pertanyaan Dhani diangguki sang dokter dan pria itu terlihat sangat kegirangan bahkan sampai melompat.

"Akan tetapi kandungannya lemah sebab berat badan sang ibu terbilang sangat kurus."

Sontak yang tadinya Dhani meloncat kegirangan terpaksa menghentikan gerakan, lalu mendekatkan diri pada dokter.

"Lalu bagaimana, Dok? Kandungannya tetap bisa bertahan?"

"Tentu bisa kalau si ibu dijaga dengan ketat."

"Hanya itu saja?"

"Hmmm, sama satu lagi yaitu, tidak berhubungan intim selama masa awal kehamilan."

Penjelasan terakhir membuat Dhani menggeram, dia tak suka dengan ucapan si dokter. Mulutnya membantah, "Lha, mana bisa gitu, Dok!"

"Seperti yang saya jelaskan sebelumnya bahwa kandungan lemah dan berhubungan intim salah satu pemicu keguguran."

Dhani berdecak sebentar, sesudah itu menatap dokter dari atas ke bawah. Perlahan mulai mendekatkan diri.

"Kalau gitu dokter jadi pengganti istri saya aja, kalau lagi pengen."

Sang dokter terkejut kemudian mundur selangkah ke belakang.

"Bapak jangan bercanda!" tegas san dokter. Sedangkan Dhani malah menampilkan senyum miring sambil memasukkan kedua tangan pada saku celana.

"Saya gak lagi bercanda, Dok. Kalau istri saya memang gak bisa layani, gimana kalau dokter saja?"

"Istri bapak lagi hamil, lho? Gak malu menawarkan hal yang tidak pantas pada wanita lain?"

"Pantas-pantas saja, Dok bila kita berdua mau."

Omongan menjijikkan milik Dhani membuat sang dokter menatap seakan kesal, akhir dia memanggil satpam untuk membawa pria itu pergi.

"Lho! Kok bawa-bawa satpam?" tanya Dhani kebingungan.

"Bapak sudah berani ingin melecehkan saya! Untungnya saya masih punya belas kasihan sehingga tak memenjarakan!"

"Kalau memang dokter gak mau tinggal tolak saja toh! Mengapa harus diseret paksa begini!" teriak Dhani saat tangannya mulai ditarik oleh dua orang satpam.

Sedangkan si dokter hanya menggeleng malu. Baru kali ini dia menemukan orang yang sangat tak tahu sopan santun. Demi menjaga ketenangan pasien sehingga dia tak jadi memenjarakannya.

••••

Hari begitu terik membuat kerongkongan seakan terbakar. Widya berniat untuk membuat sebuah es yang dapat diminum. Saat sedang memecah-mecahkan batu es, suara seseorang yang terdengar familiar muncul.

"Lho, Bapak?" kagetnya saat melihat sang bapak berjalan sempoyongan.

"Sini kamu!" panggil Dhani namun karena belum disadari oleh Widya membuatnya kembali memanggil dengan suara lebih keras. "Sini!"

"Mana ibu, Yah?" tanya Widya dengan kepala celingak-celinguk mencari tahu.

Akan tetapi, si ayah malah tertawa tidak jelas membuat sang anak mengerutkan kening. Dia memiliki ide untuk menyadarkan ayahnya dengan menyiramkan sedikit air ke wajah. Saat ingin beranjak, satu tangan sudah ditarik oleh Dhani membuat ia tak dapat pergi kemana pun.

"Kamu tahu kalau ibumu hamil!"

Ungkapan yang begitu mengagetkan seorang Widya bahkan saat ini dirinya terdiam, mencoba mencerna. Dhani sendiri malah bangkit dan memegang pundak anaknya kemudian menggoyangkan beberapa kali dengan keras sambil berujar dengan keras. "Ibu kamu hamil! Hamil!" Penuh penekanan di akhir.

Tersadar membuat Widya refleks menutup mulut dengan mata berkaca-kaca. Dia begitu terharu mendengar kabar baik dari sang ayah.

"T–terus, bagaimana kondisi ibu?"

Otomatis raut wajah Dhani berubah, hal itu tentu menjadi pertanyaan di benaknya. Buru-buru Widya mencoba memegang pundak sang ayah dan kembali bertanya. "Yah, bagaimana kondisi ibu?"

Dhani semakin aneh, sekarang dia tampak memukul-mukul angin seperti sedang mengisyaratkan untuk orang-orang menjauhi. Lain pada Widya, gadis itu semakin gencar bertanya dengan menggoyangkan tubuh Dhani.

"Awas! Jadi anak bikin rusuh saja! Mending kamu pergi ke rumah sakit," ujar Dhani asal seperti gaya mabuk.

"Ke rumah sakit? Ibu di rumah sakit?"

Kepala si ayah menggeleng membuat kepanikan mendadak muncul dari dalam tubuh Widya. Gadis itu buru-buru ingin pamit, namun terhenti saat suara sang ayah terdengar kembali.

"Ibumu di rumah sakit! Ayah sengaja pulang karena dia sudah tidak berguna! Padahal aku mengharapkan anak itu, namun saat mendengar pernyataan si dokter yang menyatakan tak boleh berhubungan intim dengan dia, aku jadi benci menatap wajah si Cahaya!"

Setelahnya tangan Widya mengepal erat, emosi begitu memuncak mendengar hinaan sang ayah. Dengan wajah penuh kebencian, Widya berbalik badan lalu melayangkan satu tinjuan pada wajah Dhani. Dia sudah tak terlalu peduli bagaimana nanti.

"Bangsad! Berani kamu meninjuku, Sialan!" marah Dhani dengan tangan memegang wajah lebam.

Widya meludah tepat di samping tubuh sang ayah kemudian menatap seolah ada bangkai di depan. Dirinya berjongkok lalu membuat mata lebar seperti sedang ingin membunuh seseorang, beginilah dia sekarang begitu terpancar aura sangar.

"Berani anda menghina ibu saya seperti itu?" ungkapnya dengan nada penuh penekanan.

Sedangkan Dhani bukannya takut malah tertawa kencang dan menepuk pipi sang anak, seperti sedang mempermainkan.

"Memang ibumu yang murahan itu tak berguna lagi!"

Masih dengan mencoba tahan kesabaran, Widya semakin meredakan emosi dan mengepalkan tangan seperti siap ingin menonjok.

"Saya bisa saja menghabisimu karena anda bukanlah ayah kandung saya!" Widya memperingati pria di depannya agar bisa menjaga omongan. Namun sebeliknya malah Dhani sengaja menampar pipi sambil tertawa tak jelas.

"Apa? Mau tampar? Tampar sini! Tampar!"

"Aku bukan sembarangan memukul seseorang!"

"Hahaha, anda sama pecundang dengan ibumu!"

"Jangan pernah menyebut ibu dari mulut kotormu, Sialan!"

"Apa kamu bilang? Ya sudah, pergi sana ke rumah sakit dan jangan lupa untuk bayar seluruh administrasi!"

Terkejut! Widya sampai membelakkan mata lebar. Dia tak menyangka akan setega itu ayahnya dengan membiarkan pembayaran rumah sakit saja tak diurus. Tangan Widya segera menarik kerah baju ayahnya lalu berteriak tepat di depan wajah.

"Anda tak membayarnya? Kemana uang yang diberikan Kenzi? Mengapa anda tak mau mengurusi masalah itu?!"

"Sudah kukatakan dia tak berguna, untuk apa harus mengurus sampah?"

Saat itu juga Widya melayangkan pukulan tepat di wajah kanan Dhani. Sudah kalang kabut, emosinya benar-benar ingin tersalurkan bila tidak, ada rasa meronta dilepaskan.

"Sialan! Itu ibuku dan dia istrimu! Berani-beraninya anda mengatakan hal itu!" pekiknya dan terus melayangkan tinju.

Meskipun badan kecil, namun bila sudah emosi berada di ujung tanduk maka tenaga orang itu bisa saja lebih kuat dibandingkan lawan. Makanya itu jangan pernah meremehkan orang-orang pendiam yang dirasa tak akan melawan, sebab mereka tahu kapan waktu untuk membalas.

Akibat pengaruh alkohol membuat Dhani tak membalas dan hanya terduduk lemah penuh lebam. Terus-menerus meringis tak membuat Widya beri ampun, malah saat ini gadis itu menatap Dhani seperti musuh. Setelah merasa cukup, si Widya mendekati telinga sang ayah dan berkata, "Aku akan membuat anda menyesali setiap omongan yang keluar hari ini. Anda tak percaya? Maka tunggu saja waktu mainnya!"