webnovel

29. Empat Tahun Lalu... (1)

(beberapa tahun sebelumnya...)

Hasan terbangun mendengar keributan. Dia menoleh pada wanita yang masih tertidur lelap di sebelah kanannya. Dan baru saja hendak bergerak ke kiri ketika kakinya terkena sesuatu. Kali ini lelaki berambut pirang yang dia temui di bar semalam.

Pemuda berusia 20 tahun itu merengutkan alis ketika keributan makin keras dan pintu kamarnya didobrak paksa. Setidaknya Hasan punya waktu menutupi bagian penting sebelum ibunya meringsek masuk.

"Cepat bangun, Hasan. Kamu pikir sudah jam berapa sekarang?" omelan Ny. Husni berhasil membuat moodnya jelek dalam sekejap. "Sebentar lagi acara tunangan kakakmu!"

"Mi, acaranya masih nanti malam," kilah Hasan.

"Iya, nanti malam. Karena itu kamu harus segera bersiap," lanjut Ny. Husni. Mata wanita itu lalu terarah pada kedua manusia yang mulai sadar di sekitar anaknya.

"Bersihkan dirimu dengan baik. Jangan sampai ada bekas yang menempel," perintah wanita itu dengan ketus sebelum meninggalkan kamar.

Sebagai anak ke-4 dari 5 bersaudara, Hasan tidak tahu kenapa semua tindakannya harus terpantau. Dia punya kakak laki-laki dan perempuan yang lebih cocok memimpin perusahaan keluarga mereka. Hasan hanya ingin bekerja dengan santai, dengan tanggung jawab kecil, dan menghabiskan sisa waktunya bersenang-senang.

Akhirnya beranjak dari tempat tidur, Hasan melangkah ke kamar mandi. Cuek dengan bayangan diri di cermin. Pemuda setinggi 183cm, dengan kulit sawo matang yang eksotis membalut tubuh seksi dan berotot.

Beberapa waktu kemudian, Hasan sudah melangkah keluar apartemen dengan kaos polo dan celana jeans. Yakin bahwa sang bunda pasti sudah menyiapkan kostum untuk semua anggota keluarga tanpa terkecuali.

..

Awalnya Hasan senang mendengar acara tunangan diadakan di hotel. Pasti ada ruangan khusus yang disediakan untuk keluarga sebelum acara dimulai. Disana Hasan bisa berleha-leha sambil bermain game di ponsel.

Tapi tidak, Mami mereka, Ny. Husni sudah mencengkram lengannya erat-erat. Hasan memakai semua yang sudah disiapkan. Wanita itu juga memamerkan Hasan pada hampir semua orang. Keluarga jauh, rekan bisnis Papi, teman-teman Mami, rekan kerja dan teman Aaliya. Dan entah siapa lagi.

Pandangan mata yang terarah padanya, memancarkan kekaguman. Keinginan memiliki, iri hati, dan nafsu. Hasan juga jijik dengan tangan yang ingin menjabatnya, menyentuhnya, meraba, menggerayangi.

Lebih baik bermain-main dengan teman biasanya. Mereka tahu aturan, bahwa mereka boleh melihat Hasan semau mereka. Serta dilarang menyentuh, sebelum Hasan menyentuh mereka lebih dulu.

"Mi, aku mau menyapa Mbak Liya dulu," ujar Hasan setelah berbagai rayuannya untuk lolos, gagal.

Ny. Husni mengangguk. Dia sudah menahan putranya itu terlalu lama. "Cepat kembali. Acara akan segera dimulai!"

Pemuda itu melambaikan tangan, tidak benar-benar berniat menuruti kemauan Maminya.

Hasan yang melihat kakaknya dari jauh, mengagumi kecantikan Aaliya. Terutama ketika Mbak Liya tersenyum, pada pria dengan kemeja coklat susu yang berdiri di depannya.

Hasan mengedipkan mata. Pemuda itu berharap kalau pria itu bukan calon tunangan kakaknya.

Pria berkemeja coklat itu, sudah pendek, berbadan kecil, punggung sedikit membungkuk. Sama sekali tidak ada martabat dan aura kejantanan sama sekali.

Pria itu menoleh saat Hasan mendekat. Kedua mata lebar di wajah yang kecil, berpadu dengan kemeja coklat susu, mengingatkan Hasan pada sesuatu.

Hamster. Ya, pria itu seperti hamster.

"Hasan!" pekik Aaliya senang. Wanita itu sudah hendak memeluknya ketika Hasan menjulurkan tangan.

"Jangan, nanti riasannya rusak," tolak Hasan. Dia tidak mau wajahnya kena bedak tebal yang menghiasi wajah kakaknya.

Setelan jas dark grey dan dasi merah marun, membuat kedua matanya yang hitam makin tajam dan tegas. Efeknya akan hilang kalau ketempelan bedak.

"Selamat atas pertunangannya. Mbak Liya cantik banget," puji Hasan.

"Terima kasih!" Kebahagiaan Aaliya terpancar pada senyum lebar di wajah ayu. "Oh, iya, Haris. Ini Hasan. Hasan, apa kamu ingat Haris?"

Pria hamster itu mengangguk dengan senyum di wajah yang sayu. "Saya tidak menduga Hasan tumbuh setinggi ini."

Hasan tidak yakin dia mengenal pria hamster ini. Sulit baginya mengingat orang satu-per satu di pesta itu.

Namun sikap Haris membuat Hasan kesal. Harusnya dia tidak tersenyum kalau tidak ingin tersenyum. Sudah begitu, sok akrab seolah dia kenal Hasan sedari dulu.

"Dulu Hasan sangat manis, ya, Haris...entah mulai kapan dia berubah jadi playboy begini," keluh Liya.

Kali ini senyuman Hasan lebih tulus dari sebelumnya, tertuju pada wanita cantik yang sedarah dengannya. "Tampan memang dosa."

"Kalau begitu, saya pamit dulu. Sekali lagi selamat, Bu Liya," ujar Haris pelan.

Kebahagiaan di mata Liya meredup saat dia mengulurkan tangan. "Baik, Haris. Terima kasih banyak sudah datang. Semoga semuanya berjalan lancar."

Pria hamster itu menggenggam erat tangan Aaliya. "Terima kasih," gumamnya pelan sebelum pergi.

"Kenapa tingkah kalian seperti itu?" Hasan kesal dengan sikap orang-orang yang sering mendekati keluarga mereka saat sedang susah. Terutama saat kesulitan ekonomi. "Menjijikkan."

"Hei! Jaga mulutmu!" protes Aaliya sambil mengetok jidat Hasan.

"Apa-apaan sih, Mbak Liya?!" Hasan balik protes sambil mengelus dahinya yang sakit.

Wanita itu hendak membalas ucapan Hasan. "Haris itu-"

"Bu Aaliya, sudah waktunya," ujar petugas EO dengan seragam kemeja batik motif bunga. Aaliya mengangguk dan mengikuti petugas itu ke arah podium kecil.

"Setelah ini ada acara khusus keluarga. Jangan kabur dengan teman kencanmu!" teriak Aaliya sambil berjalan menjauh.

Hasan hanya melambaikan tangan dengan senyum, yang segera dia turunkan begitu kakaknya berada jauh dari pandangan. Dia juga langsung melepas dasi dan tiga kancing teratas kemeja yang dipakainya.

Mana mungkin dia betah tinggal lebih lama lagi. Sudah bagus dia datang. Toh dia masih akan bertemu keluarga iparnya saat pernikahan nanti.

Kalau Aaliya dan tunangannya jadi menikah.

Hasan berjalan memutari hall agar tidak berpapasan dengan para undangan.

Duk!

Bahunya ditabrak oleh seseorang yang berjalan tergesa mendahuluinya. Seorang laki-laki dengan aroma parfum yang menyengat.

Pemuda itu makin kesal karena orang itu berlalu tanpa meminta maaf.

"Uugh, sekarang aku ikutan bau," keluh Hasan setelah mengendus lengannya yang ditabrak tadi.

..

Di parkiran, Hasan sedang berjalan ke arah mobilnya saat dia mendengar pertengkaran. Cahaya remang-remang membuat tidak terlalu jelas siapa yang terlibat. Hanya seorang wanita dan seorang pria.

"Kamu bilang akan liburan dengan keluargamu! Siapa laki-laki itu?!"

"Kamu sendiri, acara perusahaan macam apa yang diadakan di hotel bintang lima?!" balas si wanita tidak kalah emosi.

"Acaranya diadakan di hotel! Pak Bang nggak masuk, jadi aku yang datang!" teriak pria itu.

"Hah?! Siapa yang percaya, malam-malam begini? Acara apa diadakan malam-malam?! Pak Bang lagi, Pak Bang lagi! Memangnya kamu ga bisa bikin alasan lain apa?!?"

"Tapi itu kenyataannya! Kamu lihat sendiri 'kan, aku berjalan keluar! Sedangkan kamu, kamu mau check in kan?! Sama pria itu!!" tuduh si pria itu sengit.

Hasan menghela nafas. Ironi sekali. Di dalam sana Aaliya akan mengikat diri dengan seseorang, sementara di luar sini ada yang akan putus.

Tapi kenapa mereka harus bertengkar di depan mobilku?

Semakin dekat, Hasan mengenali pria hamster tadi. Wajah marahnya cukup menakutkan, sangat berbeda dari hamster yang imut dan tak berdaya.

"Aku juga nggak suka masih mengurusi kantor di luar jam kerja! Tapi mau bagaimana lagi? Kerjaanku memang begitu!!"

"Enak saja kamu bicara! Kamu pikir mudah mengurus anak sendirian?! Aku juga capek, Mas!"

"Terus kenapa kamu bersikeras bisa jaga anak sendiri? Aku kan sudah sering nawarin buat cari perawat buat bantu kamu."

"Kamu pikir berapa biaya buat gaji pengasuh?! Mana cukup!!"

Meski itu bukan urusannya. Hasan membuka kunci mobil, menyebabkan bunyi tertentu. Dia juga naik dan menutup pintu mobil keras-keras, berharap kedua orang itu tahu diri dan menyingkir.

Tapi keduanya masih asik adu mulut, bahkan mulai saling tunjuk dan menarik lengan.

Sudah tidak tahan lagi, Hasan menyalakan mesin kendaraan dan menurunkan jendela. "Permisi, apa kalian bisa bertengkar di tempat lain?"

Keduanya berhenti sesaat dan menoleh ke arah Hasan. Hasan bisa melihat perubahan di mata wanita itu, sesuatu yang memuakkan. Sementara 'hamster' kembali menoleh pada wanita itu seolah keberadaan Hasan tidak penting.

"Dhea," panggil Haris, berusaha kembali meraih tangan Dhea. "Kenapa kamu bersikap begini?"

"Lepaskan! Aku nggak peduli meski kamu mau apa! Aku nggak sudi tinggal bersama kamu lagi." Wanita itu menepis tangan Haris dan berjalan menjauh.

"Dhea! Jangan pergi, Dhea! Gimana dengan Niar?!" Pria itu mengejarnya.

Akhirnya.... 🙄

Hasan menjalankan mobilnya perlahan. Menjauh dari pasangan yang masih bertengkar hebat itu.

..

Saat kembali ke apartemen, Hasan hanya mandi sebentar sebelum kembali keluar untuk bersenang-senang.

Di club tempat Hasan biasa nongkrong dengan temannya.

"Gimana acara keluargamu? Apa masih membosankan?" tanya laki-laki di sebelah kirinya.

"Booo, pengen dateng aja pake menghina segala," sahut yang lain.

"Males banget dengerin kalian, yuk, Hasan, kita pindah ke tempat lain," ajak teman ceweknya.

Hasan yang senang sesaat dengan perhatian temannya, kembali badmood.

"Kalian teruskan saja, aku pulang duluan," jawab Hasan yang menepuk pelan lengan cewek tadi.

"Mau kemana? Baru aja datang," tanya cewek tadi, keberatan.

"Aku bayarin, kalian nggak usah buru-buru," ujar Hasan berusaha menghindar. "Besok pagi masih lanjut acaranya."

Pemuda itu pun pergi di tengah sorakan senang teman-temannya. Siapa yang tidak suka kalau bisa makan dan minum gratisan?

Di perjalanan pulang, Hasan berhenti di dekat minimarket 24 jam. Dia membeli beberapa camilan dan minuman ringan saat matanya melihat sosok yang tidak asing.

"Oh, tidak..." keluh Hasan saat dia melihat kemeja coklat susu itu berdiri di depan kasir. "Sekarang aku berhalusinasi," gumamnya pada diri sendiri.

"..Bagaimana dengan tiket kereta api atau bus? Yang berangkat paling awal. Kalau bisa sebentar lagi," ujar orang itu.

"Maaf, Pak. Disini cuma bisa buat bayar tiket. Untuk pemesanan silahkan di aplikasi terpisah," tolak kasir itu dengan halus.

Dari belakang, Hasan bisa melihat bahu pria itu makin turun dalam kekecewaan. "Aku sudah pesan taksi online, nggak ada yang mau, Mas," gumamnya sambil menunjukkan layar ponselnya.

Karena pria itu tidak juga menyingkir, Hasan meletakkan snacknya di counter. Dia tidak terlalu terkejut saat pria itu orang yang sama dengan di parkiran tadi. Hamster berwajah melas dan sedih.

Kali ini pun, tidak ada tanda kalau pria itu mengenalinya.

Jangankan mengenali Hasan, untuk menoleh ke arahnya saja, hamster itu tidak mau.

Sama seperti saat di acara tadi. Pandangan matanya yang menerawang, seakan dia tidak sabar untuk segera beranjak dari sana. Seakan Hasan dan Aaliya bukan orang yang cukup penting.

Hasan semakin kesal kalau mengingat lagi. Sementara orang-orang lain saling berebut mengaku kenal dengan Hasan dan keluarganya. Hamster ini malah bersikap sebaliknya.

Apa tidak ada cara untuk memberi pelajaran pada hamster ini agar lebih memperhatikan sekelilingnya?

"Totalnya enam puluh sembilan ribu," ujar kasir.

Haris akhirnya bergeser sedikit. Dia mengusap-usap kepalanya karena frustasi sebelum berjalan keluar dengan rambut yang masih berantakan dan ponsel di tangan.

Bagaimana kalau ada begal lewat dan tidak hanya mengambil ponselnya? Dasar ceroboh! 🙄

Selesai membayar, Hasan menghela nafas panjang. Dia bergegas mengejar Haris yang berada dekat minimarket, lalu menarik bajunya.

"Hei! Tunggu! Kamu mau kemana? Aku bisa memberi tumpangan." Hasan menawarkan diri.

Haris yang mendengar kata-kata Hasan, berbalik dan menatap pemuda yang berdiri di depannya dengan wajah tidak suka dan curiga. "Hah? Kamu siapa?"

Hamster itu bahkan menggerak-gerakkan hidungnya sebelum melangkah mundur. "Ugh, kamu bau alkohol.. Dasar pemabuk! Pergi sana!"

Haris bahkan mendorong Hasan menjauh dan berjalan cepat ke arah lain.

.

.

.