webnovel

Part 6

~Percayalah, pelangi itu hanya sebuah ilusi yang hanya bertahan sekejap~

***

Author

"Ro, Nata, Ro." kata Rara sembari mengguncang tubuh pemilik netra abu-abu yang sekarang sedang mencorat-coret di selembar kertas yang ada di hadapannya.

"Terus?" tanya sang pemilik netra abu-abu itu tak peduli, bahkan tak berniat mengalihkan pandangannya dari kertas berwana biru itu.

"Ro, lo dicariin Dek Nata," kata Dika mendekati gadis dengan rambut hitam agak kecoklatan yang masih setia dengan pulpen dan kertas yang sama. Ia hanya berdehem dan bangkit dari kursinya. Berjalan gontai setengah hati-hati takut lututnya menabrak ujung meja atau kakinya tersandung kaki jahil teman sekelasnya. Pastilah karena keadaan kelas sudah layaknya pasar saat guru tidak hadir seperti saat ini. Ditambah teman sekelas gadis itu memang jahil.

"Ya?" tanya gadis itu dengan sebelah alis terangkat.

"Mbak, disuruh kumpul sama Kak Iqbal di depan aula, " katanya diakhiri senyum manis dan hanya dibalas deheman pasrah dari sang netra abu-abu.

"Duh Iqbal, gak ngertiin banget sih. Sekarang gue lagi jamkos. Seharusnya tuh gue di kelas lagi pesta. Nah ini, masih disuruh kumpul. Pasti bahas lomba itu," gerutu gadis tadi sambil mengikuti langkah Nata di depannya. Namun, sedetik kemudian bibirnya tersenyum jahil.

Eh tunggu. Kak Gamma ikut nggak ya?

Netra abu-abu itu menyusuri setiap sudut aula yang dapat ia tangkap dengan penglihatannya. Maniknya masih menyapu perkumpulan yang dominan diisi oleh cowok itu. Ia menggigit bibir bawahnya sembari mendekati mereka.

"Ini udah yang ikut semua, Bal? " tanyanya tak tertahankan karena sudah tak bisa menangkap pemilik manik hitam yang sedari tadi ia cari.

"Napa? Nyariin Gam–aduuh" ringis cowok yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena sebuah pulpen biru mendarat mulus di keningnya. Membuatnya menatap sang pelaku dengan tatapan tajam. Alih-alih takut, sang pelaku malah mendekati Vega yang sedang mengelus keningnya.

"Lo ya, ngeselin amat!"

"Suruh sapa tuh mulut gak ada remnya?" tantang gadis tadi sambil memeletkan lidahnya dan memilih duduk di samping Vega dan malah menghiraukan Iqbal yang sedang mendata nama untuk ia daftarkan kepada panitia.

"Lo kemaren gak masuk ya?"

"Cie perhatian," kata Ero setengah menahan tawa agar tidak menyembur menyadari Vega yang tiba-tiba menanyakan keberadaan dirinya.

"Sudah sembuh? Kok sekarang masuk?" tanyanya lagi berusaha memasang wajah serius.

"Napa lo nanya-nanya? Kayak lo peduli aja," balas pemilik netra abu-abu itu ketus.

"Ye, ditanyain juga. Masi untung ada yang nanyain. Sensi amat sih lo. Kek pantat bayi. Mana yang katanya dijahit, hah? " Vega menepuk-nepuk lutut Ero dengan sengaja.

"Sakit woy. Goblok lo! " Ero melayangkan pukulan ganas di lengan Vega. Tawa Vega lepas, ia memegangi perutnya yang mulai sakit.

"Terus ketawa! Ngeselin amat sih lo. Sakit nih. Nepuk gak usah kenceng-kenceng juga ingus unta! " Ero masih memukuli Vega saking kesalnya.

***

"Lo gak mau ikut ke kantin?" Rara berdiri di samping mejanya, sibuk mengambil uang di dompetnya dan memasukkannya ke saku.

"Laper, tapi males. Bukan males sih, takut lutut gue kebentur, gagal cabut benang nanti, " kata gadis berambut hitam agak kecoklatan itu, memelas. Berharap Rara menawarkan titipan.

"Ya udah gue duluan, "

Netra abu-abu itu hanya bisa menatap pasrah punggung teman sebangkunya itu.

Emang gak ada yang peka ya.

Netra itu beralih menatap jendela kelas yang berada tepat di sampingnya. Ia menggigit bibir bawahnya melihat langit yang tak menampakkan putih atau birunya. Kelabu terlukis indah di sana yang mungkin sebentar lagi rinai mulai menghantam bumi. Gadis itu menghela napas panjang dan memejamkan matanya.

"Hai... "

Duh, gue gak lagi pengen ngayal deh

"Boleh duduk di sini nggak?" Suara itu kembali memenuhi indra pendengaran Ero karena di kelas memang sudah sepi. Tersisa dirinya dan beberapa kutu buku di pojok ruangan, menikmati santapan di sudut baca.

Gadis itu membuka matanya dan nyaris terlonjak kaget menyadari siapa yang sedang berdiri di sampingnya dengan senyum manis yang berhasil membuat gadis itu mabuk.

"Heh? Iya boleh, " jawabnya berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak normal.

"Gue bawa ini buat lo," katanya seraya menyodorkan sebungkus roti, susu kotak, dan sebatang coklat favorit gadis yang sekarang sedang mengulum bibir menahan senyum.

"Nggak usah repot-repot, Kak,"

"Gak repot kok. Makan ya,"

"Hem? Iya dah. Makasih, Kak. Padahal kan gue... Eh, maksudnya...aku," ucapnya kaku.

"Gak usah dipaksa. Lagian gue cuman kakel lo doang kan, bukan guru lo. Boleh lo pake panggilan gue " katanya tersenyum manis dan hanya dibalas dengan senyum dan anggukan oleh sang pemilik netra abu-abu itu.

"Emm, Kak. Kakak kok bisa titip coklat ke Indah kemaren?"

"Oh, itu. Kemaren gue ke sini. Katanya lo gak masuk, gue tanya temen lo yang agak gemuk itu, terus katanya lo sahabatan dan tetanggaan sama Indah kelas sebelah. Ya jadi gue titipin ke dia," jelasnya. Ero hanya manggut-manggut. Ia kembali menatap jendela. Dahinya mengkerut dan bibirnya mengerucut saat melihat rinai mulai turun. Ia segera menundukkan kepalanya dan membenamkan wajahnya di antara lipatan lengannya.

"Lo, kenapa?" tanya sang manik hitam bingung menyadari perubahan sikap gadis di hadapannya itu. Sang gadis hanya menggeleng tanpa berniat mendongakkan kepalanya. Gamma mendekatkan wajahnya ke telinga gadis itu.

"Lo takut hujan?"

Pemilik netra abu-abu itu menyembulkan wajah imutnya, masih dengan tatapan khawatir dan kerutan yang terlihat jelas di dahinya.

"Gue benci hujan, bukan takut hujan," koreksinya.

"Kenapa? Hujan bagus kok, bisa bikin lo ngadem, nemenin lo kalo lo lagi sendirian. Hujan itu ngajarin kita biar kita kayak dia, dia gak pernah takut buat jatuh," Gamma menatap pemilik netra abu-abu di hadapannya yang sedang menggigit bibirnya. Rambutnya sedikit berantakan karena gerakannya yang terlalu agresif semenjak ia menyadari hujan turun.

"Tapi gue benci hujan! Gue benci! Gue benci tiap tetesnya yang turun! Gue benci suara yang ditimbulin! Gue benci langit gelap! Gue benci semua itu! Tapi gue gak pernah takut sama hujan!" katanya diakhiri dengan isakan, ia membenamkan wajahnya di lipatan tangannya lagi. Pundaknya naik turun, menandakan ia sedang terisak. Kakinya ia tendangkan ke bangku atau kursi untuk menimbulkan suara.

Gamma kembali mendekati telinga gadis itu.

"Kaki lo gak sakit nendang gitu?" bisiknya.

Gadis itu mendongak, wajahnya basah dengan air mata bahkan rambutnya yang ia biarkan tergerai ikut basah.

"Makanya Kakak ngomong. Yang kenceng, biar gue gak denger suara hujan," jawabnya masih berusaha menimbulkan suara bising. Gamma tersenyum.

"Lo itu lucu ya. Di saat banyak orang suka sama hujan, di saat orang suka suara hujan lo malah benci. Tapi lo sendiri gak takut sama hujan. Terus kalo seumpamanya lo kehujanan gimana?" tanyanya dengan suara yang berusaha menenggelamkan suara yang dibenci gadis di hadapannya itu.

"Gue bakal ngoceh sepanjang jalan, biar gak denger hujan. Dan yang paling penting, gue harus bisa tetep ngeliat walopun hujan sederes apa pun, " jawabnya.

Manik hitam itu menatap lekat Ero. Entah semenjak kapan Ero tak canggung lagi berada di samping pemilik manik hitam itu. Ia bahagia, sangat.

"Kakak suka hujan ya?"

Gamma menarik sudut bibirnya ke atas, membuat pipinya turut naik. Ia menghapus sisa air mata di wajah gadis pemilik netra abu-abu itu, kemudian menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

"Gue biasa aja sama hujan,"

***

Hai hai hai

Kritik

Saran

Makasih😘