webnovel

Bab 10

Matahari sudah kembali terbit, pagi ini langit cukup cerah. Ditambah lagi awan yang sedang terlihat menawan.

Membuat siapa saja pasti senang untuk mengawali harinya.

Namun berbeda dengan lelaki yang sedang duduk di tempat tidur sembari menatap ke jendela kamarnya.

Entah apa yang dipikirkan, lelaki itu sudah 15 menit termenung sejak bangun tidur. Seolah ada beban di kedua pundaknya, raut wajahnya tampak murung dan gelisah.

Matanya melirik jam dinding di depannya yang menunjukkan pukul 07.15. Lantas dia turun dari tempat tidur lalu membuka gorden agar cahaya matahari masuk sepenuhnya.

Kemudian langkahnya pergi keluar kamar menuju dapur untuk minum air mineral guna membantu mengeluarkan racun sisa metabolisme di malam hari dari dalam tubuh.

Kebiasaan itu sudah ibunya ajarkan sedari kecil. Meski dulu dia cukup sulit untuk dibujuk. Tapi pada akhirnya luluh saat tercipta tokoh Beri dan Air.

Jika teringat begini, kadang dirinya senyum-senyum sendiri. Ternyata kenangan masa kecil memang selalu menyenangkan. Apalagi jika menyangkut tingkah konyolnya yang membuat sang ibu geleng-geleng kepala.

Ditengah lamunannya, terdengar suara ponsel berdering dari dalam kamar. Kaki panjangnya lantas berjalan menghampiri setelah menaruh gelas ke atas meja bar.

Ternyata panggilan dari sahabatnya, Nanda.

"Assalamualaikum, bosque."

"Waalaikumsalam."

"Lagi di mana bosque? Sarapan kuy. Nih aku udah nungguin sama anak-anak di restoran."

"Aku masih di apartemen." Laki-laki itu meletakkan ponselnya ke atas nakas dan menekan tombol speaker di layar. Lalu bergegas membereskan tempat tidurnya.

"Jangan bilang baru bangun tidur."

"Emang iya."

"Gila, seorang Yusuf jam segini baru bangun?"

"Ya emangnya kenapa kalau bangun jam segini?"

"Ya kan, kamu biasanya paling rajin bangun pagi terus berangkat ke restoran."

"Namanya juga manusia, ya bisa berubah."

"Yaudah kalau gitu cepetan ke sini. Kita nungguin dari tadi."

"Aku nggak nyuruh nungguin." Ucapnya dengan tersenyum miring.

"Oh, tai." Balas dari seberang sana dengan kesal. "Pokoknya cepet ke sini nggak pakai lama." Panggilan langsung tertutup sepihak.

Laki-laki yang selesai membereskan tempat tidurnya itu terkekeh mendengar nada kesal dari Nanda. Lantas langkahnya beralih ke keluar kamar lagi untuk ke kamar mandi mencuci muka. Karena sebenarnya dia sudah bangun dan mandi tadi subuh. Tapi ketiduran saat mengecek laporan dari pegawainya lewat email.

Setelah kurang lebih 5 menit, dia pergi ke kamar kembali untuk berganti pakaian casual. Atasan kaos hitam polos dengan bawahan celana navy. Serta jaket jeans berwarna biru laut. Dia memang terbilang santai dan tidak ingin sesuatu yang ribet. Apalagi soal pakaian, jika bukan acara yang benar-benar resmi, dia tidak akan pakai pakaian formal.

Sebelum keluar kamar, dia mengambil ponselnya, namun terhenti saat melihat sebuah buku notes bersampul hitam di sebelahnya. Dia terdiam sejenak kemudian menyimpan buku itu ke dalam laci.

Ada rasa menyesakkan yang tiba-tiba bersarang di dadanya. Hal tersebut juga yang membuatnya terjaga sampai jam 02.00. Dia tidak tau penyebab jelasnya apa, tapi yang dia rasakan adalah rasa sedih akan sesuatu yang dia sendiri tidak tau apa itu.

Padahal sebelumnya perasaan itu tidak ada. Tapi semenjak pulang dari rumah sakit, ada perasaan aneh yang sulit dia jelaskan. Dan itu cukup menganggunya bahkan sampai sekarang.

Tak lama ponselnya bergetar tanda pesan masuk. Tertera nama Nanda di layar membuat helaan nafasnya keluar. Pasti laki-laki itu menanyakan dirinya sudah berangkat atau belum.

Oleh karena itu dia langsung mengantongi ponselnya dan segera meluncur ke tempat tujuan. Namun sebelum itu dia memakai sepatu skate hitamnya terlebih dahulu yang berada dirak samping pintu apertemen.

***

Hidup memang tidak pernah bisa ditebak. Namun kita bisa mengatasinya dengan berpegang teguh pada keyakinan terhadap Tuhan. Yakin jika kita bisa melewatinya dengan baik. Meski terkadang begitu berat, tapi yakin jika di ujung sana akan ada kebahagaiaan yang sedang menunggu.

Tapi sayangnya tidak mudah untuk Renjana. Dia masih tetap sama. Kondisi mentalnya masih belum stabil. Terbukti semalam dia menangis hingga tak sadarkan diri. Kejadian tersebut membuat sahabat-sahabatnya merasa bersalah. Karena niat mereka ingin menghibur, tapi ternyata justru sebaliknya.

Semua orang dibuat berpikir bagaimana caranya membuat perempuan itu semangat lagi. Karena Renjana sudah seperti kehilangan jiwanya. Dengan keadaan seperti itu, Kemala tak pernah lupa untuk terus mengingatkan putrinya ibadah 5 waktu. Dia dan Gara juga selalu mengajak Renjana sholat berjamaah.

Dan beberapa kali dia mendengar isakkan lirih dari putrinya ketika selesai sholat maupun saat sholat. Hatinya terasa teriris ketika mengetahui itu.

Namun dia tetap berusaha kuat untuk menjadi sandaran putrinya.

Dan saat ini Kemala dan suaminya sedang duduk bersebelahan di sofa bersama Risa Puspitasari. Adik perempuan Gara, yang berprofesi sebagi dokter psikolog. Berbeda dengan adik laki-lakinya, Muhammad Imran Rusady yang berprofesi sebagai seorang pengacara.

Ketiganya cukup sukses dalam bidang masing-masing. Ditambah lagi Renjana yang menjadi model membuat mereka semakin dikenal. Alhasil sekarang keduanya beberapa kali dimintai keterangan oleh media mengenai kondisi Renjana. Bahkan ada yang sampai mendatangi tempat kerjanya. Cukup mengganggu memang, tapi mau bagaimana lagi.

"Maaf ya mbak, aku baru bisa datang." Ucap Risa yang duduk di seberang Kemala.

Mereka sedang berbicara dengan suara pelan agar tidak terdengar jelas oleh Renjana yang sedang duduk melamun di kursi roda dekat jendela.

"Nggak pa pa, Ris." Kemala cukup maklum karena kesibukan adik iparnya itu.

"Jadi menurutmu bagaimana Ris? Kondisi Renjana sekarang? Kami harus bagaimana?" Tanya Gara yang terlihat lelah di raut wajahnya.

"Untuk kondisinya yang sekarang murni karena kecelakaan. Tapi, ada beberapa hal yang janggal. Dan sepertinya berkaitan dengan seseorang. Aku nggak tau pasti, tapi dari beberapa pertanyaan yang aku ajukan ada yang mendapat respon yang mengarah ke sana." Jelas Risa setelah melakukan pendekatan dengan keponakannya.

"Jadi maksudnya ada sesuatu yang terjadi antara dia dan seseorang?" Tanya Gara dengan kening berkerut.

"Eum, yang aku dapat gitu."

"Atau mungkin dia lagi nungguin Agam, mas. Dia kan belum kesini." Kemala ikut menanggapi.

"Loh, Agam belum jenguk sampai sekarang?" Tanya Risa dengan raut wajah kaget.

"Belum Ris." Jawab Gara sembari menggeleng pelan.

"Tapi bukannya udah jenguk ya? Dia bilang jenguk sama orang tuanya." Kalimat Risa sukses membuat Gara dan Kemala saling bertukar pandang terkejut. Pasalnya tidak ada yang memberitahukan mereka tentang kedatangan Agam beserta orang tuanya. Papa Agam juga belum menghubungi.

"Dia bilang ke kamu?"

Risa mengangguk. "Iya. Waktu itu aku sempet kontak dia. Aku bilang untuk selalu di samping Renjana. Terus dia bilang kalau bakal jenguk Renjana di sore harinya setelah siuman."

Gara refleks terdiam, pasti ada sesuatu yang terjadi, pikirnya. Dia lantas menatap putrinya di sudut ruangan yang terlihat tenang memejamkan mata.

"Tapi kenapa Renjana nggak bilang, kalau Agam datang?" Kemala mengerutkan kening seraya menatap sekilas putrinya.

"Kayaknya kita harus hubungin Agam." Putus Risa.

Sementara di tempat lain, di sebuah restoran terdapat 2 orang lelaki duduk berseberangan dengan 2 minuman dingin yang tinggal setengah. Keduanya tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing. Yang satu seperti orang yang frustasi dengan tampilan yang kurang enak dipandang. Yang satunya lagi sedang berpikir keras mencari sebuah solusi.

"Kamu nggak bisa kayak gini terus, Gam. Kamu harus ngomong." Ujar salah satunya yang berpakaian serba hitam. Dari kaos berlengan pendeknya sampai celana pendek serta sandal selop.

Laki-laki yang dia ajak bicara hanya diam sambil mengacak kasar rambutnya. "Nggak semudah itu Gung."

"Lah terus mau kapan?" Geram Agung. Dirinya merasa sangat kesal dengan sikap sahabatnya itu. "Kamu mau terus-terusan kayak orang gila gini? Rambut acak-acakan, wajah kayak cucian lecek."

"Dianya nggak mau ketemu aku, gimana aku mau ngomong."

"Ya jelas nggak mau. Anda pikir nggak sakit hati, dibohongi kayak gitu." Ketus Agung. "Temuin orang tuanya. Kamu jelasin semuanya dari awal. Dan niatmu yang sebenarnya."

Kepala Agam terangkat menatap Agung sekilas. "Dirimu kalau ngomong enteng banget ya." Ucapnya dengan kesal.

"Yaiyalah. Kan cuma ngomong." Jawab Agung dengan santainya. "Itu resikomu sendiri. Kita udah ngingetin buat jujur sama dia. Tapi kamu nya bilang nanti-nanti terus."

"Ya karena aku nggak mau kehilangan dia, jadi nggak mudah buat jujur."

"Dan sekarang udah kehilangan beneran, kan?"

"Anjing." Umpat Agam dengan wajah penuh emosi.

"Hohoo, santai bro. Kan itu pilihanmu sendiri." Ucap Agung dengan wajah tengilnya.

"Ck. Udahlah. Malah makin emosi aku ngomong sama kamu." Agam bangkit dari kursi berniat pergi.

"Lah, kok kamu yang emosi. Seharusnya aku dong yang emosi karna dikatain." Balas Agung seraya menatap kepergian sahabatnya itu.

Percakapan mereka tentu saja mencuri perhatian dari beberapa pengunjung. Terutama saat Agam mengumpat. Beberapa orang menoleh untuk melihat. Namun Agung sama sekali tak terganggu. Dia lebih memilih menatap punggung sahabatnya itu menuju mobil. Agung merasa prihatin dengan yang dialami Agam.

Tapi mau bagaimana lagi. Laki-laki itu sendiri yang memilih untuk menyimpan faktanya ketimbang jujur. Ya akhirnya seperti ini. Dia hanya bisa berdoa semoga hubungan Agam dan Renjana masih bisa diperbaiki.

Selepas mobil Agam mengihilang dari pandangan, Agung berniat untuk pulang. Namun saat akan bangkit dari kursi, dia melihat seseorang keluar dari mobil di parkiran.

Seorang perempuan berambut hitam pekat sebahu yang berpakaian casual dengan atasan kemeja putih dipadupadankan bow pants berwarna biru dongker. Serta structured bag hitamnya. Ditambah lagi flatshoes. Dari tampilannya, tinggi dan berat badan yang proposional juga wajah yang terlihat muda tak menunjukkan jika umurnya sudah berkepala 4.

Perempuan itu adalah adik dari Segara, ayah dari Renjana. Agung berniat ingin menyapa saat Risa membuka pintu restoran, namun tidak jadi ketika seorang lelaki menghampiri Risa.

Laki-laki yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Keduanya terlihat akrab. Agung mengerutkan kening mengamati siapa laki-laki itu. Siapa tau dia lupa, tapi nyatanya dia tidak mengingat apapun. Agung dibuat penasaran saat samar-samar nama Renjana disebut. Terlebih saat nama Alm. Gema keluar dari bibir laki-laki itu. Karena tak banyak yang tau dan berani membahas tentang kakaknya Renjana. Dan Agung berpikir jika laki-laki itu cukup dekat dengan keluarga Renjana.

***

Hari sudah menjelang sore, Renjana baru saja selesai pemeriksaan kondisinya. Orang-orang sedang ada keperluan di luar semua dan sekarang dia sedang duduk di kursi roda dekat jendela melihat pemandangan kota seperti tadi pagi.

Hal ini menghilangkan sedikit rasa jenuhnya, karena dia merindukan kegiatan sehari-harinya. Ditambah juga kejadian semalam yang membuatnya pinsan. Renjana butuh pengalihan untuk melupakan rasa sedih itu.

Apalagi saat mendengar percakapan orang tuanya dan tantenya tadi pagi. Yah, dia masih bisa mendengar sedikit apa yang mereka bicarakan. Perasaannya gelisah tak menentu. Dia sangat takut apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang harus dia lakukan dan apa yang harus dia putuskan.

Ditengah lamunannya, dia mendengar suara pintu terbuka. Kepalanya menoleh ke belakang, alangkah terkejutnya saat melihat sosok yang selama ini memenuhi pikirannya. Dia yang membuatnya sulit untuk tidur, makan, bahkan berkomunikasi dengan orang.

Siapa lagi jika bukan Agam Aji Pamungkas. Seseorang yang membuatnya gelisah tak menentu. Laki-laki itu sekarang berada tepat didepannya yang dipisahkan oleh jarak.

Laki-laki itu tampak tak terurus. Tubuhnya yang terlihat sedikit kurus, wajahnya juga sedikit pucat, ditambah bajunya yang tidak rapi seperti biasanya. Dia hanya mengenakan kaos hitam berlengan pendek dengan celana slim fit berwarna abu-abu. Serta alas kaki sandal selop hitam.

Suasana yang hening, membuat detak jantung Renjana terdengar dengan jelas. Dia belum memberikan pergerakan. Sampai beberapa detik berikutnya, Renjana menggerakkan tangannya untuk membalikkan kursi roda menghadap laki-laki itu.

Sejujurnya dari hati yang paling dalam, Renjana sangat merindukannya. Ingin sekali dia memeluknya erat untuk meluapkan rasa sedihnya. Menceritakan segala keputus asaannya.

Renjana mengakui jika dirinya masih mencintai Agam. 4 tahun bukan waktu yang sebentar untuk dilupakan. Selama 4 tahun mereka lalui bersama. Ditambah perasaan Renjana yang sudah tumbuh semenjak SMA. Membuatnya semakin sulit untuk melupakan setiap detik kebersamaan dengan laki-laki itu.

Agam sosok pertama yang membuatnya jatuh cinta. Dia selalu berharap akan menjadi yang terakhir dan selamanya. Tapi ternyata terpatahkan saat mengetahui faktanya. Kecewa pasti, apalagi sedih. Kemarahan juga ikut dia rasakan, tapi itu tidak sebanding dengan rasa kecewanya.

Kepercayaan yang selalu dia banggakan selama ini ternyata sia-sia. Tak ada kata cinta untuknya, semua hanya kepura-puraan. Dia hanya mencintai sebuah bayangan yang tak pernah menjadi nyata. Agam tak pernah menjadi miliknya. Hatinya tak pernah benar tersimpan pada laki-laki itu. Agam tak pernah mencintainya. Itulah yang dipikiran Renjana.

"Renjana.." Suara itu terdengar lembut meski rasanya begitu sakit. Agam hendak mendekat, namun Renjana menghentikannya. "Jangan mendekat."

Meski dicegah, Agam tetap melangkahkan kakinya. Dia sudah menulikan telinganya untuk bisa mendekati perempuan itu. Dia sudah tidak peduli lagi akan cacian atau kemarahan yang akan dia terima nanti. Yang jelas sekarang, dia hanya ingin menghampiri kekasihnya dan memeluknya erat. Melepaskan kerinduan serta kekhawatiran yang belum sepenuhnya dia keluarkan waktu itu.

Lantas Agam memeluknya setelah sampai tepat di depan Renjana. Meski dia mendapat dorongan keras di dadanya, Agam tak melepas pelukan itu. Dia benar-benar rindu perempuan itu. Dia tak akan melepaskannya lagi. Dia akan melakukan apapun untuk tetap bersama perempuan yang sangat dia cintai. Apapun.