webnovel

39. Kulihat Dirimu (4)

"Nggak mau! Niar mau disini sama Nenek!" rengekan bocah itu membuat Haris bingung.

"Tapi besok sudah masuk sekolah, Niar.. Katanya Niar mau sekolah.." bujuk Haris sambil mengusap punggung putrinya.

"Nenek..! Nenek..!" Niar menggelengkan kepala, tangannya makin erat mencengkram baju Ngatini.

Wanita renta itu memberi kode mata pada Haris, membuat pria itu melangkah mundur. Memberi ruang bagi mereka untuk berbicara.

"Niar mau sama nenek?" tanya Ngatini. Gadis itu mengangguk cepat. "Nanti kalau ayah kembali ke Surabaya, Niar nggak kangen?"

Kali ini Niar terlihat berpikir keras. "Kangen.." jawabnya dengan bibir cemberut. "Tapi Niar juga kangen Nenek!"

Kali ini air mata turun dipipi putih bocah kecil itu. Haris yang sudah akan memaksakan diri untuk tegas, langsung luluh. Selama ini, Niar hampir tidak pernah menangis dan meminta sampai berteriak. Gadis itu malah cenderung pendiam dan penurut.

Ngatini buru-buru menghapus air mata cucunya. "Duh, sayang, ngapain nangis. Sudah, sudah. Niar anak pinter, jangan nangis, ya..."

"Kalau Niar pulang besok selasa atau rabu, gimana, Ris? Biar dianter Lik Hudi," tanya wanita itu pada anaknya.

"Iya, Ris. Biasanya nggak pernah pisah lama mulai umur setahun," kali ini Pak Yono, kakek Niar ikut menimpali.

Kalah suara, wakil direktur itu mengibarkan bendera putih.

"Ya sudah, sekarang Niar sama Nenek dulu. Tapi besok kalau ayah kesini, Niar ikut ayah ke Surabaya, ya," ujar Haris sambil menatap mata putrinya. Dia ingin agar Niar belajar pentingnya menepati janji.

Gadis kecil itu mengangguk dengan raut sungguh-sungguh. "Niar janji, Yah."

Hasan menyentuh lengan duda yang sedang galau itu. "Nanti gantian sama saya, nyetirnya, Pak."

Meski tidak menyukainya, Haris menganggukkan kepala.

"Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu, Buk, Pak," ujar Haris sambil mencium tangan kedua orang tuanya.

"Sering-sering kesini biar Niar nggak kangen, Ris. Ibuk sama Bapak juga senang kalau kamu kesini. Nak Hasan juga," sahut Ngatini.

"Nggih, Buk," jawab Hasan yang turut mencium tangan mereka.

Tidak lama kemudian, mobil yang mereka naiki sudah melaju di jalanan beraspal. Udara panas berdebu, seolah hujan deras semalam hanya ilusi belaka.

Namun Haris tahu kalau semalam bukan ilusi. Perut dan pinggangnya masih sedikit nyeri.

"Pak Haris mau beli snack dulu? Tadi cuma sarapan sedikit," ujar Hasan sambil sesekali melihat ke arah spion.

"Hmm, tidak. Aku nggak lapar," kata Haris yang kemudian tertawa terkekeh. "Aku nggak nyangka kamu bisa dapat ide begitu! Lupa nutup jendela?!"

Hasan bergeser sedikit di tempat duduknya. "Lalu, mau bilang apa?"

"Saya tidak keberatan kalau ada yang tahu, semalam Pak Haris minta digen-"

"Uwaaa!! Hentikan! Hentikan!" teriak Haris sambil berusaha menutup mulut Hasan.

Pemuda itu tersenyum penuh kemenangan sambil menekan pedal gas. Hari ini terasa makin baik. Dia tidak perlu hati-hati karena Niar bersama neneknya. Dan dia bisa menikmati Haris sepuasnya.

..

Hasan merasa seperti telah melakukan perjalanan jauh, saat tiba di apartemennya. Dengan ruangan-ruangan yang terasa asing dan juga familiar.

Mata Hasan mengikuti sosok Haris yang berdiri dengan canggung di tengah ruang tamu.

"Sebenarnya, ada yang mau aku bicarakan," ujar Haris. Dia telah menunda hal ini cukup lama. Lagipula, sekarang mood diantara mereka sedang bagus.

Menyadari keseriusan topik yang akan mereka bahas, Hasan pun berjalan ke arah dapur.

"Akan saya buatkan minum dulu," ujar pemuda itu.

Haris bergerak cepat mencegah dan menarik tangan Hasan. "Ini tidak akan lama. Aku janji."

Hasan pun menuruti kemauan Haris. Dia duduk di samping wakil direktur yang terlihat bingung bagaimana mau memulai.

"Waktu itu, aku bilang kalau kita harus hati-hati agar tidak ketahuan Niar." Haris memaksakan diri memandang mata Hasan. Rasanya malu mengatakan terang-terangan dan berhadapan. Tapi ini penting untuknya.

Pemuda itu mengangguk, tanda dia masih ingat.

Haris kembali menarik nafas, mengatur kata agar maksudnya tersampaikan dengan jelas. "Bukan berarti aku tidak mau melakukannya denganmu."

Hasan kembali menganggukkan kepala. Tapi sorot matanya berbanding terbalik, seolah dia tidak yakin dengan ucapan Haris.

"Hasan," panggil Haris yang kesal dengan respon sekretarisnya itu.

"Saya tahu kekhawatiran Pak Haris. Saya juga tidak mau dianggap sebagai maniak sex di mata Bapak. Makanya, saya tidak akan memaksa kalau keadaannya tidak memungkinkan."

Penjelasan Hasan seperti menusuk nurani Haris. Karena memang dia menganggap Hasan sebagai hewan buas di tempat tidur.

"Dan tentang bunga pinjaman dan membayar tempat tinggal.." lanjut Hasan. "Anggap saja kalau Pak Haris sudah membayarnya."

"Oh.. " gumam Haris yang tidak menyangka sama sekali. "Tapi, aku dan Niar masih belum mencari tempat.."

Hasan memegang telapak tangan wakil direktur yang kelihatan makin bingung itu. "Pak Haris dan Niar tetap tinggal saja disini seperti biasa."

"Oh, begitu..." jawab Haris. Dia lalu memicingkan mata dengan curiga. "Ini sungguhan, ya? Jangan membolak-balik omongan ke belakangnya nanti?"

"Saya bicara sungguhan, Pak!" jawab Hasan dengan senyum lebar dan tawa. "Tempat ini juga terlalu luas buat saya sendiri. Dan saya sudah terbiasa tinggal dengan Pak Haris dan Niar."

"B-baiklah. Bagus sekali!" seru Haris sambil berdiri. "Oh, ya ampun, setelah perjalanan, rasanya gerah sekali. A-aku mau mandi dulu."

Haris bergegas ke kamar Niar dan menutup pintu. Aneh, harusnya dia merasa senang dengan pernyataan Hasan. Tapi hatinya terasa sesak dan tidak enak.

Duda itu pun duduk di ranjang beralas pink muda sambil menatap nanar ke lantai. Setelah dipikir lagi, dia sedikit kecewa karena sudah tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk tidur bersama.

Aack!! Hariiisss!!

Haris merebahkan diri ke ranjang dan memukul-mukul bantal. Lalu tangannya itu ganti mengacak-acak rambutnya.

Dasar munafik!! Gitu kamu bilang kalau Hasan maniak, padahal kamu sendiri yang-

Monolog duda itu terhenti saat pintu kamarnya terbuka. Kepala Hasan muncul diantara celah pintu.

"A-apa ada perlu?" tanya Haris tergagap sambil memperbaiki postur duduknya. Tidak sadar kalau rambutnya masih seperti sarang burung.

Hasan tersenyum kecil. "Saya mau memastikan kalau Pak Haris sudah membersihkan bagian belakang dengan teliti."

Wajah wakil direktur itu kembali memanas karena cara bicara Hasan yang blak-blakan. "Tentu saja sudah!"

"Tidak ada salahnya memeriksa ulang," ujar Hasan sambil menarik tangan Haris.

"Tidak perlu diperiksa," protes Haris.

"Perlu. Bagaimanapun saya sungkan karena meninggalkan sperma disana. Bagaimana kalau Pak Haris hamil nanti?" Tanpa membiarkan duda itu melepaskan diri, Hasan membawa Haris keluar dari kamar Niar menuju kamarnya. Terus sampai ke kamar mandi.

"Mana ada laki-laki yang hamil," bantah Haris yang dadanya mulai berdegup kencang.

Hasan menarik kausnya hingga lepas, disusul celana panjangnya. "Oo~ Pak Haris nggak keberatan kalau hamil anak saya," goda Hasan sambil mendekatkan wajahnya.

"Uugh, terserah," ujar Haris sok kesal, padahal malu. Dia ikut melepas baju dan celana panjangnya. Namun tangannya berhenti saat akan melepas boxer yang juga benteng pertahanan terakhirnya.

Hasan yang memahami konflik yang dialami duda itu. Karena dia sendiri merasakan hal yang sama. Tapi Hasan sudah bisa berdamai dengan hatinya. Kini saatnya membuat pria di depannya itu mengambil keputusan.

Tangan Hasan meraih wajah Haris dan mengusap pelan pipi pria yang sepuluh tahun lebih tua darinya itu. Mata yang menatap balik, berwarna kecoklatan. Pandangannya yang berani dan teguh, serta jujur.

Haris menutup kedua kelopak matanya dan melekatkan bibirnya pada bibir Hasan. Sudah tidak perlu alasan konyol atau apapun lagi. Kalau mereka menginginkannya, itu sudah alasan yang cukup bagi Haris.

.

.