webnovel

Bab 1 - Kapan Berubah

Lagi-lagi pecahan kaca terdengar, seorang anak perempuan hanya bisa menutup telinga serta bersembunyi di balik pintu kamar. Pertengkaran hebat antara orang tua sudah berulang kali terjadi. Semua permasalahan berawal karena ekonomi. Tak adanya uang membuat ibu dari anak perempuan tersebut tak dapat memenuhi kebutuhan rumah. Sedangkan sang ayah yang terus bermain judi serta menghamburkan uang dengan mabuk-mabukkan, membuat keluarga semakin melarat.

Merasa pertengkaran mulai mereda, anak perempuan tersebut bangkit menuju tempat tidur usang miliknya. Berpura-pura tak mendengar, karena dia tahu kejadian yang akan datang ialah sang ibu masuk ke dalam kamar. Tak lama dia naik, terdengar suara pintu terbuka, sontak menutup mata. Anak perempuan tadi mulai merasa pelukan basah, sebab air mata yang membanjiri mengenai pakaian. Isak tangis yang terdengar seakan menyihir anak perempuan tersebut. Tak terasa matanya ikut berair, walau dalam diam tanpa mengeluarkan suara.

Tak terasa sudah hampir satu jam menangis dalam diam. Getaran dari arah belakang pun sudah tak ada, berganti dengan dengkuran kasar pertanda bahwa ibunya telah tidur. Anak perempuan tadi berbalik dengan pelan, wajah keriput sang ibu sudah terlihat begitu jelas. Tangannya dia angkat dan membelai pipi wanita itu. Kemudian mencium kening agak lama sambil mengucapkan kalimat selamat malam. Berakhir dengan ikut masuk dalam mimpi indah, berharap kebahagiaan datang pada hari esok dan seterusnya.

Sebelum ayam berkokok, seperti biasa anak perempuan tersebut telah bangun dan bersiap untuk memasak gorengan yang akan dijual pagi nanti. Dengan bahan seadanya serta rasa syukur karena Tuhan masih memberikan kesehatan sehingga masih dapat bekerja. Menginjak usia sembilan belas tahun, harusnya masa ini dia harus kuliah seperti anak pada umum. Namun, ekonomi yang tak mendukung, membuatnya harus berhenti mengejar impian.

Tak terasa suara ayam saling beradu, itu artinya langit akan segera terang. Gorengan serta sarapan pagi telah dia siapkan. Walau hanya lauk tahu kecap cabai dipotong-potong dengan irisan bawang serta tomat. Namun untuk rasa tentu masih bisa dimakan. Sebelum ayah dan ibunya keluar kamar, anak perempuan itu memutuskan untuk mandi.

Sambil membasuh, masalah-masalah tentang keluarganya terus berputar di pikiran. Menjadi anak tunggal di tengah keluarga yang hancur berantakan sungguh tak enak rasanya. Kadang rasa iri melihat orang lain hidup bahagia bersama keluarga serta bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, lagi-lagi dia ditampar oleh kenyataan. Bagaimana sang ayah memperlakukan Widya dengan begitu kejam, bak babu di istana. Sering mendapat kekerasan membuatnya sangat trauma, keputusannya tak ingin cepat-cepat menikah sudah dia tanam sejak kecil. Akibat melihat betapa hancurnya rumah tangga orang tua, membuat rasa takut untuk membangun sebuah keluarga.

Saat selesai dan keluar dari dalam kamar mandi, sudah terlihat ibunya sedang menyapu rumah. Mata sembab serta wajah ditekuk, Widya hanya bisa menghela napas. Lantas ia berjalan mendekati sang ibu, bermaksud untuk menggantikan pekerjaan yang sedang wanita itu lakukan. Namun, saat masih berjalan dua langkah, suara pintu kamar terdengar. Pintu dapat terdengar sebab ada kerusakan membuat suara menjadi sangat nyaring. Hal itu membuat tubuh Widya mendadak bergetar. Dengan kepala menunduk, dia segera berlari ke arah kamar. Berlindung pada pintu dan mengintip di sela-sela.

"Kamu jangan makan! Uang belanja sudah lima bulan tak kamu beri. Jangan pernah menyentuh makanan itu!"

Teriakan dari sang ibu dapat dia dengar dari balik pintu. Menangkap ekspresi ayahnya yang sangat marah dan berjalan mendekati wanita tersebut. Suara tamparan begitu nyaring, membuat Widya terkejut bahkan sampai menutup mulut. Terjadilah peperangan karena membuat kepala keluarga marah.

"Kamu pikir, kamu siapa? Ingat! Ibumu dulu menjodohkanmu denganku karena dia tahu bahwa kamu itu wanita tidak beres! Jangan pernah berharap mendapat uangku, hei wanita murahan!"

Entah dalam keadaan mabuk atau tidak, ucapan dari pria tersebut terdengar saat ngawur. Karena itu juga, membuat emosi ibu Widya memuncak. Dengan tenaga sepenuhnya, ibu Widya mendorong sang suami, lantas pria itu tergeletak di lantai. Masih dengan tawa mengejek serta ucapan sembarangan.

"Hahaha, wanita murahan tetaplah wanita murah. Tak perlu sok suci dan marah bila ada yang mengatakan seperti itu," ujar pria tersebut berusaha bangkit. "Sama satu lagi. Aku menyesal menikah denga wanita idiot seperti dirimu." Lanjutnya lagi sambil menepuk pipi sang istri lalu berjalan keluar rumah.

Widya yang sedang mengintip ikut keluar dari kamar dan menemui ibunya. Memeluk erat serta menangis dalam pelukan. Merasa menjadi anak yang tak berguna, sebab saat ada pertengkaran hanya bisa bersembunyi. Itu semua karena trauma yang begitu mendalam. Dapat dia rasakan semakin eratnya pelukan dari wanita tersebut. Bahkan bahunya juga sudah basah akibat air mata yang membanjiri.

"Maafkan Ibu, Nak! Maafkan Ibu!" Dengan suara sendu, ibunya berucap.

Sedangkan Widya, menggelengkan kepalanya. Menyudahi pelukan dan menatap mata sayu wanita tersebut. Bila dari tatapan, bisa dirasakan ada sedih, marah, kecewa, bingung, putus asa bercampur jadi satu. Tangannya terangkat untuk menghapus jejak air mata lalu mengarahkan jari mendekat ke sudut bibir. Dengan jari telunjuk dia gunakan untuk menarik ujung bibir agar terangkat.

"Tersenyumlah, Bu. Aku tak ingin melihatmu bersedih," ujarnya sambil tersenyum juga.

Pelan-pelan wanita itu mulai menampilkan senyumnya. Ingin rasanya menangis saat melihat ukiran itu di bibir. Berandai-andai dapat melihat senyum ini lebih lama. Di rasa akan menurunkan air mata, Widya segera menghapus air matanya sendiri. Kemudian tertawa saat ibunya juga tertawa.

"Jadilah wanita baik, Nak. Agar orang menghargai dirimu." Ibu Widya berujar sambil membelai rambut anaknya dengan lembut.

Tatapan tulus terpancar dari matanya. Widya yang tak tahan langsung memeluk erat tubuh ibunya, menumpahkan segala kesedihan yang terpendam. Tuhan masih sayang padanya sebab masih memberikan seorang ibu yang begitu baik. Tak mengapa kalau sang ayah berbuat onar, bila bersatu bersama ibunya dia yakin seluruh masalah akan dapat terselesaikan.

"Segera susun warung makanan kita. Biar gak kesiangan. Ibu terpaksa mencari pinjaman, bila tidak mulai besok kita tak dapat berjualan kembali."

"Baik, Bu. Hati-hati," ujarnya sambil menyalam tangan sang ibu.

Setelah kepergian ibunya, Widya segera membawa seluruh gorengan yang telah dia masak. Sudah hampir pukul tujuh dan itu artinya dia sedikit telat buka warung. Sambil bersenandung, Widya tampak cekatan mengelap meja serta merapikan barang yang berserak. Tetap bersemangat dan ceria meski hati penuh dengan kesedihan yang mendalam.

"Kak, nasi bungkusnya satu pakai telur mata sapi, ya," ujar seorang anak kecil berpakaian merah putih khas sekolahan.

"Siap, Dek." Widya tersenyum lalu mulai mengambil kertas bungkusan serta memotong daun pisang yang telah dipersiapkan tadi malam.

Mulai membuka penutup nasi, berterbangan uap yang menggumpal. Wangi alami serta putihnya nasi membuat Widya mengucap syukur lalu mulai menyendokkan beberapa sendok nasi ke dalam bungkusan. Beralih kearah telur mata sapi yang telah tersaji tak lupa menambahkan sedikit sambal.

"Dek, mumpung pelanggan pertama, kakak mau kasih gorengan gratis satu. Mau yang mana?" tanya Widya kepada anak sekolah tersebebut.

"Wahhh, mau bakwan aja dong, Kak."

"Ok."

Berakhirlah Widya menambahkan bakwan lalu menyatukan semua ke dalam plastik. Dipanggil pembelinya tersebut lalu menyerahkan. Dia begitu terkejut saat anak sekolah dasar sudah memegang uang lima puluh ribu. Ternyata kalah sama anak kecil pikirnya.

"Astaga, Dek! Uangnya besar sekali. Kakak belum ada uang kecil untuk kembaliannya. Bagaimana ini?"

Widya terlihat khawatir karena baru saja buka dasar. Mana untuk menukar uang harus berjalan beberapa puluh meter untuk sampai ke kedai jualan. Karena daerah rumahnya sepi orang berjualan. Berbeda dengan anak laki-laki kecil itu, dia malah tenang dan merogoh kantong bajunya.

"Tadi totalnya delapan ribu kan, Kak? Nih aku ada sepuluh ribu. Kembaliannya ambil aja. Kata papa hitung-hitung sedekah."

Reaksi Widya begitu senang. Walau hanya kelebihan dua ribu tapi menurutnya ini adalah sebuah berkat dan keberuntungan. Dia mengucapkan terima kasih.

"Sebenarnya aku tadi ada uang kecil kok, Kak. Hanya niat pamer doang tadi, hahaha." Usai mengatakan, bocah laki-laki tersebut berlari meninggalkan Widya yang terbengong.

Hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah bocah kecil itu. Walau pamer tapi sebenarnya cukup mulia. Widya berdoa agar anak kecil tadi, kelak mendapat hidup yang bahagia.