Keesokan harinya.
Clara membuka matanya, dia merasakan kepalanya pusing. Dia masih berada dalam posisi terbaring, matanya mengarah pada langit-langit kamar. Dia teringat kejadian semalam ketika Bram memberinya pelajaran dan berakhir dengan percintaan panas. Dia melihat ke samping dan tak melihat Bram.
'Di mana dia? Apa dia sudah pergi?' batin Clara.
Clara bangun perlahan, menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur untuk sesaat. Setelah merasa lebih baik, Clara pergi menuju kamar mandi. Dia memilih mandi agar tubuhnya merasa lebih segar dan rasa pusingnya benar-benar hilang.
Selesai mandi, Clara mengambil stelan santai tetapi semi kasual. Dia akan ke Butik, tetapi tak ingin berpenampilan terlalu berlebihan. Dia memilih memakai celana jeans panjang dan kemeja putih.
'Tunggu dulu!'
Clara terdiam ketika menyadari ada meja rias di kamarnya, bahkan itu terlihat baru. Namun, dia tak pernah memesan model seperti itu. Itu terlalu mewah.
Ting-tong!
Clara mendengar bel apartemen, tetapi dia memilih diam saja. Ada Dante, biarkan saja Dante yang membukakan pintu. Lagi pula Clara belum selesai bersiap.
Clara melihat ke arah pintu, ketika terdengar suara ketukan. Pintu kamarnya masih tertutup, dan dia bergegas membukanya.
"Maaf, Nona. Ada seseorang yang mengantar meja rias pesanan Nona," ucap Dante.
Clara membulatkan matanya. Datang hari ini ternyata pesanannya itu.
Clara meminta Dante membawanya dan meletakannya di ruang tamu terlebih dahulu. Dia masih memikirkan, akan disimpan di mana meja rias pesanannya itu sedangkan di dalam kamarnya sudah ada meja rias yang baru.
Sebelum Dante pergi meninggalkan Clara, Clara memanggil Dante.
"Apa Tuan Bram yang membawa meja rias itu?" tanya Clara sambil menunjuk ke arah meja rias baru di kamarnya.
Dante mengangguk.
"Betul, tadi pagi ada seseorang yang mengantarnya dan Tuan Bram meminta agar diletakan di kamar Nona," ucap Dante.
Clara mengangguk dan Dante pergi meninggalkan Clara.
Clara menutup pintu kamarnya, dia melihat meja rias itu.
"Dia benar-benar terlalu berinisiatif kali ini. Jika aku tahu dia akan membeli yang baru, aku takan memesannya," ucap Clara.
Clara menjadi bingung sendiri akan meletakan meja rias baru yang dia pesan di mana? Tak mungkin ada dua di kamarnya. Meski kamarnya masih memiliki ruang yang luas, tetapi akan terlihat tak indah jika terpasang dua meja rias sekaligus.
"Aku akan pikirkan itu nanti," ucap Clara.
Clara melanjutkan bersiap, setelah itu dia pergi menuju meja makan dan sarapan.
Clara mengajak Dante ikut sarapan bersama, tetapi Dante menolaknya. Dante mengatakan akan sarapan setelah mengantar Clara ke Butik.
"Dante, jika tak ada Bram di sini, kamu tak perlu terlalu formal. Kita bisa sarapan bersama. Lagi pula, aku bosan tak ada teman sarapan. Selalu sendiri seperti ini," ucap Clara.
Dante hanya tersenyum. Dia tak mengatakan 'Ya' atau pun menolak permintaan Clara. Clara tak tahu jika Bram memperhatikan gerak-geriknya di apartemen itu. Clara memang tahu, di apartemen itu ada cctv, tetapi dia tak pernah tahu Bram mengeceknya setiap hari. Clara berpikir, Bram tak peduli dengan urusannya jadi tak mungkin mengecek cctv apartemennya. Padahal, Bram juga meletakan cctv di kamarnya, dan tahu apa saja yang Clara lakukan di kamar itu meski hanya melalui rekaman cctv.
Selesai sarapan, Dante mengantar Clara menuju Butiknya. Begitu sampai di Butik, Dante memesan makanan via online, dan makan di dalam mobil. Dia tak bisa mengambil resiko jika meninggalkan Clara dan sampai terjadi sesuatu pada Clara. Sudah pasti Bram akan marah padanya. Lebih baik dia menghindari kemungkinan itu. Mungkin orang lain akan melihat pekerjaan sebagai bodyguard itu keren, tetapi sebetulnya terlalu banyak resiko di dalamnya. Dia tak hanya sekedar mengikuti Clara, tetapi juga harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Clara. Sama saja dengan dia lalai jika sampai terjadi hal buruk dengan Clara, dan Bram takan mau tahu itu. Dia hanya atasan yang membayar jasanya, dan Dante pekerja yang harus mentaati peraturan dan menerima segala resiko pekerjaannya.
***
Di sisi lain.
Bram sudah berada di Kantornya. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di sana. Bram tak peduli dengan tubuhnya yang merasa sedikit lelah akibat percintaan panasnya dengan Clara semalam. Tidurnya mungkin hanya sebentar, tetapi dia tak bisa mengabaikan tanggung jawab pekerjaannya. Gara-gara Clara menghubunginya semalam, Bram yang masih melakukan pekerjaannya meski di dalam Hotel pun dengan terpaksa meninggalkan pekerjaannya. Dia meminta supirnya mengambil laptopnya di Hotel dan membawanya ke Kantor. Namun, hingga saat ini supirnya belum juga sampai, membuat Bram kesal saja.
Akan ada meeting hari ini, dia harus memeriksa beberapa laporan terlebih dahulu sebelum meeting dimulai.
Disaat menunggu, masuklah Anita. Bram melihat Anita dengan bingung. Anita membawa laptop miliknya dan meletakannya di atas meja kerja dirinya.
"Kamu pergi ke mana semalam? Kenapa tak kembali lagi ke Hotel? Apa kamu tak mengerti, aku kesepian," ucap Anita kesal.
Bram menghela napas, dia memijat kepalanya.
'Jangan mencari ribut, jangan membuat moodku di pagi hari menjadi buruk,' batin Bram.
"Aku bicara denganmu, Bram! Jangan diam saja! Ke mana semalam? Dengan siapa? Apa kamu pergi ke tempat wanita lain?" kesal Anita. Anita bicara dengan nada lebih tinggi dari sebelumnya.
Bram mengepalkan tangannya. Dia tak suka ada yang membentaknya. Apalagi bicara seolah menginterogasinya, sekalipun itu Anita, calon istrinya.
"Ke mana supirku? Kenapa kamu yang membawa laptopku?" tanya Bram dengan nada selembut mungkin. Jangan sampai dia terpancing emosi.
Anita menghela napas. Bram tak menjawab pertanyaannya tetapi justru mengalihkan pembicaraan.
"Aku bertanya, kenapa kamu justru menanyakan Supirmu? Aku calon Istrimu, jadi aku yang membawa laptopmu. Akupun penasaran, ke mana sebetulnya kamu semalam? Jangan katakan jika kamu pergi ke rumah wanita lain, atau bahkan tidur bersama wanita lain!" ucap Anita menatap Bram penuh selidik.
Bram mendekati Anita, memegang wajah Anita.
"Aku sudah katakan, aku ada urusan penting semalam, dan apapun itu, itu bukan urusanmu. Aku tak ingin kamu memikirkan pekerjaanku, aku tahu kamu sudah lelah dengan pekerjaanmu," ucap Bram selembut mungkin.
Anita menyingkirkan tangan Bram. Dia tak percaya dengan ucapan Bram.
"Jangan membohongiku, Bram! Katakan padaku! Siapa wanita itu? Lancang sekali telah bermain-main denganku!" geram Anita.
Bram kembali mengepalkan tangannya. Napasnya memburu. Dia sudah menahan emosinya, tetapi Anita tak bisa diajak bicara baik-baik.
"Kamu calon Istriku, bukan?" tanya Bram.
"Ya, tentu saja! Kita akan segera menikah," ucap Anita.
"Kalau begitu, kamu masih belum menjadi Istriku. Dan kamu tak berhak menanyakan banyak hal yang menyangkut masalah pribadiku! Jadi, keluarlah! Aku banyak pekerjaan!" ucap Bram penuh penekanan.
Bram berbalik dan Anita menahan tangan Bram. Tanpa sengaja kuku Anita melukai tangan Bram dan tertinggal sebuah goresan merah. Bram mengepalkan tangannya dan berbalik menatap Anita dengan nyalang.
"Keluar dari ruanganku! Sekarang!" ucap Bram penuh penekanan.
"Tidak! Kamu tak bisa mengusirku. Aku calon Istrimu, dan aku berhak tahu pergi ke mana kamu semalam? Dengan siapa kamu semalam, ha?" bentak Anita.
Brak!
Bram menendang meja kerjanya dengan kuat. Anita membulatkan matanya begitu terkejut. Untuk pertama kalinya dia melihat Bram marah seperti itu
"Sudah kubilang! Keluar dari ruanganku! Kamu benar-benar menggangguku!" bentak Bram.
"Ka-kamu marah?" tanya Anita gugup.
Bram menatap Anita dengan tajam.
"Pergi sekarang, atau meja ini akan terlempar ke kepalamu!" geram Bram seraya menatap Anita dengan nyalang.
Anita semakin terkejut mendengar ucapan Bram. Dia merasa takut melihat Bram marah seperti itu.
Anita memundurkan langkahnya dan akan keluar dari ruangan Bram. Langkahnya terhenti ketika mendengar ucapan Bram.
"Lain kali, jangan lancang masuk seenaknya ke ruanganku! Jangan lagi menyentuh barang-barang pribadiku!" tegas Bram.
Anita bergegas keluar dari ruangan Bram, dia melangkahkan kakinya dengan cepat. Matanya memerah, dia tak kuasa menahan rasa sedihnya karena Bram memarahinya bahkan melarangnya menyentuh barang-barang pribadi Bram.
Di ruangan Bram.
Bram mengatur napasnya yang masih memburu. Dia tak suka melihat sikap Anita tadi. Dia tak suka siapapun mengatur dirinya. Dia tak suka ketika mendengar pertanyaan yang seharusnya tak perlu dilontarkan. Bram bahkan sudah menjelaskan sejak semalam sebelum dia pergi, bahwa dia ada urusan penting, tetapi Anita tak juga mengerti dan justru menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan. Bram tak suka, ketika ada orang keras kepala yang tak ingin mendengarkannya.
Bram mengambil telepon Kantor, dia menyambungkan panggilan ke sekretarisnya.
"Mundurkan waktu meeting jadi setelah jam makan siang!" perintah Bram dan mematikan teleponnya.
Dia duduk di kursi kerjanya. Kepalanya benar-benar pusing. Belum juga pekerjaannya yang tertunda selesai, dia sudah dibuat kesal oleh Anita.
"Dia benar-benar merepotkan!" geram Bram.
***
Waktu berlalu.
Tepat jam makan siang, Anita sampai di Butik Clara.
Anita mengerutkan dahinya ketika melihat Dante di parkiran Butik Clara sekilas sebelum akhirnya Dante masuk ke mobil Clara.
'Apa aku salah lihat? Sepertinya aku mengenal orang itu,' batin Anita.
Anita melihat Dante seperti seseorang yang dia kenal. Ya, tentu saja. Dante adalah pekerja Bram, dan Anita mengenal Dante. Hanya saja, Anita masih tak menyadari bahwa dia adalah Dante. Anita hanya melihatnya sekilas saja.
Anita masuk ke Butik Clara, menanyakan keberadaan Clara. Asisten Clara langsung mengantar Anita menuju ruangan Clara.
Mereka berjabat tangan, setelah itu Anita duduk berhadapan dengan Clara. Clara agak terganggu sebetulnya, karena itu sudah waktunya makan siang, tetapi dia mencoba profesional dan melayani Anita terlebih dahulu.
"Kita bisa melakukannya dengan cepat, bukan? Saya sibuk sekali. Setelah ini, Saya masih ada pekerjaan," ucap Anita.
Mereka berbincang sebentar, kemudian melanjutkan dengan melakukan pengukuran lingkar tubuh.
"Bagaimana dengan baju mempelai pria? Saya tak tahu ukuran tubuhnya karena dia tak berada di sini," ucap Clara.
"Ya, dia masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia akan menyusul. Saya akan beritahu dia," ucap Anita.
Clara mengangguk. Meski sering bertemu dengan Bram, tetapi Clara memang tak tahu ukuran pakaian Bram. Dia tak pernah memperhatikannya. Jika pun dia tahu, dia takan mencatatnya dengan sembarang, tentu dia tak ingin Anita sampai mencurigainya.
Selesai mengukur lingkar tubuh, Anita pergi dari Butik. Clara keluar dari Butik dan akan makan siang. Langkahnya terhenti ketika melihat Gerry.
'Untuk apa dia ke sini?' batin Clara.
Clara mencari keberadaan Dante, tetapi tak menemukan Dante. Pintu mobil penumpang depan pun tertutup dan mesin mobil sepertinya tak menyala. Clara jadi berpikir, bahwa Dante sedang pergi.
"Ada apa, Ger? Apa ada yang bisa kubantu?" tanya Clara.
"Aku kebetulan lewat, jadi aku mampir. Hanya ingin melihatmu saja," ucap Gerry tersenyum.
Clara tersenyum. Dia merasa gelisah sebetulnya, takut Dante melihat keberadaan Gerry dan akan mengatakannya pada Bram.
Clara memegang tangan Gerry, akan menarik Gerry untuk masuk ke Butiknya sebelum Dante melihat keberadaan Gerry.
Namun, Clara terkejut dan sontak melepaskan tangan Gerry ketika melihat kaca mobil terbuka, dan terlihat dari kejauhan Dante mengarahkan ponsel ditangannya ke arah Clara dan Gerry.
'Apa dia memotretku?' batin Clara.
Clara meninggalkan Gerry begitu saja dan berlari menuju mobilnya. Dia bergegas masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang depan.
Brak!
Clara tak sengaja menutup pintu mobil dengan keras. Dia repleks merebut ponsel Dante.