webnovel

"PDKT - Confession"

🍁 Dean Pov

Semenjak bertemu dengan Hana, hatiku sepertinya mulai bergetar tak karuan sehingga hanya rindu yang bisa aku rasakan yang lambat laun menyiksa. Aku jatuh cinta dalam hitungan detik, mungkin inilah mengapa orang menyebutnya dengan 'cinta pada pandangan pertama'.

Beruntungnya pertemuan terakhir kemarin di sebuah kafe, aku mendapatkan kartu namanya jadi tidak perlu bingung harus menghubunginya ke mana. Untuk mengobati rasa rindu inilah aku hendak mengirimkan pesan padanya melalui aplikasi chating whatsapp. Sayangnya aku bingung memulai dari mana. 'Assalamualaikum?', 'Hai??', atau 'Selamat malam' aku tidak tahu harus mengirimkan yang mana. Ucapan ini itu yang sudah dipikirkan, semuanya hangus karena alam bawah sadarku yang merasakan kerinduan padanya, akhirnya yang kungetik adalah 'aku rindu kamu' dan sudah terkirim. Sadar akan hal ini, tentunya aku bergegas menghapus notifikasi 'untuk semua orang' agar terbatalkan. Nahasnya, pesan itu sudah terbaca bahkan tertera 'sedang mengetik' yang artinya hendak membalas pesanku. "Aku harus gimana ini??" gumamku.

Pesan balasan masuk, isinya tak terduga yang sontak saja membuatku kaget. Pesan itu berisi 'aku juga'. Bagaimana tidak kaget, dia bahkan tidak tahu nomor ponsel aku, namun ia berani membalas demikian. Balasan pesan itu tidak aku diamkan, aku membalas kembali 'ini gak lagi dibajak' kan??', ia membalas 'enggak', ia melanjutkan dengan mengirim 'kamu Dean kan??'. Dan tentu saja aku balas 'iya' lalu disambung 'kok kamu tau??'. Ia tahu karena dari foto profilku dan dia juga tidak sembarang memberikan nomor ponselnya kepada orang lain maka dari itu ia memprediksi bahwa ini adalah nomor ku. Kami masih saling membalas chat sampai ujungnya aku meminta untuk bertemu.

Rasa antusiasme untuk bertemu dengan Hana begitu melekat ditubuhku, bahkan waktu masih tersisa sekitar satu jam lebih lagi menunjuk jam makan siang, namun aku sudah dalam balutan busana rapi. Menuju pintu keluar, tentunya harus melewati ruang keluarga dulu. Ibu yang sedang asyik menonton televisi, langsung memalingkan wajahnya ke arahku.

"Mau ke mana??" tanya ibu sambil ngemil makanan ringan

"Mau ketemu temen"

"Tumben rapi, biasanya juga pake baju olah raga"

"Biarin dong Bu. Aku pergi dulu ya! Assalamualaikum"

pamitku lalu berjalan ke arah luar.

Aku menunggu Hana di kafe yang sama dengan waktu bertemu pertama kalinya. Belum datang saja, hati ini berdetak tak karuan sampai-sampai rasanya seperti malaikat maut sudah berada di dekatku. Bagaimana jika ia sudah berhadapan denganku, mungkin hati ini sudah meledak. Masih tersisa 10 menit lagi, aku kembali merapikan penampilan termasuk rambut agar terlihat perfect di matanya. Ia datang ke arahku dengan memasang senyum manis di wajahnya.

"Kamu udah nunggu lama ya??" tanya manis Hana

"Enggak kok. Aku juga baru dateng" bohongku agar membuatnya tetap nyaman.

"Duduk! Duduk!" pintaku

Hana pun duduk. Karena hari Sabtu, tentunya aku mengira Hana libur kerja, namun rupanya Hana menggunakan waktu istirahat kerjanya untuk bertemu denganku, aku tahu dari pakaian yang ia kenakan begitu formal.

"Aku belum pesan apa-apa, takutnya nanti kamu gak suka"

"Enggak apa-apa. lagian aku bukan tipe orang pemilih makanan kok, lain kali kamu bisa pesan apa aja" sahut Hana

"Ohh, jadi lain kali kita bisa ketemu lagi" seriusku yang ditanggapi sebuah candaan olehnya karena hanya dibalas dengan senyuman malu.

Aku memanggil pelayan kafe, ia pun datang dengan membawa buku menu. Kami memilih jenis minuman coffe sesuai selera masing-masing. Ternyata awal pertemuan langsung yang kita rencanakan ini benar-benar kaku seperti mirip tiang listrik, tidak seperti saat mengobrol via chat yang di gombalin ikut gombal, dirayu balik merayu, bahkan udah kangen-kangenan. Baik aku maupun Hana, tidak ada yang berani memulai. "Aku harus mulai dari mana??" ucapku yang hanya terlontar dalam benak, lalu disambung "kok malah canggung gini! Ahhh... bodo amat, bilang apa aja deh".

"Euhhh" ucapku yang bersamaan dengan Hana

Mungkin ia juga merasakan hal yang sama, sama-sama ingin menghilangkan situasi canggung ini.

"Kamu duluan aja!" pinta Hana

"Enggak, kamu aja yang duluan!!"

"Kamu kerja dimana??"

"Aku sekarang pengangguran" balasku

"beneran??" tanya kembali Hana yang seolah tak percaya

Minuman yang kami pesan sudah datang dibawa sang pelayan kafe. Saat hendak menjawab, sayangnya terpotong dengan kalimat "Makasih ya!" yang diucapkan Hana dengan sopan kepada pelayan. Alhasil setelah pelayan itu pergi, Hana menanyakan hal lain.

"Pas kita ketemu pertama kali di sini, aku liat kamu ditungguin sama perempuan. Siapa dia??"

Dengan menatap matanya aku menjawab "ahh, temen"

"Ohh" singkatnya

"Kenapa gitu??"

"enggak apa-apa" balasnya, lalu ia melihat jam di tangannya "waktu istirahatku udah hampir habis, kayaknya aku harus pergi duluan" intonasi perasaan gak enak

"Iya enggak apa-apa kok" ucapku

"Biar aku yang bayar minumnya" imbuh Hana

"Enggak usah, biar aku aja"

"enggak apa-apa. Kamu kan sekarang lagi gak kerja, lain kali aja kalau kamu udah kerja baru teraktir aku" lalu pergi ke tempat kasir.

Kami berpisah di depan kafe. Dia terlihat begitu memesona di mataku, baik itu dari parasnya maupun sikapnya semuanya membuatku jatuh hati. Waktu bergulir begitu cepat, dari hari ke hari kami menjadi lebih dekat walaupun hanya dari via chating, aku harus selangkah lebih maju agar status ini bisa berubah. Aku ingin mengungkapkan perasaanku ini padanya, maka aku akan mengaku padanya.

Sudah saatnya aku menunjukkan sisi romantisku ini kepada Hana, namun masih belum tahu bagaimana caranya. Saran dari perempuan itu diperlukan, karena biasanya perempuan suka saling memahami. Untuk itu malam minggu ini, aku akan menemui perempuan jomlo di rumahnya. Aku pergi menemui perempuan itu menggunakan kendaraan mobil, karena harus fokus menyetir, aku menelepon kontak Yuna dengan suara di loudspeak.

"Halo?" suara perempuan yang aku telepon.

"Kamu lagi dimana??" tanyaku sambil fokus menyetir

"Di rumah. Ada apa??"

"Sudah aku duga"

"Ada apa??" tanyanya kembali

"Ada yang mau aku tanyain. Sekarang aku lagi di jalan menuju rumah kamu"

"Bentar! Aku butuh bantuan kamu. Beliin aku makanan ya? Aku laper, beliin ya??" nada so imut

"Iya iya" tutupku yang menutup panggilan.

Sebelum ke rumah Yuna, tentunya aku mampir ke sebuah toko makanan terlebih dahulu sesuai apa yang ia minta. Begitu sampai di rumahnya, aku mengetuk pintu dan diapun segera membuka pintu. Terlihat kalau perempuan jomlo di malam minggu, pasti memakai baju pun seadanya beda sekali dengan aku yang jomlo namun tetap berkualitas.

"Kok lama ya??" tanya Yuna posisi menyilangkan tangan dibawah ketiak dengan wajah songong

"Jalanan macet. Ya orang pada malam mingguan semua, emangnya kamu!" sindirku kemudian menyambung "ini makanannya!" memberikan pesanannya yang di bungkus kantung plastik.

"Pokoknya makasih!" menerima pemberianku, "mau nanya apa??"

"Udah dibeliin makanan, bukannya suruh duduk dulu kek, ambilin minum kek, ini malah langsung to the point. Tega kamu ya!!" balasku dengan wajah judes.

Dengan nada manis Yuna balas "Oh iya, kalau gitu silakan duduk!!" yang kemudian membersihkan tempat duduk menggunakan tangan kosong.

"Nah gitu dong!!" sembari duduk

"Mau minum apa??" tanya Yuna dilengkapi intonasi yang cukup manis

"Nggak usah!!" tolakku

Dia duduk di kursi satu lagi yang bersebalah dengan aku, kantung plastik yang kubawakan tadi ditaruh di meja kemudian dia menatapku dan bertanya "mau nanya apa??"

Aku menatapnya dan tanya "Biasanya, cewek suka dikasih hadiah apa sama cowok??"

"Apaan sih!. Ngapain tanya ke aku??" jawaban sinis Yuna.

"Kamu kan cewek, masa iya aku nanya kayak gini ke si Heru?"

"Ya enggak gitu juga" sahutnya, "apa ya??" ungkapannya yang sedang berpikir.

"Ahhh,,, sepatu" ucapnya

"Sepatu??"

"Iya sepatu. Biasanya cewek itu suka kalau cowok ngasih sepatu, sepatu cantik layaknya sepatu Cynderella"

"Maksud kamu sepatu kaca??"

"Ya enggak usah sepatu kaca juga De!" nada geram

"Oh gitu??"

Saran yang didapat dari Yuna, setidaknya berguna buat aku. Setelah sang surya melihatkan dirinya, aku pergi ke toko sepatu. Mungkin secara spesifiknya aku kurang paham, tapi tentunya aku bertanya dan meminta rekomendasi ke pegawai toko untuk memilihkan sepatu itu. Teringat ulang tahun Yuna yang sebentar lagi, aku ingin menghadiahkan sepatu juga buat dia. Aku memilih sepatu sneakers yang cocok buat dia. Aku memilih sepatu sneakers ini bukan tanpa alasan, semua itu karena dia sangat menyukainya, sedangkan sepatu cantik dipilih oleh pegawai karena aku tidak tahu menahu mengenai sepatu itu dan semoga saja cocok buat Hana.

Akan aneh jikalau aku mengungkapkan perasaan sekarang, sedangkan bertemu saja masih bisa dihitung pakai jari. Saling mengenal satu sama lain lebih dahulu mungkin yang terbaik dibanding langsung mengaku begitu saja apalagi saat ini aku hanya sebatas pengangguran, kemungkinan besar itu akan menjadi alasan kuat untuk menolak aku karena dari segi visual itu sudah menjadi nilai plus. Pertemuan berikutnya, masih aku agendakan di tempat yang sama, namun kali ini minuman sudah aku pesankan sebelum Hana datang. Tiba waktunya jam istirahat, dia datang ke kafe dan langsung menghampiriku.

"Kamu nunggu lama ya??" tanya manisnya, lalu duduk dengan menatapku

"Sedikit"

"Maaf!" imbuhnya yang dibarengi muka melas tapi tetap imut di mataku.

"Nggak masalah kok!! Aku udah pesankan americano, nggak apa-apa kan???"

"Iya nggak apa-apa. Makasih ya!" meminum americano

Aku melihat seragam perusahaan besar yang ia pakai, jadi aku penasaran "kamu udah lama kerja di Griya Grup?"

"Udah hampir 2 tahun. Kalau kamu??"

"Apanya??" tanyaku

"udah berapa lama kamu jadi pengangguran??" tanya Hana sambil tersenyum becanda

"Udah hampir satu tahun kayaknya"

"Emang enggak bosen??"

"Ya bosen, tapi harus sabar soalnya bentar lagi pendaftarannya dibuka"

"Pendaftaran apa??"

"Pengacara publik"

"Wahh" kagum dia lalu menyambung "kamu lulusan hukum??"

"Iya"

"Kan jadi pengacara biasa juga bisa, kenapa harus jadi pengacara publik?"

"Entah.. aku hanya suka itu, tapi sayangnya tahun lalu dia nolak aku"

"Dia?? Nolak kamu??" rasa penasaran terpasang di wajah Hana

"Euh" balasku sambil mengangguk "ditahap kedua aku gagal" sambungku

"sayang banget"

"Iya, aku juga sayang, kamu" candaku yang disambut hangat oleh Hana.

Setidaknya pertemuan kami selanjutnya tidak sekaku pas pertama. Sekarang dia lebih penasaran dengan cerita aku, jadi aku bersyukur pertemuan ini ada kemajuan.

Hari ini bertepatan dengan kelahiran Yuna, namun sampai sekarang aku masih belum mengucapkan apapun padanya. Aku pikir menjadi yang terakhir itu lebih penting jika harus dibandingkan dengan yang pertama. Sayangnya ketika aku telepon dia, nomornya tidak aktif. Maka dari itu, aku pergi ke rumahnya. Begitu sampai terlihat rumahnya begitu gelap, lampu luar yang masih belum menyala menandakan ia belum pulang. Aku menunggu di depan rumahnya. setelah waktu menunjuk pukul 23:55, dari kejauhan ia berjalan kemari. Begitu melihatku, ia melebarkan bibir dan bergegas menghampiri.

"Ngapain kamu disini??

Aku menyembunyikan tas yang ku bawa di belakang badan "aku telepon kok gak aktif terus??"

"Iya gitu??" tanya Yuna yang membuka tas untuk mengambil ponsel "ahh, baterainya habis"

"Gimana sidangnya??" dalihku dalam posisi sama

"Aku memenangkannya"

"Oh ya?? Selamat ya!!"

"Euh" singkatnya dengan mengangguk.

Masih dalam posisi sama, terjadi insiden hening yang kira-kira sekitar satu menitan.

"Enggak ada yang mau kamu ucapin gitu??" tanya Yuna yang ingin aku mengucapkan sesuatu, namun aku sama sekali tidak mengeluarkan satu patah kata apapun sehingga keheningan masih terus berlangsung.

"Kalau gitu aku masuk dulu!!"

Aku melihat jam di tangan kiriku "sudah pukul 23:59"

"Terus?"

"Itu artinya hari ini akan berlalu" jawabku, lalu melanjutkan "selamat ulang tahun!"

Dia tersenyum "makasih! Aku kira kamu bakal lupa"

"Aku mau jadi yang terakhir buat kamu. Ini!!" memberikan hadiah yang dimasukkan ke dalam tas yang dari tadi aku sembunyikan.

Menerima tas "apa ini??" tanya Yuna

"Hadiah ulang tahun"

"Ya ampun, makasih loh. Aku boleh buka sekarang??" senyum-senyum

"Buka aja!!"

Dia membukanya dengan wajah sumringah, namun begitu ia buka, ekspresi itu hilang dalam sekejap.

"Gimana?? Kamu suka??"

"Iya, suka. Makasih" kembali memasang bibir lebar.

Untungnya dia suka dengan apa yang sudah aku pilih. Memang sudah dari awal aku yakin kalau dia akan suka jika aku belikan hadiah itu.

Selama kenal dengan Hana, aku sama sekali belum pernah mengantar ia pulang ataupun melakukan perjalanan lainnya. Kami hanya sebatas mengobrol yang bahkan di tempat itu-itu saja, akan lebih menarik kalau aku menjemputnya sepulang kerja. Matahari sudah hampir terbenam, jadi aku menungggu di depan kantornya. Yang aku lakukan sambil menunggu adalah berdiri membelakangi gedung.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang secara halus, aku menoleh

"ngapain berdiri disini??" tanya orang itu yang tidak lain adalah Hana

"nunggu kamu!" jawabku

"kenapa gak bilang dulu? Kalau gitu kan aku keluar lebih awal!"

"he..he.. enggak apa-apa!" sahutku "ayo!!" lanjutku mengajak Hana

"kemana??"

"kamu belum makan kan??"

Aku membawa Hana ke sebuah restoran sederhana, kami memesan makanan sesuai dengan selera masing-masing. Selesai makan, aku mengantarnya pulang menggunakan mobilku. Ini kali pertama aku mengantarnya pulang.

Perasaan senang dan gugup mulai bercampur, soalnya takut nanti ketemu calon mertua hehe. Menuju perjalanan rumah Hana, kamipun mengobrol untuk menghilangkan kejenuhan dan keheningan.

"gimana rasanya kerja di perusahaan besar??" tanyaku yang terfokus menyetir

"menurut kamu gimana??"

"kok malah tanya baik!" ujarku yang kemudian di jawab "Ya aku sih pasti bangga!!"

"kenapa??"

"karena bisa dipamerin ke temen-temen, haha" jawabku sambi bercanda

"kerja disana tuh capek!!" sahut Hana

"emang ada kerja yang enggak capek??"

"iya juga ya! namanya juga kerja. Kalau gak mau capek ya nikah" balasnya yang bikin aku gagal fokus

"kok nikah sih??"

"kan kalau udah nikah ada yang memperjuangkan! Hehe"

Balasannya benar-benar bikin aku tak bisa berkata-kata lagi

Tiba-tiba Hana bicara serius "maaf, aku mau tanya!!"

"iya aku maafin!!"

Hana justru tersenyum "kenapa mau jadi pengangguran??"

"emang siapa yang mau jadi pengangguran??"

"kamu!" jawab polos Hana

Akupun menembal dengan posisi masih fokus menyetir "kamu itu lucu ya, tapi bukan bikin aku ketawa"

"terus bikin apa dong??" tanya Hana yang mengarah padaku

Aku menatapnya sebentar "bikin sayang"

Hana tertawa terus bilang "kamu lucu ya!!"

Sayangnya percakapan ini berakhir begitu sampai di depan rumah Hana. Aku keluar dari mobil lalu membukakan pintu mobil untuknya. Sebelum berpisah tentunya aku mengucapkan sepatah dua patah kata terlebih dahulu. Kami berdiri di dekat pintu gerbang rumah Hana.

"masuk!!" suruhku pada Hana

"enggak!! Aku masuk setelah kamu pulang" tembalnya

"kamu ngusir aku??" kembali candaanku

"bukan gitu"

"ya terus??"

"iya deh, aku masuk dulu!!' imbuh Hana lalu berjalan masuk dengan melambaikan tangan

Aku membalas lambaian tangan itu dengan kissbye "sampai ketemu lagi" demgan suara kencang.

Jika abjad dimulai dengan A,B, C. jika nada dimulai dari do, re, mi maka cinta dimulai dengan aku dan kamu. Terima kasih untuk kamu yang sudah datang dengan membuatku bahagia, tolong jangan ajarkan aku dengan apa yang namanya sakit hati.

Aku hendak menonton televisi yang berada di ruang keluarga, tetapi Diana sudah lebih dulu duduk di sofa dengan asyik menonton di laptop miliknya sambil ketawa-ketiwi macam orang gila. Aku duduk di sebelah dia, kemudian menyalakan televisi. Program yang sedang tayang di televisi itu adalah tontonan kesukaanku yang tak lain dan tak bukan yaitu anime, dikarenakan volume televisi kecil jadi tentu saja aku naikkan. Begitu volume televisinya tinggi, Diana tak mau kalah, ia juga menaikkan volume suara laptopnya. Jelas sekali yang terdengar olehku itu bahasa korea jadi aku yakin kalau dia sedang menonton drama korea, aku masih tak mau kalah darinya, jadi aku kembali menaikkan volume suara televisi.

Apa yang aku lakukan mengundang reaksi Diana, "berisik!! Kecilin volumenya gak??" ancam dia dengan mata melotot

"gak mau!!" balasku, "pindah sana!!" lanjut suruhku kepada Diana

"siapa yang duduk duluan di sini?" tanya Diana

"siapa yang duluan lahir ke dunia ini??" balasku

"lah apa urusannya sama lahir duluan??" ucap Diana dengan wajah nyolot

"loh kok nyolot sih!!"

"ya biarin, suka-suka dong! Mulut-mulut siapa?"

"wahhhh" bentuk kagumku dalam arti negatif

"apa?" dengan wajah nantang

"nonton drama, kayak yang ngerti aja mereka ngomong apa?" ucapku yang tak mau kalah

"terus, apa kabar kakak yang nonton anime jepang tanpa dubbing??"

"kan ada subtitlenya" balasku, "pokoknya, yang penting gak nonton drama, takutnya idupku tuh kebanyakan drama kayak kamu"

"udah, udah ngomongnya?" tanya dia dengan menyilangkan tangan

"udah"

"denger ya! setidaknya adek mu tidak terkontaminasi dari segala macam pergaulan bebas"

"caelah, bahasanya" sembari tertawa

"kenapa?? Gak suka??" ucap Diana yang sudah mulai naik pitam

"please deh, kamu berani durhaka sama kakak sendiri Cuma gara-gara artis korea? dia aja gak tau kamu ini idup atau enggak de!!" lanjutku dengan mengusap seluruh wajah Diana, yang membuatnya lebih marah dan memukulku dengan bantal sofa.

Selagi Diana memukulku dengan bantal yang ada di sofa, Ibu mendengar perseteruan tanpa manfaat ini, dan segera datang sambil membawa vakum cleaner, dengan niat ingin memisahkan kami namun nyatanya pasti akan memperkeruh kondisi yang ada.

"Ini anak!! Kakaknya suka Jepang, adeknya suka Korea. Terus yang suka India siapa??"

Kami berdua sama-sama menjawab secara bersamaan "ibu!"

Sadar menyebut secara bersamaan, kami langsung memalingkan wajah satu sama lain.

"Jadi yang suka Indonesia siapa??" lanjut tanya Ibu

"Aku!!" jawab kami berdua secara bersama

"kalian boleh suka negara mana pun tapi Indonesia tetap harus jadi prioritas" ujar ibu menceramahi. Lalu melanjutkan "kamu dek, jangan kayak gitu sama kakak kamu!!" menasihati Diana. "Dan kamu juga yang jadi kakak. Udah tua juga, masih aja nonton kartun!!" ucap ibu padaku yang membuat Diana menahan tawa.

Nasib jadi seorang kakak itu ya begini, apa-apa dilemparkan ke aku. Mana disangkut pautkan dengan umur segala. Masa iya harus balik jadi anak kecil lagi, yang kalau dimarahi pasti tidak akan tersinggung, yang ada pasti diberi uang untuk jajan permen.

Daripada ada di rumah dimarahi ibu, lebih baik pergi menjemput Hana pulang kerja. Untuk kali ini, aku memberikan kabar terlebih dahulu sesuai permintaannya kemarin agar nantinya aku tak perlu menunggu lama.

Aku menunggu Hana di tempat yang sama seperti kemarin. 15 menit menuju berakhirnya jam kerja, ponselku berdering. Panggilan masuk datang dari Yuna, dan aku pun menerima panggilan itu.

"Ada apa??" tanyaku

"Formulirnya udah ada!"

"Ohh iya, nanti aku ambil!!"

"Kamu gak bisa ngambil sekarang??"

"Nanti aja!" sahutku

Yuna menutup panggilan begitu saja, sehingga membuatku bingung apa yang terjadi dengannya.

"Dean!!" seseorang memanggilku yang terdengar di dalam kantor, aku mencari asal suara. Dan aku melihat Hana yang tersenyum dengan melambaikan tangan berjalan ke luar. Aku membalas lambaian dan senyumannya.

Begitu Hana berdiri tepat di depanku, aku membuat pilihan "maaf!!"

"Kenapa??" tanya Hana yang tidak mengerti ucapanku.

"Kayaknya aku harus pergi!" lanjutku menjelaskan "tiba-tiba ada urusan mendesak!"

Hana tidak merespons apa pun, dia hanya menampilkan wajah datar yang tak bisa aku cerna dengan baik.

"Maaf!!" ungkap rasa bersalahku kepada Hana

Awalnya Hana hanya berdiam diri saja tanpa bersuara apa pun, namun ketika aku terus meminta maaf padanya iya pun menjawab "iya, enggak apa-apa! Pergi aja!!" karena merasa iba melihatku yang memohon dengan wajah bersalah.

"Aku janji besok antar kamu pulang!!" imbuhku karena merasa bersalah

"Iya!" balasan melebarkan bibir

Walaupun ia tersenyum, bisa saja itu hanyalah sebuah senyuman palsu padahal di hatinya terselip rasa kecewa. Tapi apa daya, aku juga merasa tidak enak kepada Yuna, yang bahkan bela-belain meminta formulir hanya untukku. Oleh karena itu, aku datang untuk menghargai usahanya.

Lihat sana-lihat sini, tidak ada satu orang pun yang aku kenal ketika di lobi kantor Yuna. Aku sama sekali tidak menemukan Yuna maupun rekan kerjanya disini. Aku menelepon Yuna, namun tidak ada jawaban. Padahal dia sendiri yang memintaku datang tapi nyatanya ia yang tidak ada. Bahkan aku rela meninggalkan Hana begitu saja karena Yuna. Daripada hanya sekedar menunggu yang jawabannya tidak pasti, lebih baik aku pergi ke ruangannya, siapa tau dia berada di sana.

'Tok tok tok' suara pintu yang aku ketuk

Aku membuka pintu dan masuk ke ruang kerja Yuna. Begitu masuk,

"Ehh Dean!! Aku tungguin dari tadi!!" ungkap Tiara

Aku berdiri dan melihat ruangan yang hanya ada Tiara saja.

"Duduk dulu!!" suruh Tiara

Aku pun duduk lalu kemudian bertanya "Yuna nya ke mana??"

Tiara yang saat itu sibuk merapikan mejanya dari tumpukan berkas-berkas perkara, berucap "emangnya dia gak bilang??"

"Enggak!!"

"Tumben!" ucap Tiara, kemudian menyambung "lagi marahan ya??" diiringi candaan

"Emang Yunanya ke mana??" tanyaku mengalihkan pembicaraan

"Dia lagi di pengadilan, tapi dia nitip sesuatu sama aku!"

"Nitip apa??"

"Bentar!!" ujarnya yang masih mencari sesuatu di mejanya "ini dia!!", kemudian ia datang mendekat dengan membawa selembar kertas.

Begitu mendekat "ini formulirnya!!" memberikan kertas itu.

Aku menerima kertasnya dan tak lupa mengungkapkan rasa terima kasihku.

"Berhubung sekarang pendaftarannya dibatasi, jadi usahain kamu ngumpulin secepatnya!!" ucap Tiara yang kembali ke mejanya.

"tumben dibatasi??" tanyaku sembari melihat formulir.

"tahun ini peminatnya membludak, jadi pihak pengadilan membatasinya. Kalau sewaktu-waktu orang yang melakukan registrasi sudah memenuhi batas yang udah ditentukan, bisa saja langsung ditutup saat itu juga" jelas Tiara yang sedang memasukkan berkas ke dalam tasnya.

Masih penasaran, kemudian aku lanjut bertanya "Terus yang daftar via online itu gimana??"

"kalau misalnya terlalu banyak yang mengakses dalam waktu bersamaan bisa saja situsnya crash. Makanya Yuna cepat-cepat minta formulirnya buat kamu"

"ohh gitu?"

"pokoknya lengkapi persyaratannya, terus kalau bisa kumpulin sesegera mungkin" imbuh Tiara yang sudah siap untuk pulang.

"oke siap!! Makasih infonya!! Aku pulang dulu!!"

"Kok pulang??" tanya aneh Tiara lalu disambung "kita makan-makan dulu!! Ayo!!" ajaknya dengan menarik tanganku.

Febri dan Rizky sudah stand bye di restoran, aku ikut bergabung bersama mereka. Walaupun Yuna belum datang, tidak ada kecanggungan sama sekali di antara kami, justru kami banyak sekali mengobrol. Tak berapa lama, Yuna tiba dengan wajah datar.

"Ngapain kamu di sini??" tanya Yuna yang tampak tak senang dengan kehadiranku.

"Aku yang ajak" yang dijawab Tiara.

Yuna duduk di sebelahku, namun dia mengacuhkanku. Aku mengira dia marah karena kejadian sore tadi.

"Kalian udah pesan makanannya??" Tanya Yuna

"Udah dong!!" jawab si Febri.

"Giliran makanan aja gak perlu disuruh. Awas aja kalau harganya di atas wajar!" ancam yang ulang tahun.

"tenang aja, kan ada do'i (pacar)" celetuk Rizky.

"Do'i apanya??" ketus Yuna yang membuatku hanya tertegun.

Makanan yang dipesan, sudah tersaji semua sampai memenuhi meja. Semua makanan yang tersedia khas dari bumi Nusantara, walaupun tidak dari semua provinsi.

"Kalian bertiga satu kampus ya??" Tanya Rizky.

"iya, tapi aku dulu gak deket sama Tiara" jawab Yuna di sela makan.

"Kenapa??" kepo Rizky.

"Dia gak punya temen selain Dean" dijawab Tiara.

"Kamu dekat sama Dean dari zaman ngampus??" ucap Febri yang seolah tak percaya.

"Iya!" jawab Dean

"Selama ini, kalian gak saling menyimpan rasa' kan??" tanya nyeleneh Febri.

"Eyyy,, gak mungkin!!" ungkap Rizky.

"Kenapa gak mungkin??" tanya balik Febri dengan mengangkat telapak tangan disertai bahu yang terangkat seolah menunjukkan 'siapa yang tahu'.

"Kalian pada ngomongin apa sih??" ucap Yuna menghentikan pembicaraan yang lain.

"Ya aneh aja! Masa udah temenan lama tapi gak sedikit pun menyimpan rasa??" balas Febri dengan nada segan.

Kemudian Febri percaya diri sehingga langsung melanjutkan ucapannya "aku percaya, setiap laki-laki dewasa tidak pernah menganggap hanya sebatas teman kepada perempuan" setiap orang mulai menatap dan mendengarkan apa yang Febri lontarkan, di saat itu pula ia lanjut berucap "di antara mereka pasti pernah merasa saling suka, tapi karena status 'teman' itulah yang membuat kisah di antara mereka hanya diam di tempat".

"Jadi??" ucap Tiara memotong pembicaraan Febri.

"Jadi, salah satu di antara mereka harus berani maju satu langkah lebih dekat agar nantinya hubungan mereka berakhir happy ending" tutup Febri.

Semua yang Febri lontarkan cukup membuat kami semua tercengang, padahal kisah cintanya sendiri sering kandas di tengah perjalanan. Secara spontan banyak pertanyaan yang kami utarakan kepada Febri.

"Kamu ngutip dari drama korea apa??" tanya Rizky yang sudah tau kebiasaan Febri sering menonton drama.

"Kamu lagi buat novel??" pertanyaan selanjutnya yang diucapkan Yuna.

"Kamu lagi gak sakit kan??" tanya Tiara kepada Febri sembari menempelkan telapak tangannya di dahi Febri.

Sementara aku, hanya bisa tertegun walau sekedar mendengarkan saja. Kini Febri pun hanya diam dan menyantap makanannya.

Rizky mulai mengalihkan pembicaraan, ia bertanya padaku "aku dengar kamu ikut melamar jadi pengacara publik?"

Aku membalas "iya!!"

"Aku doakan kamu lulus!!" ungkap Rizky.

Tiara memotong "heuh modus!!"

"Kok modus??" tanya aku.

Tiara membalas "biar dia ada temennya, soalnya tiap kali ke kantor suka berasa paling ganteng".

"Oh iya kan isinya cewek semua, awas ketularan syantik!" ungkapku canda gurau.

Begitu makan malam sudah selesai, aku berniat mengantar Yuna pulang. Dia sudah menunggu di depan restoran, aku berjalan menghampirinya. Begitu tepat di depannya, ia menoleh.

Aku memulai dengan "aku anterin kamu pulang!!"

Tanpa jeda waktu yang berarti ia menjawab "enggak usah!!"

Jawabannya itu sama sekali berbeda dari biasanya, aku tidak tahu mengapa rasanya akhir-akhir ini Yuna sedikit menjauh dariku. Tiara menghampiri kami, namun tiba-tiba Yuna menarik tangan Tiara dan mengatakan "aku pulang bareng Tiara".

Jika memang kehendaknya seperti itu, aku tidak bisa memaksakan diri untuk mengantarnya. Maka dari itu aku bersikap lunak karena memang sudah seharusnya.

Malam ini, aku menyiapkan tempat yang sudah dihiasi lampu kelap-kelip dan segala pernak-pernik lainnya agar terlihat romantis untuk Hana dan aku ingin mengungkapkan perasaanku sekarang. Aku datang ke tempat ini dengan Hana, seperti apa yang sudah direncanakan. Sebuah bangku yang sengaja ku sediakan mengarah rembulan dan bintang-bintang, begitu pas untuk kami berdua.

"Gimana tempatnya??" tanyaku ketika duduk di bangku bersama Hana.

"Bagus, aku suka!" sahutnya disertai senyuman manis dengan menatapku.

Aku kembali membalas senyuman indah itu.

"Kamu yang nyiapin semua ini??" tanya Hana.

"Euhh" jawabku diikuti jeda beberapa detik, aku bertanya "kamu tau gak??"

Dengan bingung Hana membalas "tau apa??"

"bulan itu ada untuk malam, sedangkan matahari ada untuk siang"

"Terus??"

"Dan aku ada untuk kamu!!" tutupku dengan menggenggam tangannya.

Tanpa aku duga sebelumnya, ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Betapa bahagianya aku dengan respons yang mengejutkan itu.

"aku suka sama kamu!!" pengakuanku padanya ketika ia masih bersandar.

"Terima kasih, karena sudah suka sama aku!!" balas Hana.

Sebuah rasa dikala sudah diungkap terasa menggeliat di hati dan menyatakan seakan tak ingin berpisah dengan setiap pertemuan melainkan ingin selalu ada di sampingnya. Betapa indahnya dikala 2 orang yang berbeda kemudian bertemu sehingga menyusun kata 'kita'.