webnovel

22. More Workout (2) 20+

"Ugh..." rintih Haris.

Hasan mengamati dengan seksama saat tubuh Haris berkedut. Duda itu sekaligus berusaha menjauh, sehingga Hasan memegangi pinggulnya dengan ekstra kuat.

"Hmm, disini? Bapak mau lagi?" tanya Hasan pura-pura tidak tahu.

Duda itu tidak dapat berbuat banyak dalam posisinya sekarang. Pijatan jari Hasan pada prostatnya menyebabkan tubuhnya kaku dan lemas bersamaan. Rasa malunya bertambah akibat tidak bisa mengontrol diri. Tidak bisa mengontrol keinginan untuk mencapai kenikmatan.

Haris menjulurkan tangan ke arah benda miliknya yang bergantung bebas. Dia tahu, hanya dengan mengocok beberapa kali dan dia akan keluar.

Tangan Hasan menepis dan mencengkram lengannya kuat-kuat. Duda itu dibuat tidak berkutik.

"Hasan... Hasan.." panggil Haris setengah memohon. Bahunya tidak nyaman karena posisi yang canggung.

Mendengar namanya diucapkan, Hasan langsung mengeluarkan ketiga jarinya. Sebagai gantinya, dia bergeser hingga alat vitalnya berada pas di antara celah pantat Haris.

Rasanya sangat enak saat Hasan menggosok miliknya. Entah karena bokong yang empuk, atau karena posisi yang pas. Bisa juga karena pantat itu milik atasannya. Pak Haris yang hampir tanpa cela di kantor, mendesah dan merintih sambil menungging dengan kaki terbuka di depannya.

Puas meratakan pelincir di permukaan tongkatnya, Hasan lalu memposisikan hingga ujungnya berada persis di mulut lubang. Lubang yang berkedut seolah tidak sabar menerima Hasan seutuhnya.

"Pelan-pelan," perintah Haris. Dia tahu seberapa besar ukuran Hasan dan tenaga pemuda itu.

"Iya, Pak," jawab Hasan sambil memasukkan penisnya dalam sekali tusukan pelan namun tajam.

Memakai lube membuat Hasan bisa masuk dengan mudah. Hanya sekali coba dan kini dia sudah berada jauh di dalam kehangatan dan kelembutan yang ketat, yang memabukkan.

"Hmm, Pak Haris..." bisik Hasan di dekat telinganya.

Sementara tubuh Haris yang terkejut dengan adanya invasi besar benda asing, langsung mengejan. Dia bahkan harus membuka mulut agar bisa tetap bernafas. Hanya suara Hasan yang membantunya bisa fokus antara rasa tidak nyaman dan kenikmatan ini.

"Di dalam Pak Haris sangat amazing.." puji pemuda itu sambil mengecup leher, pipi, dan kening Haris.

Ketika benda berat yang seolah tertanam dalam perutnya kembali bergerak, Haris menggenggam tangan Hasan.

"Tunggu," perintahnya. "Jangan bergerak dulu."

"Hmm," gumam Hasan. Dia tetap menggerakkan pinggulnya meski sedikit dan perlahan. Memberi jeda waktu bagi Haris, hingga terbiasa dengan ukuran Hasan.

Sambil menunggu, tangan Hasan meraba bagian tubuh yang lain. Dia masih berusaha mencari erotic zone atasannya itu. Dari hubungan mereka sebelumnya, Hasan menemukan kalau titik Haris berbeda dari kebanyakan orang.

"Ack..!" pekik Haris.

Ketika jari Hasan menyentuh samar-samar di sekitar perut duda itu, tubuh Haris bereaksi kuat. Seakan ingin loncat dari jangkauan Hasan.

"Ugh... Rileks, Pak..." pinta Hasan saat merasa tubuh Haris mencengkram dirinya dengan kuat.

Ketika Haris sedikit melemaskan otot tubuhnya yang terkejut, Hasan langsung mengambil kesempatan dengan menarik dan menghujam dengan lebih kuat.

"Ha... Hah..." Haris mencoba mengatur nafas diantara serangan Hasan yang bertubi-tubi.

Diantara tusukan Hasan, beberapa kali mengenai prostatnya. Menyebarkan gelombang kenikmatan ke seluruh tubuh. Hingga ke ujung kaki dan ubun-ubun.

Haris membenamkan kepalanya di bantal. Dia malu suara desahan dan rintihannya terdengar keras di ruangan yang dipenuhi aroma sex.

Bahkan saat genjotan Hasan yang tanpa henti menyebabkan tubuh duda itu menegang. Semuanya terlihat putih di balik kelopak matanya yang tertutup. Sama putihnya seperti cairan yang muncrat dari alat vital dan mengenai dada dan perutnya. Sebelum cairan itu menetes di atas kasur dan bercampur dengan tetes peluh.

Haris kira Hasan akan menurunkan frekuensi serta intensitas hujamannya, setelah Haris keluar. Namun, pemuda itu menarik kedua tangan Haris ke belakang dan meneruskan tusukannya dengan lebih hebat lagi. Saraf penerima Haris yang masih sensitif setelah mencapai puncak, jadi hipersensitif.

"Uh.. Hasan.. aku.." bisik Hatis di antara nafas yang putus-putus.

"Hmm?" tanya Hasan yang memposisikan diri hingga kena P-spot. Menikmati saat tubuh wakil direktur itu mengejang dalam dekapannya. Hasan harus menurunkan kecepatan sundulannya, agar tidak keluar bersamaan dengan pria itu.

Tapi dia juga ingin keluar di dalam lubang duda itu. Memenuhi setiap permukaannya dengan semennya. Hingga tubuh pria itu tidak sanggup menampung lagi dan meluber keluar. Hasan yakin, pada keadaan begitu, Haris tampak paling menggiurkan.

"Has..an.. aku baru keluar.. lepaskan.." Haris mendorong Hasan menjauh.

Tapi tubuh Hasan yang jauh lebih besar dan kuat, tidak bergeming. Pemuda itu malah menarik tubuh Haris agar tegak lurus, dan memeluknya erat-erat supaya tidak jatuh tertelungkup. Perlahan, Hasan miringkan kepala atasannya, menangkap bibir duda itu dalam ciuman yang tidak kalah panas.

Haris yang lemas setelah keluar sekali, tidak dapat melawan waktu Hasan menghujami tubuhnya berkali-kali. Pria itu menggenggam erat tangan kokoh Hasan saat dia keluar kedua kalinya malam itu. Tubuhnya bergetar kencang, menguras sisa tenaga yang masih tersisa.

Mungkin kalau tadi sore tidak renang bareng Niar... 😩

Tidak, Bukan aku yang bermasalah. 😑

Hasan saja yang kelebihan energi. Apa dia tidak capek setelah lari pagi atau berenang seperti profesional?! 😞

Ketika kaki Haris lemas dan tidak lagi dapat menopang berat tubuhnya, dia tertelungkup di atas kasur. Hasan dengan cekatan, membalik tubuh Haris agar terlentang, lalu mengangkat kedua kaki duda itu ke atas. Sekali lagi, dia membenamkan alat vitalnya ke dalam tubuh Haris.

"Kamu tidak capek?" tanya Haris, tangannya mengusap dahi Hasan yang penuh dengan titik-titik keringat.

Pemuda itu menyeringai lebar. "Hmm, tidak juga."

Haris tidak lagi mampu melawan saat tubuhnya kembali mengalami sensasi overload. Cairan semen yang memancar dari kemaluannya bahkan sudah sangat encer. Hanya saja, Haris merasakan hal lain di bawah sana.

Organ vital Hasan membesar dan mengencang sebelum berkedut keras dan menyemburkan cairan kental yang panas ke dalam tubuhnya. Hasan mendesah panjang seiring dia memompa tetes terakhir ke dalam saluran Haris. Dekapan kedua tangannya yang kuat dan kokoh, membuat duda itu merasa terlindungi.

Duda beranak satu itu memperhatikan garis wajah Hasan dari dekat. Beberapa orang yang dia kenal terlihat berbeda jika dipandang dari jarak jauh atau dekat. Ada sedikit rasa dongkol dalam hati Haris karena pemuda tengil itu tetap tampan.

Terutama titik hitam kecil yang terselip di alisnya. Haris bertanya dalam hati, berapa banyak orang yang tahu akan keberadaan tahi lalat yang bersembunyi itu.

"Silahkan lihat sepuasnya, Pak," bisik Hasan dengan suaranya yang berat dan dalam.

"Awas, minggir. Kakiku capek!" protes Haris dengan ketus, menutupi rasa malunya telah ketahuan menatap Hasan lekat-lekat.

Pemuda itu menghujani leher Haris dengan kecupan kecil sambil menggeser pinggulnya menjauh. Membantu Haris menurunkan kaki, dan memutus kontak fisik antara mereka.

Haris tidak melewatkan ke arah mana, mata Hasan tertuju. Dia pun menjulurkan tangan, sebisa mungkin menutupi lubang yang telah terpakai seenak hati Hasan.

"Jangan ditutupi, Pak," rayu Hasan sambil menarik tangan Haris menjauh. "Warnanya merah gelap, sedikit bengkak dan masih berkedut. Sangat imut sebenarnya."

"Asu!" umpat Haris menahan malu.

Hasan tertawa kecil, suaranya bergemuruh di dalam dada pemuda itu. Dia bahkan memasukkan jarinya ke dalam lubang milik Haris lagi. "Sini, saya bantu keluarkan spermanya. Biar perut Pak Haris tidak sakit, besok."

"Nggak usah, aku bisa sendiri," tampik Haris. Dia juga berusaha menepis tangan Hasan yang selalu menghindar dan malah ganti memegangi tangan Haris.

"Hmm, nanti kurang bersih. Biar saya bantu," paksa Hasan. Jarinya masuk hingga ke dalam dan dalam usahanya mengeluarkan cairan putih itu, dia kembali menotol, mengelus dan menekan prostat Haris.

Kemaluan milik Haris yang sudah lemas, kembali mengeras akibat tindakan Hasan. Dia yakin kalau pemuda itu sengaja. Buktinya, pandangan pemuda itu berkilat mesum terarah pada pantatnya. Selain itu, kejantanan Hasan juga sudah tegak lurus, siap melancarkan aksi kapan saja.

"Kamu tidak akan lanjut 'kan?" tanya Haris dengan harap-harap cemas.

"Apanya?" Hasan balik bertanya. Bibirnya menggigit pelan tulang bahu lalu turun ke arah dada Haris.

"Berhenti pura-pura tidak tahu," tegur Haris. Dipegangnya kepala pemuda itu dengan kedua tangan agar Haris dapat membaca hati Hasan lewat mata.

Pemuda itu hanya menjawab dengan senyuman sebelum mulutnya menangkap bibir Haris. Dan saat perhatian duda itu teralihkan, Hasan kembali memasuki lubang yang sedari tadi menganga. Seolah memanggilnya untuk masuk.

.

.