webnovel

32. Tiga Tahun Lalu.. (4)

"Aku kaget waktu cewek tadi tiba-tiba duduk disini," ujar Haris sambil bersandar. Tempat berkelas memang beda. Kursinya saja sangat nyaman.

"Oh, mereka hostess yang bekerja disini. Menemani tamu yang datang sendirian agar betah dan membeli banyak," celetuk Hasan.

Dia lalu menunjuk ke arah sekelompok pria dengan empat orang wanita. "Seperti mereka."

Haris hampir tersedak liur saat menyadari ada wanita yang duduk di pangkuan salah satu pria itu. Dan semuanya menganggap hal itu wajar.

"Di klub lain malah lebih parah," imbuh Hasan. Dia mengambil minuman yang paling ringan. Malam masih panjang, tidak perlu tergesa-gesa.

"Kamu sepertinya tahu banyak. Kamu sering nongkrong di klub dan bar?" Haris mulai penasaran dengan berbagai minuman di depannya.

"Hanya sesekali." Hasan mengangkat sebelah pundaknya.

Pembicaraan santai mereka berlanjut. Haris yang mengambil salah satu minuman berwarna, tidak luput dari pantauan Hasan.

Pria itu menyeruput sedikit, memberi waktu bagi lidahnya untuk terbiasa. Haris lalu membagi pendapatnya saat Hasan bertanya. Hingga hampir semua gelas di meja sudah melewati tes rasa wakil direktur itu.

"Bagaimana? Pak Haris paling suka yang mana?" tanya Hasan, berusaha menahan tawa agar tidak muncul di wajahnya.

"Hmm, sekarang aku suka yang ini, ada rasa nanas dan apelnya..seperti makan kue nastar," jawab Haris. Setelah makan banyak dan rileks, sekarang dia mulai mengantuk.

"Tapi kenapa kamu ngajak aku kesini? Bukannya lebih ramai kalau sama teman-temanmu?" tanya Haris tiba-tiba. "Atau pacarmu?"

"Saya nggak punya pacar." Saat Haris memberi pandangan tidak percaya, Hasan melanjutkan. "Sibuk kuliah, dan sekarang kerja. Pak Haris sendiri, nggak cari pasangan baru?"

"Mungkin nanti kalau ada yang cocok. Sekarang aku mau fokus menabung buat anakku. Maaf, ya, aku cuma bisa traktir makanan murah..." Mood Haris yang mendadak sedih dan kelam, memancing rasa ingin tahu Hasan.

"Kenapa kalian pisah?" Hasan sekedar bertanya untuk menguji kesadaran atasannya.

"Entahlah, tiba-tiba ada banyak hal yang jadi masalah.. Dhea bilang dia capek, uang dariku kurang, rumah kami terlalu kecil.. Jadwalku terlalu padat... Ada orang ketiga.. " Haris menggerakkan telapaknya. "Kami sering bertengkar. Dan itu nggak baik.."

Hasan berusaha mendengarkan dengan empati. Dia bahkan menganggukkan kepala. "Saya tahu Pak Haris kerja keras di kantor, tapi saya bisa mengerti perasaan istri Bapak."

"Iya, 'kan? Kalau bukan karena menabung untuk masa depan Niar, aku juga ingin kerja di tempat yang lebih santai. Orang tuaku juga sudah tua," keluh Haris.

"Bukan itu. Maksud saya, ada bawahan Pak Haris di kantor. Kenapa tidak membagi volume pekerjaan dengan mereka?" tanya Hasan, "Atau, mempekerjakan sekretaris."

Mata Hasan melirik ke meja. Meski hanya seteguk-seteguk, tapi jika dikalikan sepuluh gelas... Hasan yakin sudah cukup membuat atasannya mabuk. Sayang dia hanya memesan cocktail tadi.

"Orang dengan jabatan seperti Pak Haris sudah biasa punya sektretaris sendiri. Malah selain sekretaris, masih punya asisten pribadi juga," lanjut Hasan.

Haris mengangguk. Dia terlihat serius mempertimbangkan kata-kata Hasan.

"Lalu, kamu sendiri gimana?" tanya Haris. Hasan bingung dengan maksud atasannya itu.

"Apanya bagaimana, Pak?" Hasan balik bertanya.

"Katanya kamu kerja di sana karena ngefans aku," ujar Haris.

Hasan serasa ingin menggali lubang dan bersembunyi untuk selamanya.

"Bagaimana kalau kamu jadi sekretarisku?" lanjut Haris dengan senyum lebar. Seolah dia memikirkan ide bagus yang sangat cemerlang.

"Hmm, tidak," jawab Hasan tegas. Dia berniat menjadi intern dan hanya sebatas agar Haris mengakuinya saja. Bahwa Hasan adalah intern terbaik yang dia miliki, yang paling hebat dan sayang jika tidak segera dijadikan pegawai tetap.

"Pak Haris cari orang lain saja," tolak Hasan sambil kembali menegak martini kotornya.

Haris bersandar pada sofa dengan kepala tengadah. "Tidak bisa kalau orang lain."

"Aneh, padahal kamu baru bekerja sebulan tapi sudah terasa akrab," gumam Haris.

Deg!

Mata Hasan melebar saat jantungnya mendadak berdegup kencang. Dia lalu menoleh pada pria yang nafasnya teratur, di sebelahnya. Wajah yang tanpa pertahanan, terlihat jauh lebih muda dan mellow.

Dia beralih pada gelas di tangannya. Mungkin jantungnya terasa aneh karena sudah lama sejak terakhir dia minum-minum dengan kelompoknya.

Hasan memutuskan tidak menghabiskan sisa martini. Dia juga membayar tagihan sebelum kembali ke meja dimana wakil direktur itu masih tertidur pulas.

Tidak lama kemudian, Hasan berhasil membangunkan Haris. Dia mengantar atasannya itu ke rumahnya, sebelum Hasan kembali ke tempatnya sendiri.

..

Hasan pun memutuskan melanjutkan menjadi intern, hanya sampai batas waktu kontrak berakhir. Dia sedikit terkejut saat Haris menawarinya menjadi sekretaris dua bulan kemudian.

Wakil direktur itu beralasan kalau Hasan bisa mengakhiri kontrak lebih awal karena kerjanya sangat bagus. Sebagai sekretaris, selain kenaikan gaji, juga dapat tunjangan jabatan yang hanya didapat karyawan tetap.

"Bolehkah saya minta waktu sebelum memutuskan?" tanya Hasan.

Baik Haris maupun salah satu karyawan dari bagian HR, setuju memberi waktu seminggu bagi pemuda itu.

Tidak lama kemudian, Ny. Husni menelepon, meminta anak lelakinya itu pulang. Maminya itu tidak hanya ingin mengenalkan Hasan pada beberapa gadis anak teman sosialitanya, Ny. Husni juga mengungkap kalau dia ingin putranya itu menjalin hubungan dan segera menikah dengan wanita yang cocok.

Wanita itu menganggap bahwa sikap Hasan yang sudah banyak mengalami kemajuan, dibanding saat masih kuliah. Putranya tidak lagi gonta ganti pasangan dan menghabiskan waktu dengan minum-minum. Meski pekerjaannya baru sekedar intern di perusahaan kecil, Ny. Husni berdalih kalau pengalaman kerja dari bawah akan memberi nilai lebih saat Hasan memimpin salah satu perusahaan milik keluarga mereka.

Hasan yang tidak benar-benar berubah, membuat berbagai alasan pada Maminya itu.

"Aku mau cari pengalaman dulu, Mi. Kan baru tiga bulan masak sudah resign. Aku ingin seperti Mas Asraf."

"Tapi kamu kan anak ketiga, Hasan. Jadi asal tidak membuat perusahaan bangkrut, sudah cukup."

"..." Hasan tahu Maminya tidak bermaksud buruk dengan mengatakan hal itu. Tapi dia merasa bahwa Maminya tidak punya ekspektasi apa-apa tentang dirinya, membuat hati Hasan cukup panas.

"Aku juga ingin membuat Mami bangga. Mungkin nggak sampai sehebat Mas Asraf, tapi aku mau mencari tahu sampai sejauh mana aku bisa berkembang. Apalagi ini perusahaan kecil, gimana kalau aku bisa membantu jadi besar?" Hasan terus berusaha merayu Maminya.

"Baiklah. Tapi jangan kelamaan. Kamu harus menikah sebelum umur 30," perintah wanita itu dengan mulut cemberut.

"Iya, Mi. Aku janji," jawab Hasan sambil memutar mata. Hari ini dia baru berulang tahun ke-dua puluh, for God sake!

Hasan tersenyum saat wanita itu akhirnya menutup telepon.

Dia juga teringat akan kata-kata Haris saat menawarinya menjadi sekretaris.

"Aku puas dengan hasil kerjamu selama ini. Rekan setim yang lain juga berpendapat sama," ujar Haris sambil tersenyum.

Bagian HR menimpali, "Dulu Pak Haris juga punya sekretaris, sebelum menikah, tapi dia menolak orang baru saat yang terakhir resign."

"Saya sama sekali nggak kepikiran sampai Hasan bicara, Bu Yuni." Pria itu tertawa kecil. "Makin lama, ya memang nggak mungkin saya handle semua. Dia punya banyak ide segar, mungkin karena selain rajin, pandangannya luas dan mau terus belajar."

Bukan sekali atau dua kali Hasan dipuji. Sangat sering malah. Tapi semuanya itu berhubungan dengan fisiknya. Wajahnya, bentuk badan, tinggi, bahkan meski gelap, kulitnya bercahaya dan eksotis.

Hasan tahu kalau kepintarannya diatas rata-rata. Tapi saat dibandingkan dengan Asraf, apa yang dicapainya, yang diraihnya dengan susah payah, seperti tidak berarti apa-apa.

Dia juga paham kalau orang tua mereka tidak menuntut kesuksesan hidup. Selama masih dalam batas wajar, Hasan bisa berbuat semaunya. Bahkan saat dia bertindak diluar kewajaran, orang tuanya hanya memarahinya seperti anak kecil. Bahwa yang dilakukannya hanya kenakalan remaja biasa.

Kata-kata Haris seperti angin segar bagi hatinya yang panas tandus. Dia punya nilai, dan dipandang berharga. Yang dilakukannya mendapat pengakuan.

Hasan tidak menerimanya saat itu juga, hanya demi menjaga image. Dia tidak mau terlihat sangat berharap, pada calon jabatan barunya. Dan menutupi hatinya yang berbunga-bunga.

.

Sejak memutuskan menerima jabatan barunya, Hasan masih memikirkan cara agar Haris benar-benar takluk padanya. Tidak bisa bekerja tanpa kehadiran dan bantuan dari Hasan.

Pria itu bukan lagi bernama 'Haris AlHamster' di benaknya. Hanya sekedar Pak Haris, Wakil Direktur.

Tanpa Hasan sadari, obsesinya itu kian menjadi.

.

.