webnovel

Menyebarkan Kartu Nama

Setelah mendapatkan barang-barang yang di butuhkan semua, Riski berniat istirahat sejenak. Ardhi juga sudah pulang, Riski tak mau jika terus menerus bergantung pada Ardhi.

Jam menunjukkan pukul 4 sore, Riski ingin tidur sejenak. Tapi, rasanya tak akan bisa.

Riski terus overthingking masalah usahanya, banyak ketakutan yang ada dalam dirinya. Semua ketakutan sesekali berkumpul menjadi satu, dan membara seperti api yang besar.

Gimana kalo usahanya ini gagal? Bagaimana jika metode yang ia ciptakan ternyata tidak bisa efektif? Bagaimana jika ia gagal dengan semuanya dan mengalami bangkrut? Bagaimana jika uangnya habis dan tidak bisa menghidupinya di SMK?

Riski takut akan semua itu, tapi jika tak melakukan usaha ini sama saja Riski sudah menyerah sebelum memulai. Riski akan mengecewakan banyak pihak, dan tentu yang paling kecewa adalah keluarganya, dan yang kedua adalah Ardhi yang sudah membantunya banyak hal.

Daripada memikirkan hal yang membuatnya semakin takut, Riski memilih mengotak-atik handphonenya. Riski juga mengingat perkataan Ardhi untuk membuat akun facebook agar bisa promosi di sana.

"Gimana cara buat facebook ya?" tanya Riski pada dirinya sendiri.

"Ah, mungkin besok aja waktu ketemu sama Ardhi." jawab Riski sendiri.

Malam harinya, Riski berniat untuk menyebarkan kartu nama. Terkesan kurang baik menyebarkannya di waktu malam, tapi Riski tak memiliki waktu lagi. Atau sore ini saja ia akan menyebarkannya? Karena di malam hari pasti semua orang akan berada di rumah untuk beristirahat. Riski takut mengganggu, dan orang tidak akan memperhatikan kartu namanya.

Riski bangkit dari tidurnya, berniat menyebarkan undangan sore hari ini. Riski juga berniat, ke rumah bu Widya untuk mengambil gerobaknya.

Tapi, bagaimana Riski membawa gerobak yang besar itu dengan jalan kaki? Ahh, semua serba susah jika tidak ada kendaraan.

Tiba-tiba Riski teringat satu hal, "Oh iya, bu Widya kan mempunyai sepeda. Siapa tau boleh di pinjam untuk mengantar gerobak dan juga menyebarkan kartu nama ini."

Riski langsung berangkat menuju rumah bu Widya. Meskipun badannya terasa capek, ngantuk, Riski harus tetap semangat. Semangat untuk masa depan yang lebih indah.

Di perjalanan Riski hanya mencoba menikmati perjalanannya dengan sambil berpikir ringan.

"Oh iya, katanya mau di beliin sepeda motor. Tapi, kapan ya? Atau gue tanyakan aja, soalnya kan besok juga sudah mulai jualan. Belum juga gue belajar naik motornya." ucap Riski dalam hatinya. Sebenarnya Riski bisa mengendarai sepeda motor, cuman kurang terlatih saja. Karena memang tidak setiap hari Riski mengendarainya, hanya pernah beberapa kali saja waktu dulu. Ah, Riski tak mau mengingat kejadian itu lagi, kejadian yang benar-benar membuat hidupnya berubah 360 derajat.

Kurang lebih 15 menit Riski berjalan, dan sekarang ia sudah sampai di depan rumah bu Widya.

Tok, tok, tok.

"Assalamualaikum, bu." panggil Riski dan terus mengetuk pintu rumahnya.

Tak lama, ada suara perempuan yang menjawab salamnya, "Waalaikumsalam." Riski sudah sangat hafal, pasti yang membukakan pintunya sekarang bu Widya sendiri. Bu Widya belum keluar kota, karena ia akan pergi setelah menunggu suaminya di akhir bulan nanti. Maka dari itu, sekarang beliau masih ada di rumah dan beristirahat dengan tenang, karena tak perlu lagi jualan sayur keliling.

"Eh Riski. Ada apa kemari? Mau ngambil gerobak yaa?" tebak bu Widya tepat.

"Iyaa, tapi aku gak tau cara bawanya, bu. Sepeda Ibu masih ada? Boleh di pinjam untuk bawa gerobaknya?" jelas Riski to the point karena jam juga sudah menunjukkan pukul 04.30 sore.

"Oh masih ada, nggak papa pakai aja dulu." jawab bu Widya ramah.

Riski mengeluarkan kartu nama dalam sakunya, "Ini bu, bisa minta tolong di sebarkan ke tetangga sini? Siapa tau mereka membutuhkan." ujar Riski dengan tersenyum manis.

Bu Widya membaca kartu nama itu, ia tersenyum sangat lebar, "Baguss banget. Ide kamu bagus banget, pasti sangat membantu ibu-ibu di sini." tukas Widya bangga pada Riski.

Sedangkan Riski hanya cengengesan, "Hehe. Makasih, bu. Kalo nggak ada ibu juga nggak bakalan tercipta ide ini. Makasih ya, bu. Atas semua ilmu dan yang telah diajarkan selama ini."

"Masih ada lagi kartu namanya? Tetangga sini soalnya banyak, dan juga banyak juga yang sudah mengenal kamu."

Riski memberikan 20 kartu nama ke Widya, "Segitu cukup, bu?"

"Cukup, ntar kan kalo ibu sudah berada di luar kota. Kamu bisa keliling menyebarkan kartu nama ini sendirian."

"Kamu kok bisa kepikiran ide ini darimana?" sambung Widya penasaran.

"Jadi awalnya kan sehabis kerja dari sini, dan Ibu juga mau keluar kota. Jadi, aku berniat agar efektif aja, bu. Bisa mengantarkan juga kalo malam hari, nggak perlu keliling setiap kampung, rumah ke rumah lagi sekarang. Sayuran juga bisa fresh, karena tidak di bawa kemana-mana. Sekali lagi, terimakasih, bu." jelas Riski panjang lebar. Ia tak takut jika usahanya ini akan di tiru oleh seseorang dengan menjelaskan semuanya ke Widya.

Widya mengangguk paham, dan memang benar apa yang di katakan Riski.

"Yasudah, sepeda sama gerobaknya ada di samping rumah ya. Ntar kalo udah selesai, kembaliin ya sepedanya." pesan Widya.

"Iya. Pasti, bu."

"Yaudah, cepat ambil. Mau nyebar kartu nama juga, kah?" tanya Widya.

"Iyaa, bu. Sekalian jalan pulang, sekalian nyebar ini kartu nama ke beberapa warga. Doain ya, bu." kata Riski penuh harapan agar usahanya ini dapat di terima di masyarakat umum.

"Iya, pasti akan selalu mendoakan Riski. Semangat yaa." Widya juga sangat bangga, dan tentu ia tak merasa jika Riski mengambil alih usahanya. Karena memang apa yang telah diciptakan Riski benar-benar di luar nalar. Widya bahkan tak menyangkan kalau Riski akan membuat metode seperti ini.

"Yasudah, bu. Assalamualaikum." Riski berbalik badan, dan menuju samping rumah milik Widya untuk mengambil sepeda beserta gerobaknya.

"Waalaikumsalam."

Setelah mengambil sepeda dan juga gerobaknya, Riski mulai mengayunkan sepedanya ke beberapa tempat. Terutama tempat di mana sayuran Riski di borong oleh kakek tua yang anaknya juga membuka usaha katering. Jika bisa mengirim terus kesana, Riski pasti akan sangat bangga.

Setiap ada orang yang ia lewati, Riski memberikan kartu nama dan menjelaskan sedikit tentang usahanya itu secara terus menerus.

Dan sekarang sampailah Riski ke rumah kakek tua itu.

Tok, tok, tok.

"Assalamualaikum." salam Riski sopan.

Tak ada jawaban.

"Assalamualaikum." Riski menambah suara ketukan pintunya.

Tetap, tidak ada jawaban dari dalam.

"Apa mungkin sedang keluar ya? Kalo gitu, gue taruh di sini aja deh." Riski mengeluarkan satu kartu nama, dan memasukkan ke dalam rumah lewat lubang kecil di bawah pintu.

Tak apa, meskipun tidak bertemu orangnya. Mungkin memang belum rejekinya saja, lain waktu pasti akan bertemu lagi.

Tak terasa, Maghrib telah berkumandang. Riski harus cepat-cepat pulang dan mengembalikan sepeda ini ke Widya. Tak enak jika meminjam tetapi sangat lama.