Kamar hotel sudah di sediakan untuk mereka berdua. Tentu saja mereka mendapatkan kamar terpisah, tapi sayangnya kamar mereka saling bersebelahan.
'Kenapa gak sekamar aja?'
'Dih ni otak makin error aja!' keluh Sasha pada dirinya sendiri.
Kini ia berada di dalam kamar hotelnya, hanya sekedar untuk menyimpan barang-barang saja. Karena setengah jam lagi ia dan Aldric akan pergi menuju lokasi proyek. Perusahaan juga sudah menyiapkan kendaraan untuk mereka dan seorang supir yang akan mengantar mereka kemanapun mereka pergi selama mereka ada di kota ini. Tadi pun ia sudah di jemput oleh supir ketika di bandara dan mengantarnya ke hotel.
Tentu saja ia bisa mendapatkan fasilitas bagus seperti ini, apalagi jika bukan karena ia bersama Aldric. Jika bersama pegawai biasa mungkin tak akan sebagus ini. Bisa di lihat dari hotel dan kamar yang ia tempati saat ini, ia mendapatkan kamar yang cukup besar dan sangat bagus.
Sasha belum menata pakaiannya ke dalam lemari, ia masih menaruhnya begitu saja di dalam koper. Ia masih cukup lelah setelah perjalanan yang baru saja ia lalui. Ia akan melakukannya nanti.
Sasha hanya ingin merebahkan tubuhnya sebenar, ia kini merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur yang terasa sangat empuk. Sungguh nyaman.
Hampir saja ia terlelap, saat ia mendengar suara ketukan di pintu. Untuk sesaat ia sempat merasa kaget, namun ia sadar jika itu pasti Aldric yang mengetuk pintunya. Dengan cepat ia segera turun dari atas tempat tidur dan bergegas menuju pintu.
Benar saja, begitu pintu di buka Aldric sudah berdiri di sana.
"Ayo, kita pergi sekarang. Nanti sekalian kita makan siang," ajak Aldric. Karena memang waktu hampir tengah hari.
"T-tunggu, Pak!" ujar Sasha yang saat ini sadar sedang bertelanjang kaki. Ia tadi sempat melepas sepatu ketika akan membaringkan tubuhnya dan lupa kembali memakainya ketika ia mendengar ketukan di pintu.
Aldric menatap ke arah kaki Sasha. Kemudian ia mengangguk. Sasha kembali masuk ke kamarnya tanpa menutup pintunya, hingga Aldric yang masih berdiri di depan pintu bisa melihat apa yang sedang di lakukan oleh Sasha di dalam sana.
Sasha tampak terburu-buru memakai sepatunya yang tadi ia lepas sembarangan, hingga keduanya terpisah cukup jauh. Tak lupa ia mengambil tasnya yang tadi ia lempar ke atas sofa.
Dari tempatnya Aldric hanya diam memperhatikan Sasha dalam keheningan, namun sudut bibirnya sempat tertarik dan membentuk senyuman yang samar.
"Kayanya mending makan siang dulu deh," ujar Aldric saat ia menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Sasha yang duduk di samping Aldric hanya mengangguk. Ia juga sudah merasa lapar.
Kemudian Aldric meminta supir yang mengantar mereka untuk mampir ke tempat makan terlebih dahulu sebelum datang ke tempat proyek.
"Gimana, enak gak?" tanya Aldric ketika mereka menikmati makan siang mereka.
"Enak," jawab Sasha singkat.
"Suka?" tanya Aldric lagi.
"Hmm," angguk Sasha.
"Kalau suka pesen lagi aja, gak usah sungkan," ujar Aldric.
Sasha mengangkat kepalanya kemudian menatap Aldric yang duduk di depannya. "Ini udah cukup, Pak. Lagian sebenernya gak sesuai selera lidah saya."
"Kalau gak sesuai lidah kamu, kenapa kamu bilang suka? Pilih makanan yang lain aja," ujar Aldric bingung, karena Sasha masih memakan makanannya jika memang tidak sesuai dengan seleranya.
Sasha kembali menggeleng, "Gak usah, meski gak sesuai selera saya masih bisa makannya. Ini sebenarnya memang enak, hanya mungkin saya belum terbiasa aja. Saya juga gak pilih-pilih makanan, lagian sayang kalau gak dihabisin, mubazir," ujar Sasha.
"Kamu yakin?" tanya Aldric menyakinkan.
"Yakin lah, Pak. Kalau gak saya udah gak akan lanjut makan dari suapan pertama. Lagipula orang di luar sana masih banyak yang kelaparan karena keadaan, sekarang ada makanan depan saya masa saya gak abisin. Bapak gak tahu kan rasanya kelaparan?" tanya Sasha pada akhirnya.
Aldric menggeleng, "Bersyukurlah Bapak belum pernah nyobain, rasanya gak enak."
Kening Aldric kini mengerut, "Emangnya kamu pernah?" tanyanya tak percaya.
"Tentu aja pernah. Bapak pikir hidup saya kaya apa? Saya malah pernah gak makan tiga hari, cuma minum air aja," jelasnya.
Kening Aldric berkerut semakin dalam. "Bukannya gaji di kantor Adam cukup besar?" tanyanya masih tak percaya.
"Dulu, Pak. Waktu awal-awal saya pindah ke kota, tapi sekarang juga saya harus berhemat. Cicilan apartement masih jauh soalnya."
"Waktu kamu pindah, gimana sama orang tuamu? Apa mereka tidak bekerja hingga kamu pernah tidak makan berhari-hari?"
Sasha menghela napas panjang, kemudian menatap lekat ke arah Aldric, "Bapak mau interogasi saya?"
"Enggak, saya hanya penasaran saja."
"Sejak lulus SMA saya pindah sendirian ke kota. Pokoknya ada kerjaan apa saya kerjain, saya kumpulin uang buat kuliah. Selama kuliah saya tetep kerja juga, sampai udah lulus baru deh dapat kerjaan di tempatnya Pak Adam sampai sekarang," jelas Sasha sesingkat mungin.
"Terus orang tuamu?" Aldric tampak masih penasaran.
Sasha lagi-lagi menghela napas panjang, ia sebenarnya enggan untuk menjawabnya. Tapi pasti pria yang ada di depannya ini akan terus bertanya hingga ia akhirnya mendapatkan jawabannya.
"Saya memutuskan untuk hidup seorang diri. Dengan alasan yang gak bisa saya jelaskan pada Bapak. Apa itu cukup?" tanyanya.
Aldric bisa melihat keengganan untuk menjelaskan dari wajah Sasha, hingga dengan terpaksa ia mengangguk meski sebenarnya ia merasa sangat penasaran. Ia hanya bisa mengangguk.
Kini Aldric bisa mengetahui mengapa gadis di depannya ini bisa bersikap serampangan, sedikit kasar dan juga bicara yang terkadang tak pernah difilter. Rupanya ia memang memiliki hidup yang cukup keras, mungkin jika tidak begitu ia tidak bisa bertahan. Dan dari pengalaman hidupnya ia menjadi wanita yang kuat dan mandiri.
Apalagi hidup sendirian di kota besar sungguh tidaklah mudah. Apalagi ia hanya seorang wanita. Untuk laki-laki saja itu tidak mudah apalagi wanita, sungguh Aldric tidak bisa membayangkannya.
Makan siang mereka akhirnya selesai, kemudian keduanya segera pergi dari sana dan segera pergi menuju tempat proyek. Baik Aldric atau pun Sasha segera melakukan pekerjaan, meski Sasha hanya mengikuti kemana langkah kaki Aldric melangkah. Karena sebelumnya ia belum pernah memiliki pengalaman bekerja di lapangan. Aldric sempat meminta Sasha untuk mencatat beberapa hal penting yang ia temukan di sana.
Sasha benar-benar hanya mengikuti Aldric saja, dan hanya sekedar mencatat. Ia sendiri tidak terlalu mengerti apa yang harus di lakukan di sana selain mencatat saja.
Suhu di kota ini tak berbeda jauh dengan ibu kota. Meski begitu, berada di lapangan di bawah terik matahari membuat tubuhnya berkeringat.
"Panas?" tanya Aldric yang menyadari keadaan Sasha.
"Iya, tapi bukan masalah kok," sahut Sasha.
"Nih!" Aldric menyodorkan saputangan miliknya yang ia ambil dari saku celananya kemudian menyerahkannya pada Sasha, "Keringatmu banyak bercucuran."
Sasha hanya diam dan enggan untuk menerimanya, "Gak usah!" tolaknya kemudian seraya mengusap keningnya dengan punggung tangannya.
"Jangan pakai tangan, pakai ini!" ujarnya setengah memaksa sambil terus menyodorkan saputangannya pada Sasha, "Ini bersih kok, tenang aja!"
Karena Sasha tetap menolaknya, Aldric menyeka kening Sasha dengan saputangannya mengusapnya dengan lembut. "Pakai tangan jorok!" ucapnya.
Lagi-lagi perlakuan tiba-tiba Aldric yang seperti ini hanya bisa membuat Sasha terdiam dan mematung.
Jantungnya kembali berdetak sangat cepat, matanya hanya bisa mengerjap-ngejap.
-To Be Continue-