webnovel

Peringatan Rendra

Anaya??!!" Tiba-tiba terdengar suara bariton yang terdengar marah. Anaya dan Ardhan menoleh terkejut kearah suara.

Terlihat Rendra Berdiri tak jauh dari Ardhan dan Anaya. Rendra mengepalkan tangan erat. Bagaimana bisa seorang Rendra melihat pujaan hatinya sedang berpelukan dengan laki-laki lain. Menangis dan mengadukan masalahnya pada lelaki itu. Sedang pada dirinya Anaya begitu dingin dan tak tersentuh hatinya.

Rendra tau posisinya bukanlah lelaki yang diinginkan Anaya. Tetapi melihat fakta bahwa Anaya sedang bersama orang yang dicintainya membuatnya sakit yang tak terkira. Rendra mendengus kasar. Menghampiri Anaya, lalu menarik tangannya menjauhkan dari Ardhan.

"Jangan pernah sentuh milikku!!!" ucap Rendra dingin serta mengacungkan jarinya pada Ardhan, memperingatinya. Anaya menggeleng tak percaya dengan yang dilakukan Rendra. Memandang tak enak pada Ardhan. Anaya takut Ardhan berpikir macam-macam tentang dirinya.

Ardhan bingung dengan suasana ini. Dia bertemu lagi dengan orang yang beberapa hari lalu berpapasan di lorong rumah sakit. Ternyata itulah kenapa saat Rendra memandang tak suka pada Ardhan meski mereka baru pertama kali bertemu, itu karena satu wanita yaitu Anaya.

"Apa maksud Anda, Anaya milik anda?" tanya Ardhan tak mengerti.

"Anaya adalah calon ISTRI saya!" Ucap Rendra tegas dengan menekankan kata 'Istri'. Ardhan melongo dibuatnya. Hatinya bergemuruh mendengar penuturan Rendra. Benarkah dia tak ada kesempatan lagi bersama Anaya? Ardhan menatap sendu pada Anaya meminta penjelasan padanya. Anaya menggeleng tak membenarkan ucapan Rendra.

"Dhan, ini gak seperti yang kamu pikir. Aku...aku bisa jelasin, ..." Ucap Anaya terbata. Rendra mencengkeram tangan Anaya lebih keras.

"Jangan coba-coba!!" peringat Rendra pada Anaya yang hendak menghampiri Ardhan.

"Dan anda, tolong menjauh dari wanitaku!" tegas Rendra.

"Rendra stoop!!!" teriak Anaya. Dia takut Rendra semakin membuat Ardhan salah paham. Berusaha melepas cekalan tangan Rendra tapi kekuatannya tak sebanding dengan Rendra. Ingin sekali ia menceritakan pada Ardhan yang sebenarnya.

Tapi... Rasanya apa pantas dia melakukan itu. Bahkan hubungannya dengan Ardhan belum jelas.

"Kita tunggu keputusan Anaya. Biar dia yang memilih," ucap Ardhan tiba-tiba. Anaya menatap Ardhan. Mungkinkah Ardhan juga masih punya rasa yang sama seperti Anaya? Batin Anaya bergejolak.

"Aku tak butuh pemilihan dari Anaya. Dia harus jadi milikku!" ucap Rendra seraya mengetatkan rahangnya.

"Anda tak bisa memaksakan kehendak! Anaya berhak memilih hidupnya!" ucap Ardhan tak kalah dingin. Ardhan hendak meraih tangan Anaya. Tapi Rendra menghalanginya. Menempatkan diri Rendra diantara Ardhan dan Anaya. Menyembunyikan Anaya dibalik tubuhnya. Rendra dan Ardhan saling beradu tatap.

"Jika anda tak ingin usaha anda makin hancur, pergilah dari sini! Atau aku akan membuatmu menyesal!" ancam Rendra.

Ardhan menyipitkan mata? Kenapa Rendra seperti mengenal dirinya bahkan tentang usahanya. Atau orang ini dalang dibalik kekacauannya di Cafe dan kerjasama yang batal itu? Ardhan menggeleng tak percaya.

"Itukah ulah anda?! Karena Anaya? Hhhh. Kekanakan sekali" ejek Ardhan yang sedikit menaikkan amarah Rendra.

"Kau!!! Rendra geram, dia sudah menarik kerah baju Ardhan. Tapi dengan cepat Anaya melerai mereka. Anaya takut akan ada kekacauan dirumah sakit.

"Rendra stop!! Aku bilang stop!" teriak Anaya Menghalangi Rendra yang hendak memukul Ardhan. Anaya menatap Ardhan dengan tetap berusaha menghalangi Rendra yang sudah menahan amarah.

"Ardhan, please pergilah. Aku mohon. Aku tidak mau ada kekacauan disini. Ayahku sedang sakit, Dhan," pinta Anaya memelas dengan mata berkaca-kaca. Ardhan menatap Anaya. Membuang napas lelah. Dia mengalah karena tak ingin Anaya menjadi lebih sedih.

"Segera hubungi aku, Nay. Jangan menghilang lagi, please!" mohon Ardhan lirih. Setelah melihat Anaya mengangguk Ardhan menatap Rendra sebentar lalu pergi meninggalkan tempat itu. Rendra memberontak hendak mengejar Ardhan. Tapi Anaya menghalaunya.

"Hentikan Rendra, please!"

"Kau akan menyesal Anaya!" ancam Rendra pada Anaya. Lalu melepas kasar pegangan Anaya yang tadi menghalaunya.

"Apa yang sudah kau lakukan pada Ardhan!?" tanya Anaya penasaran.

"Ini baru permulaan! Kita lihat saja nanti. Kau akan menyesal dan memohon padaku!" Ancam Rendra lagi. Anaya mendesah mulai menitikkan air mata lagi.

Anaya tak pernah terpikir sebelumnya akan dihadapkan dengan masalah seperti ini. Apalagi dengan dua lelaki yang sangat jauh berbeda baginya. Ardhan lelaki yang ia cintai dan Rendra pilihan Ayahnya. Anaya bingung, Ia takut kalau Rendra nekat dan berbuat sesuatu pada Ardhan kembali.

Anaya hendak menghampiri Rendra untuk membicarakannya baik-baik. Tapi Dokter keluar dari ruang operasi.

"Dokter, Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?" tanya Anaya tidak sabar.

"Operasi Pak Arya berjalan lancar. Semoga kedepannya lebih baik , Saya permisi, Pak Arya segera kami pindahkan ke ruang rawat seperti biasa," kata Dokter meninggalkan Anaya dan Rendra.

Rendra sudah jengah. Hati dan Perasaannya sedang tak baik-baik saja sekarang. Merasa kesal dan marah pada Anaya. Tapi dia juga mencintai gadis itu. Rendra melangkah pergi guna menghindari Anaya. Tapi urung, karena Anaya menahannya.

"Temani aku dulu. Aku takut. Setelah Ayah membaik kau boleh pergi," ucap Anaya menunduk malu. Rendra merasa heran dengan Anaya. Rendra berpikir jika Anaya hanya membutuhkannya saat dia butuh teman saja. Dan tadi dia meminta tolong tapi masih dengan kesombongannya. Rendra menghela nafas kasar. Ia pun lelah dengan semua ini. Tapi membiarkan gadisnya sendiri pun tak membuat hatinya lega.

*******

Ardhan pamit pada ibunya untuk pulang dulu. Hatinya kacau setelah bertemu Anaya dan Rendra tadi. Ardhan menyetir mobil sambil sedikit melamun. Mengingat perkataan Rendra tadi di rumah sakit.

"Siapa Rendra itu? Kenapa Anaya gak pernah cerita? Ahh, aku lupa, kalau aku sudah lama tak bertemu Anaya. Apa dia orang yang mau dijodohkan Anaya dulu? Atau dia pacar Anaya saat dulu kami berpisah? Atau, arrgghhh!" monolog Ardhan sendiri didalam mobil. Mengacak acak rambutnya kesal. Sekarang Ardhan tak tahu lagi semua tentang Anaya.

Saat sedang melamun didalam mobil, Ardhan hampir saja menabrak seseorang di jalan.

Ciiiittttt...

Ardhan mengerem mendadak. Sadar akan kesalahannya ia segera keluar menghampiri seseorang yang hampir ia tabrak.

"Maaf, saya tadi kurang hati-hati. Apa anda tidak apa-apa?" tanya Ardhan saat melihat orang itu terduduk. Jalanan agak gelap sehingga tidak terlalu terlihat wajah orang yang dihadapan Ardhan

"Kalau pake mobil lihat-lihat dong!" Sepertinya orang ini marah pikir Ardhan.

"Sekali lagi maaf, Mas," ucap Ardhan hendak membantu pemuda didepannya. Ardhan memperkirakan pemuda didepannya ini seumuran dengannya.

"Saya akan bertanggung jawab, Mas. Saya gak akan lari kok.Kalau bisa saya ganti rugi gak apa-apa? Apa ada yang luka Mas?" tanya Ardhan lagi. Pemuda ini berdiri membelakangi cahaya. Tapi Ardhan tahu kalau pemuda di depannya sedang menatap kearahnya

"Sombong sekali anda. Oke, saya maafkan Anda dan tidak akan memanggil polisi. Dan saya tidak meminta ganti rugi. Tapi saya minta pekerjaan?" ucap pemuda itu sambil menyilangkan tangan ke dada.

Ardhan menajamkan telinga seperti mengenal suara di depannya. Saat pemuda itu maju menghadap Ardhan lebih dekat, wajahnya terkena pantulan cahaya yang minim, tapi membuat Ardhan bisa melihat dengan jelas wajah pemuda itu.

"Aris??? Aris kan??" tanya Ardhan.

Ya, Aris. Pemuda didepan Ardhan ternyata teman SMA nya dulu. Aris hanya tersenyum kecut.

"Sorry, Ris. Gue beneran gak sengaja," ucap Ardhan lagi .

"Gue gak butuh minta maaf. Gue butuh pekerjaan. Lo udah ber mobil kan?" ucap Aris dengan nada yang tak mengenakkan bagi Ardhan. Dulu Aris memang teman sekelasnya. Tapi mereka tak pernah akur. Karena Aris tak menyukai Ardhan yang Aris pikir sok pintar dan sok jagoan .

"Sebaiknya gue antar lo pulang dulu." Ardhan menawarkan tumpangan pada Aris.

"Oke!" jawab Aris singkat dan tanpa diperintah Aris masuk ke mobil Ardhan.

Ardhan menghela nafas. Pikirannya yang kacau membuat dirinya dalam masalah. Tak mudah baginya menghadapi seorang Aris. Ardhan segera masuk ke mobilnya dan mulai mengemudikan mobilnya.

"Wah... Sekarang kau jadi orang kaya ya? Gue dengar lo punya usaha banyak. Gue butuh pekerjaan," ucap Aris sambil melihat-lihat isi mobil Ardhan. Lebih tepatnya mengacak-acak.

Ardhan menghela nafas dalam.

"Tapi, Toko gue belum butuh karyawan baru, Ris" jawab Ardhan halus berusaha tidak menyakiti perasaan Aris.

"Elaaah. Lo kan bos nya. Masa masukin satu karyawan aja lo gak bisa? Atau lo mau gue lapor polisi iya?? " ucap Aris dingin.

"Lo ngancam gue?" tanya Ardhan dengan menoleh pada Aris.

"Terserah lo ngomong apa. Yang jelas lo tadi bersalah. Orang mau nyebrang kok gak injek rem. Untung gue gak papa kan?" Sarkas Aris.

Ardhan mendengus kesal. Kejadian tadi memang mutlak salahnya. Karena mengemudi dengan melamun.

"Besok gue tanya karyawan dulu. Mereka butuh orang di bidang apa," ucap Ardhan mengalah berusaha tidak memperpanjang masalah.

Aris tersenyum senang. Mudah sekali baginya membohongi Ardhan. Dia memiliki kesempatan untuk membalas Ardhan dengan melakukan pekerjaan yang mudah dari seseorang.